Kenikmatan Berbagi dalam Bubur Asyura
Tradisi membuat bubur asyura pada 10 Muharam masih dilestarikan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Tradisi tersebut mengandung nilai moral dan budaya sekaligus sebagai pengejawantahan dari kesetiakawanan sosial.
Membuat bubur asyura pada hari kesepuluh tahun baru Islam atau setiap 10 Muharam sudah menjadi tradisi masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Tradisi bubur asyura sarat dengan kenikmatan berbagi demi keberkahan di tahun yang baru.
Kamis (19/8/2021), sekitar pukul 08.00 Wita, sejumlah ibu dan bapak mulai berkumpul di salah satu kompleks perumahan warga di Kota Banjarmasin. Mereka kemudian bergotong royong untuk membuat bubur asyura. Hari itu bertepatan dengan 10 Muharam 1443 Hijriah.
Dengan tetap mengenakan masker, para ibu mulai meracik sayuran dan aneka bumbu. Mereka duduk melingkar di teras rumah. Sementara itu, di halaman rumah, para bapak menyiapkan perapian untuk dua kawah.
Sayur dan bumbu yang disiapkan bermacam-macam dan sangat banyak, di antaranya bayam, sawi, kangkung, daun singkong, terung, buncis, kacang panjang, labu kuning, labu putih. Ada pula jagung, kacang tanah, kacang merah, bawang merah, bawang putih, lada, dan cabai. Disiapkan pula telur, tahu, tempe, ikan asin, daging ayam, dan ceker ayam.
”Untuk membuat bubur asyura, campurannya harus banyak. Sesuai tradisi Banjar, jenisnya harus 41 macam,” kata Fatimah (46), warga Banjarmasin.
Campuran 41 macam pada bubur asyura itu layaknya tradisi penganan atau wadai khas Banjar 41 macam. Pada masa lalu, wadai 41 macam disajikan untuk memulai syarat suatu kegiatan upacara adat, pesta, atau kegiatan penting lain. Tujuannya agar kegiatan atau hajatan tidak diganggu oleh makhluk halus atau makhluk gaib. Wadai 41 menjadi salah satu budaya yang terwariskan dari tradisi Hindu dan bertahan dalam peradaban baru orang Banjar (Kompas, 28/11/2013)
Menurut Fatimah, tradisi bubur asyura yang dilaksanakan setahun sekali sudah berlangsung sejak lama dan turun-temurun dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. ”Tidak hanya di kampung-kampung, di kota juga orang (Banjar) masih membuat bubur asyura setiap 10 Muharam,” ujar ibu dua anak dengan satu cucu itu.
Untuk membuat bubur asyura, kata Juliansyah (48), setiap warga menyumbangkan dana secara sukarela, tanpa patokan. Dana yang terkumpul digunakan untuk membeli beras, sayuran, bumbu, serta lauk. Warga selanjutnya bergotong royong untuk memasak bubur. ”Kalau di kampung atau kompleks perumahan yang besar, biasanya dibagi menjadi beberapa kelompok,” ujarnya.
Baca juga : Tradisi Bubur Asyura Masyarakat Banjar
Memasak bubur asyura dilakukan warga sejak pagi karena semua bahan biasanya sudah dibeli sehari sebelumnya. Kegiatan memasak bubur bisa berlangsung hingga lewat tengah hari. ”Beras yang sudah dicampur santan, sayuran, bumbu, dan lauk harus dimasak di atas perapian selama tiga jam lebih,” kata Rahmadani (42), warga yang menjadi juru masak.
Rahmadani mengatakan, adonan bubur harus sering diaduk selama di atas perapian supaya matangnya merata. Api dari kayu bakar juga harus kerap diatur supaya stabil agar tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. ”Cara pembuatan buburnya sama saja dari dulu. Yang berbeda mungkin campuran atau bumbunya saja,” ujar koki di salah satu hotel di Banjarmasin itu.
Bubur asyura yang telah matang tampak kental dan berwarna kekuningan. Setelah didinginkan, bubur dibagi-bagikan ke dalam wadah. Pada bagian atas bubur diberi irisan telur, daging ayam suwir, bawang goreng, dan daun seledri sebagai tambahan. Bubur asyura terasa gurih dan nikmat saat dimakan masih hangat. Sesuai selera, bisa ditambahi lagi sambal, kerupuk, dan ikan asin goreng.
Satu per satu warga kemudian datang mengambil jatah bubur asyura setelah dikabari lewat grup Whatsapp. Untuk kali ini, warga sengaja tidak menggelar makan bersama mengingat suasana pandemi Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 sedang diterapkan di Kota Banjarmasin.
