Banyak pihak menilai Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang tengah dibahas memiliki banyak kelemahan jika disahkan. Salah satunya karena belum mengakomodasi perindungan anak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Perlindungan dan pemenuhan hak anak adat tidak diakomodasi dalam draf Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang sedang dibahas di DPR RI. Meski sudah 11 tahun lebih rancangan tersebut dibahas, masih banyak pihak yang sangsi akan keefektifan kebijakan itu.
Hal itu terungkap dalam seri webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Tunas Bangsa (LPTB) dan Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) Kalimantan dengan tema ”Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Keberpihakan pada Perlindungan Anak”, Senin (23/8/2021).
Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan itu, Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo, anggota DPR RI Komisi I Willy Aditya, dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Dewi Rosiana.
Willy Aditya yang juga merupakan Ketua Panitia Kerja RUU MHA di DPR RI mengungkapkan, dalam perjuangan mengesahkan rancangan tersebut, pihaknya memiliki beberapa prioritas, persoalan anak tidak ada di dalamnya. Terdapat lima skala prioritas dalam draf yang sedang dibahas, antara lain hak atas wilayah adat, hak atas sumber daya alam, hak atas pembangunan bagi MHA, hak spritualitas dan kebudayaan MHA, serta yang terakhir hak atas lingkungan hidup.
”Secara eksplisit tidak ada (hak anak adat ataupun perempuan) di dalam draf yang sudah disusun saat ini dan dibahas. Akan tetapi, seperti warisan pendidikan untuk anak adat, bisa ada cantolannya pada hak lainnya,” kata Willy.
Willy mengungkapkan, dalam perjuangan mengesahkan RUU MHA tidak semua masalah bisa diakomodasi dalam kebijakan tersebut. Apalagi, sejak dahulu, keberadaan masyarakat adat saja kerap dianggap sebagai ancaman pembangunan dari sudut pandang tertentu.
Walakin, pihaknya tetap memperjuangkan hak-hak masyarakat adat karena pada dasarnya identitas nasional tidak menegasikan identitas leluhur, apalagi masyarakat adat lebih dulu hadir sebelum negara Indonesia merdeka. ”Disahkan dulu RUU ini, baru bicara masalah-masalah lain. Ini, kan, disahkan saja belum,” ujarnya.
Willy menjelaskan, RUU MHA sudah mengalami banyak perubahan dan pembahasan dan draf yang baru tersebut sudah dibuat sejak 4 September 2020 oleh Badan Legislasi DPR RI. Saat ini, pihaknya sudah mengirim surat sebanyak tiga kali ke pimpinan DPR RI untuk segera membuat rapat paripurna sebelum diberikan ke eksekutif atau pemerintah pusat agar Presiden bisa membuat surat presiden (surpres) dari RUU MHA.
”Ada dua fraksi yang menolak RUU ini dan tujuh fraksi sepakat, ini butuh komunikasi politik yang lebih luas sehingga yang sepakat bisa bertambah jumlahnya,” tutur Willy.
Melihat hal itu, Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi Erasmus Cahyadi menjelaskan, masih banyak kekurangan dalam draf RUU MHA yang saat ini berproses di DPR RI. Hal itu terjadi karena tarik ulur kepentingan yang harus diakomodasi di dalam pembahasan.
”Rancangan ini belum membicarakan hak-hak khusus (anak dan perempuan). Kami terus mengusulkan, tetapi belum terakomodasi. Dulu saja, ada RUU Masyarakat Adat yang dibuat kelompok pengusaha hutan. Jadi, bisa dilihat banyaknya kepentingan,” tutur Erasmus.
Erasmus melihat adanya undang-undang merupakan alat untuk berjuang lebih lanjut dalam menyelesaikan konflik yang melanda masyarakat adat selama ini. ”Jangan naif bahwa RUU ini ketika disahkan akan menyelesaikan konflik, ini hanya alat, perilaku birokrasi itu juga yang harus dilihat lagi,” ucapnya.
Menurut Erasmus, masalah dalam kehidupan anak adat beragam. Mulai dari migrasi dari desa ke kota, lalu mengenyam pendidikan formal yang mampu menghilangkan pengetahuan-pengetahuan tradisional yang sebelumnya pernah di dapat. Selain itu, hilangnya ruang belajar anak adat juga menjadi masalah utama. Penyebabnya beragam, salah satunya adalah tingginya iklim investasi yang berujung pada alih fungsi lahan.
”Masalah lainnya, generasi tua kesulitan mewariskan pengetahuan tradisional ke generasi berikutnya. Makanya, perlu ada gerakan pulang kampung, sekolah adat, dan hal lainnya,” kata Erasmus.
Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo menjelaskan, hak anak, dalam dunia internasional, merupakan hak yang paling banyak diratifikasi dari semua hak yang ada. Harusnya hak anak menjadi prioritas yang dibahas selain hak jender dan hak lainnya.
”Melihat draf yang ada, bahkan kata ’anak’ pun tidak ada, apalagi bicara perlindungan dan pengakuannya,” kata Heru.
Heru menjelaskan, akan terjadi banyak pelanggaran hak anak dalam kehidupan masyarakat hukum adat jika hak-hak anak tidak tercantum dalam RUU MHA. ”Perlu diingat, anak merupakan aset bangsa yang mewarisi segala pengetahuan tradisional ataupun modern,” katanya.
Melihat draf yang ada, bahkan kata ’anak’ pun tidak ada, apalagi bicara perilndungan dan pengakuannya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung, Dewi Rosiana. Menurut dia, kehidupan anak sangat dipengaruhi konteks sosial terdekatnya, yakni keluarga, teman sebaya, dan lingkungan. Saat ini masih banyak terjadi, anak dengan latar belakang budaya yang beragam terkesan minder di hadapan anak-anak lainnya karena dianggap kampungan dan lain sebagainya.
”Perlu ada orang lain, misalnya guru, yang harus membentuk pemikiran anak agar bangga dengan latar belakang budayanya dan tentunya dengan identitasnya,” kata Dewi.