Harga Air Bersih di Amarasi Timur Lebih dari Rp 700.000
Kekeringan melanda hampir semua wilayah di Pulau Timor, NTT. Warga membeli air dengan harga lebih dari Rp 700.000 per tanki untuk ukuran 5.000 liter.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Belasan ribu warga di Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, setiap tahun kesulitan air selama beberapa bulan ketika musim kemarau melanda. Untuk membeli satu tanki air berukuran 5.000 liter, mereka harus membayar lebih dari Rp 700.000.
Sepanjang Minggu (22/8/2021), Kompas mendatangi semua desa di kecamatan itu, yakni Pakubaun, Oebesi, Rabeka, dan Enoraen. Desa terjauh adalah Enoraen yang berjarak sekitar 130 kilometer dari Kota Kupang, ibu kota NTT. Desa itu berada di perbatasan Indonesia dengan Australia.
Sepanjang jalan yang kondisinya berbatu tanpa sepotong aspal pun itu, pohon-pohon meranggas. Panas terik mencapai lebih dari 37 derajat celsius. Sejumlah sungai dan kali yang dilewati kering tanpa air.
Di Desa Rabeka, warga memikul air dalam jeriken. Air diambil dari embung atau mata air yang mulai mengering dan diperkirakan akan habis dalam satu atau dua minggu ke depan. Musim kemarau tengah melanda daerah itu sejak Mei lalu dan diperkirakan masih terus berlangsung hingga Oktober.
Thomas Alfa Edison (40), warga Rabeka, mengatakan, selain mengambil dari sumur yang hampir semuanya sudah mengering, warga menggunakan air hujan yang masih tersisa. Air hujan ditampung di setiap rumah. ”Jadi, pakai air harus irit, tidak bisa mandi tiap hari,” katanya.
Menurut dia, tidak ada sumber air terdekat yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Mata air hanya bertahan paling lama hingga bulan Agustus dan kembali mengeluarkan air selama musim hujan hingga beberapa bulan berikutnya. Biasanya air berlimpah hanya mulai Desember hingga Mei.
Jadi, pakai air harus irit, tidak bisa mandi tiap hari.
Bagi warga yang membutuhkan air banyak, seperti membangun rumah atau menggelar hajatan, harus membeli air yang diangkut mobil tanki. ”Harganya tergantung jarak. Yang paling jauh bisa sampai Rp 700.000, bahkan lebih. Ini karena jaraknya sekitar 50 kilometer dari sumber air ditambah kondisi jalan rusak,” kata Thomas yang juga Kepala SMA Negeri 3 Amarasi Selatan itu.
Air di sekolah
Sejumlah anak kecil yang ditemui di Desa Enoraen mengaku tidak selalu mandi tiap hari. Untuk mandi pun, mereka harus mengambil air di kali atau embung. Jika sudah mengering, mereka mandi dengan air payau yang diambil di dekat muara.
”Kalau ke muara harus ditemani orangtua karena di sana banyak buaya. Jadi, kami kadang satu hari tidak mandi. Pergi sekolah biasa cuci muka saja. Sampai di sekolah pasti keringatan,” kata Bule (11).
Kepala SMA Negeri 3 Amarasi Timur Dina Sakbana mengatakan, sekolah tidak mewajibkan anak-anak membawa air ke sekolah. Sekolah membuat bak penampung air hujan untuk digunakan di toilet sekolah. Jika habis mereka membeli air.
Kondisi halaman sekolah tersebut dan sejumlah sekolah lainnya di daerah itu kering kerontang tanpa bunga atau tanaman. Ada sekolah bahkan di toiletnya tidak terdapat air. Selama pandemi Covid-19 tidak semua sekolah menyediakan air untuk cuci tangan. Mereka hanya menyediakan cairan pembersih tangan.
Kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Linus Lusi saat meninjau sekolah itu meminta agar sekolah mengajukan anggaran untuk pengadaan sumur bor. Khusus untuk SMA dan SMK, pengajuan itu bisa melalui dinas pendidikan provinsi.
”Air bersih bakal menjadi prioritas. Selain untuk kebutuhan harian di sekolah, juga bisa digunakan untuk mengembangkan gerakan vokasi pertanian di SMA dan SMK. Ada SMA yang sudah memulai dengan kebun sekolah,” kata Linus.