Baca juga : Bubur India, Jejak Gujarat di Masjid Pekojan
Untuk warga yang tidak datang mengambil bubur asyura karena ada kesibukan, bubur langsung diantarkan ke rumah. Bagi umat Islam yang berpuasa pada 10 Muharam, bubur asyura akan menjadi santapan untuk berbuka puasa. Namun, bagi yang tidak berpuasa, bubur asyura bisa disantap setelah didoakan secara Islam.
”Kami makan bubur asyura setahun sekali untuk mengambil berkah di tahun yang baru (penanggalan Islam). Harapannya supaya kehidupan bisa lebih baik, rezeki lancar, dan berbagai niat lainnya dapat terwujud,” kata Rahmadani.
Islamisasi
Yusliani Noor dalam artikel berjudul Islamisasi Banjarmasin (Abad XV-XIX) menyebutkan, islamisasi Banjarmasin tidak bisa dilepaskan dari Sunan Giri, yang sangat aktif melakukan aktivitas dakwah pada abad ke-15. Sunan Giri dan Sunan Bonang dalam abad itu telah berdakwah sampai ke Muara Bahan, yang kini disebut Marabahan, ibu kota Kabupaten Barito Kuala.
Pola islamisasi Banjarmasin sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 melalui saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf dan tarekat, birokrasi pemerintahan, pendidikan, serta kesenian. Kesultanan Banjarmasin dan islamisasi Banjarmasin menghasilkan identitas dan kultur baru, yakni identitas dan kultur Banjar, dengan karakteristik bercorak Islam dalam berbagai bentuknya.
”Tradisi di Tambak Anyar, Martapura, yang diselingi syair Huwal-Awwal Damai Dandam dan syair Hasan Husein menunjukkan gejala adanya pengaruh Persia (Timur Tengah). Begitu pula dengan budaya membuat bubur asyura setiap tanggal 10 Muharam,” tulisnya.
Ahmad Khairuddin dalam artikel berjudul Asyura: Antara Doktrin, Historis dan Antropologis Perspektif Dakwah Pencerahan yang dimuat dalam Jurnal ”Al-Hiwar” Volume 03 Nomor 05 (Januari-Juni 2015) menyebutkan, Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharam dalam penanggalan Islam. Hari ini menjadi populer di tengah-tengah umat Islam.
Konon ceritanya, pada hari Asyura itulah Allah untuk pertama kali menciptakan dunia dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia. Pada hari itu pula Nabi Nuh turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan, Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan menjadi adonan bubur dan disedekahkan kepada semua orang.
Baca juga : Melihat Perayaan Asyura di Irak, Pakistan, dan India
Pembuatan bubur asyura konon juga merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada masa lampau terkait dengan peristiwa yang menimpa Husain, cucu Nabi Muhammad, di Karbala pada 61 Hijriah (680 Masehi). Ketika dalam suasana terkepung dan kekurangan makanan, segala macam tumbuhan dikumpulkan, lalu dicampur dengan persediaan bahan makanan yang ada menjadi bubur asyura.
”Secara normatif, akar historis dari asal-usul tradisi bubur asyura memang diperdebatkan validitasnya. Bahkan, hal tersebut sama sekali tidak populer di kalangan ahli hadis maupun para imam mazhab terdahulu,” kata Khairuddin.
Namun, dalam konteks kearifan lokal, ungkap Khairuddin, tradisi bubur asyura dianggap banyak mengandung nilai-nilai moral dan budaya. Sejumlah masyarakat di Kalsel dan beberapa daerah lainnya menjadikan momen tersebut sebagai sarana bersilaturahmi, bergotong royong, saling berbagi, dan memberi makan.
Andayani Listyawati dalam artikel berjudul Budaya Lokal sebagai Upaya Memperkuat Nilai Kesetiakawanan Sosial Masyarakat yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial Volume 16 Nomor 1 (Maret 2017) menyebutkan, tradisi bubur asyura di Kabupaten Banjar, Kalsel, sebagai pengejawantahan dari nilai kesetiakawanan sosial.
”Kegiatan (membuat bubur asyura) itu menyiratkan bahwa sebagai manusia seyogianya selalu mengingat kepada Sang Pencipta dan sesama untuk saling menolong, peduli, dan gotong royong. Kegiatan saling menolong, peduli, dan gotong royong merupakan pengejawantahan dari nilai kesetiakawanan sosial,” katanya.