Sumatera Utara dan Sejarah Panjang Berbahasa Indonesia
Bisa jadi ikrar dalam Sumpah Pemuda akan berbeda jika Sanusi Pane, tokoh pemuda kelahiran Tapanuli Selatan tahun 1905, tidak mendukung langkah Tabrani, Ketua Panitia Kongres Pemuda I tahun 1926.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·5 menit baca
Dikenal sebagai penutur bahasa Indonesia yang baik, warga Sumatera Utara memiliki sejarah panjang dalam mendukung proses kelahiran bahasa persatuan. Selain terlibat dalam kongres pemuda, sejak abad ke-7 warga di pesisir Sumut juga menghidupi bahasa Melayu yang menjadi landasan bahasa Indonesia.
Bisa jadi ikrar dalam Sumpah Pemuda akan berbeda jika Sanusi Pane, tokoh pemuda kelahiran Tapanuli Selatan tahun 1905, tidak mendukung langkah Tabrani, ketua panitia Kongres Pemuda I tahun 1926. Tabrani menyebut bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.
Saat itu terjadi perdebatan sengit antara Tabrari yang merupakan anggota Jong Java dan Muh Yamin yang didukung Djamaludin Adinegoro. Keduanya merupakan anggota Jong Soematranen Bond.
Yamin mengusulkan bahasa Melayu yang telah menjadi liqua franca sebagai bahasa persatuan. Sementara Tabrani mengatakan, kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, bahasa persatuannya harus disebut bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.
Yamin menyebut Tabrani sebagai pelamun karena bahasa Indonesia belum ada. ”Lagi pula yang ada bahasa Melayu, sedangkan bahasa Indonesia tidak ada. Tabrani tukang ngelamun," kata Yamin seperti ditulis Tabrani dalam bukunya, M Tabrani, Anak Nakal Banyak Akal.
Tabrani pun menegaskan sikapnya, kalau bahasa Indonesia belum ada, harus dilahirkan di Kongres Pemuda I itu. Posisi Tabrani kalah karena suaranya hanya 1, sementara Yamin didukung Djamaludin.
Sanusi Pane yang belakangan datang, sebagai perwakilan Jong Batak Bonds, ternyata mendukung langkah Tabrani. Dengan posisi pro dan kontra yang kemudian seimbang, pengambilan keputusan tentang bahasa persatuan akhirnya ditunda dan disampaikan dalam Kongres Pemuda II. Di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 itulah muncul ikrar ke-3, Sumpah Pemuda, ”Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”.
”Sanusi Pane menyetujui dan mendukung dilahirkannya bahasa Indonesia karena landasannya memang telah ada sebelumnya, sebagai alas asimilasi dengan semua pengaruh asing,” kata Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara Maryanto melalui sambungan telepon, Senin, (9/8/2021).
Keberadaan bahasa Indonesia secara nyata menyatukannya kebinekaan Indonesia. Selain itu, juga menjadikan tidak ada bahasa daerah tertentu yang akan mengungguli bahasa daerah lainnya.
Untuk menjaganya, Sanusi, yang juga sastrawan Pujangga Baru itu, mengusulkan pendirian lembaga kebahasaan Institut Bahasa Indonesia. Lembaga itu yang bertanggung jawab pada perkembangan kebahasaan di Indonesia.
Usulan disampaikan saat Sanusi menjadi pembicara Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Solo, Jawa Tengah, pada 1938. Institut bahasa itu kemudian berkembang menjadi Balai Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Tak banyak negara yang memiliki lembaga bahasanya sendiri,” kata Maryanto.
Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu pun terus berkembang menyerap aneka macam bahasa daerah dan internasional. Peran Sanusi Pane yang besar dalam pemajuan bahasa Indonesia itu pun diusulkan Sumatera Utara mendapat gelar pahlawan nasional dalam bidang kebahasaan tahun ini.
Tonggak abad ke-7
Keberadaan bahasa Melayu sebagai lingua franca tak lepas dari keberadaan Pelabuhan Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Sejak sebelum abad ke-7, di sana telah menjadi pelabuhan internasional dengan perdagangan getah kapur dan kemenyannya. Di situ pertemuan dengan kebudayaan asing, seperti Persia, China, dan India, bahkan Eropa terjadi.
”Barus telah menjadi kancah lebur dan titik awal pemoderenan bahasa Melayu,” kata Maryanto.
Jaringan perdagangan kuno itu meninggalkan artefak kebahasaan pada penduduk setempat. Bahkan, istilah ”kafuuran” yang diartikan kapur barus merupakan kosakata bahasa Indonesia yang tercatat dalam kitab suci Al Quran (Surat 76:Al-Insan ayat (5).
Barus telah menjadi kancah lebur dan titik awal pemoderenan bahasa Melayu.
Maryanto mengatakan, pada abad ke-16, bahasa Melayu yang berkembang di Barus mencapai puncak status. Mengutip catatan Abdul Hadi MW dari Universitas Paramadina, Jakarta, Maryanto mengatakan, bahasa Melayu pada masa itu telah dinyatakan sebagai bahasa pergaulan penduduk kepulauan Nusantara di bidang perdagangan, keagamaan, dan intelektual. Perdagangannya adalah kapur dan kemenyan.
Pada masa kejayaan bahasa itu pula, tepatnya pada abad ke-17, muncul pujangga terkenal bernama Hamzah Fansuri atau Hamzah dari Barus yang diakui di dunia kesusastraan sebagai pencipta pertama syair Melayu dan digemari banyak orang. Dalam sajak-sajaknya yang bernuasa sufi, Hamzah Fanzuri selalu menyebut lingkungan sekelilingnya, seperti Negeri Melayu yang mansyur dengan kapur yang ada di dalam kayu.
Bibit kebahasaan dan sastra tumbuh subur di Sumatera Utara. Setelah Hamzah Fansuri, muncul sastrawan-sastrawan besar dari Sumatera Utara pada setiap eranya, seperti Merari Siregar di angkatan Balai Pustaka serta Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Armin Pane di era Pujangga Baru, Sitor Situmorang pada angkatan ’45, hingga sastrawan modern seperti Hamzad Rangkuti. Karya-karya mereka digemari di Tanah Air hingga mancanegara.
Penerbitan media juga marak di Sumatera Utara. Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan mencatat, penerbitan surat kabar di Sumut mencapai lebih kurang 17 surat kabar pada 1880-1942. Sumut bahkan menjadi pelopor surat kabar perempuan, seperti Perempoean Bergerak yang terbit di Medan tahun 1919, Soeara Iboe di Sibolga tahun 1932, dan Boroe Tapanoeli di Kotanopan pada 1940
Sejarawan Sumut Ichwan Azhari, dalam sebuah kesempatan, mengatakan, penggunaan kata merdeka sebagai nama penerbitan pun ada Sumut, yakni Surat Kabar Soeloeh Merdeka pada 1945. Kondisi itu menunjukkan di Sumatera Utara sejak awal dipenuhi iklim memperjuangkan kemerdekaan dan penggunaan bahasa nasional dengan baik.
Yamin, yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan di masa kemerdekaan, bahkan menunjuk Kota Medan sebagai penyelenggara Kongres Bahasa Indonesia ke-2 pada 28 Oktober-2 November 1954. Alasannya, di Kota Medan, bahasa Indonesia terpelihara dengan baik di kalangan rumah tangga maupun di masyarakat.
Seturut waktu, kosakata dan lafal kata bahasa Indonesia di Medan dan sekitarnya pun berkembang dalam ragam lisan khas Medan sebagai bagian dinamika masyarakatnya yang majemuk dan terbuka. Banyak kata dalam bahasa daerah dan bahasa asing yang kemudian diadopsi dalam ragam bahasa Medan.
Analis kata dan istilah Balai Bahasa Sumut, Anharuddin Hutasuhut, mengatakan, hal itu dimungkinkan karena bahasa sangat dinamis dan terus berubah sesuai dengan dinamika penuturnya. Namun, prinsip dasar berbahasa terus dipelihara dan dikedepankan di Sumatera Utara, yakni mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.
Terbukti, Sumatera Utara menjadi provinsi pertama yang memiliki Peraturan Daerah tentang Pengutamaan Bahasa Indonesia dan Perlindungan Bahasa Daerah dan Sastra Daerah dengan Perda Nomor 8 Tahun 2017-nya.