”Perang Kicauan” Taliban di Media Sosial
Pendudukan Afghanistan oleh kelompok militer Taliban menimbulkan keriuhan dan pro-kontra di media sosial. Publik diharapkan tetap kritis dan skeptis karena isu ini rentan provokasi dan berita bohong.
Kelompok militer bersenjata Taliban menduduki Kabul, ibu kota Afghanistan, Minggu (15/8/2021) waktu setempat. Perebutan kota itu terjadi dalam waktu relatif tidak lama. Namun, keriuhan di jagat maya dan media sosial terus berlangsung setelahnya.
Banyak yang mengecam pendudukan kembali kelompok yang pernah menguasai Afghanistan sebelum diusir tentara Amerika Serikat dan sekutunya. Taliban dikhawatirkan membunuh demokrasi dan kebebasan di sana.
Baca juga: Duduki Istana Kepresidenan, Taliban Kembali ke Tampuk Kekuasaan Afghanistan
Raksasa media sosial asal Amerika Serikat, Facebook, bahkan menahan serangan Taliban di media sosial miliknya dengan memblokir konten yang berkaitan dengan dukungan kelompok militer ini. Kepada kantor berita AFP, Facebook mengonfirmasi telah memasukkan Taliban sebagai kelompok berbahaya.
”Taliban dikenai sanksi sebagai organisasi teroris di bawah hukum AS dan kami telah melarang mereka menggunakan layanan kami di bawah kebijakan terhadap organisasi berbahaya,” ujar juru bicara Facebook kepada AFP, Rabu (18/8/2021).
Baca juga : Facebook Blokir Taliban
Di Facebook, pemberitaan yang ditampilkan hingga Kamis (19/8/2021) menunjukkan kondisi terkini di Afghanistan. Namun, tidak ada artikel yang mencantumkan dukungan terhadap Taliban selama 24 jam terakhir.
Pemotongan akses dari Facebook tidak serta-merta mengurangi keramaian cuitan di media sosial. Di media sosial lainnya, Twitter, perang cuitan terkait Taliban berlangsung lebih sengit. Dukungan tetap berjalan dengan mencantumkan beberapa tautan berita yang membahas Taliban. Tentu saja mereka mengutip bagian yang menguatkan dukungannya.
Sampai ke Indonesia
”Perang cuitan” di media sosial tentang Taliban juga terjadi di Indonesia. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Dadang Rahmat Hidayat, berujar, kondisi ini terjadi karena Indonesia memiliki kedekatan kultural dan sosial dengan Afghanistan. Hal itu tecermin dalam keyakinan dan letaknya sama-sama di Asia.
Realitas sosial ini, tutur Dadang, turut tecermin di dalam dinamika jagat maya melalui media sosial. ”Realitas sosial itu beririsan dengan isu yang dibahas di media sosial. Dalam fenomena ini, sebagai salah satu negara berpenduduk mayoritas Islam, warga Indonesia tentu memberikan perhatian atas apa yang terjadi di Afghanistan. Apalagi, media massa juga memberikan informasi-informasi yang digunakan warganet sebagai referensi,” ujarnya.
Baca juga : Membuka Kotak Hitam Afghanistan
Sementara itu, Taliban juga kerap dikaitkan dekat dengan isu terorisme yang menjadi pembahasan menarik di media sosial. Label sebagai pendukung gerakan terorisme ini diberikan oleh Pemerintah Amerika Serikat pascaserangan teroris di gedung kembar World Trade Center di New York, AS, 11 September 2001.
Osama bin Laden, jutawan asal Arab Saudi dan pendiri Al Qaeda yang dekat dengan Taliban dianggap bertanggung jawab dalam pengeboman tersebut. Presiden AS saat itu, George W Bush, terang-terangan menyatakan perang melawan terorisme dan mengharapkan dukungan dari para pemimpin dunia.
”Perang ini memakan waktu dan kesabaran kita. Tetapi, kita tidak akan melakukan kesalahan dan kita akan memenangi pertempuran ini,” ujarnya (Kompas, 14/9/2001).
Menurut Dadang, pelabelan sebagai pendukung teroris ini bisa saja berdampak pada motivasi sejumlah orang. Gerakan yang terjadi saat ini tidak menutup kemungkinan akan memberikan pengaruh bagi orang-orang yang memiliki pemikiran serupa.
”Amerika Serikat telah melabeli Taliban sebagai teroris. Namun, semua ini tergantung dari bagaimana pelabelaan dari sejumlah pihak dan bagaimana mereka mengonstruksi pemikiran seperti apa. Wajar kekhawatiran terorisme ini muncul karena gerakan dari sebuah ideologi mampu menginspirasi banyak orang,” paparnya.
Dadang menuturkan, keriuhan di media sosial ini bakal tetap terjadi sambil menanti keputusan politik dari Pemerintah Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki politik luar negeri yang bebas aktif dan mengedepankan perdamaian dalam merespons konflik.
”Sekarang sikap Pemerintah Indonesia masih belum jelas, jadi perdebatan bisa saja bakal tetap ramai di media sosial,” ujarnya.
Lebih kritis
Menurut pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Hikmawan Saefullah, Indonesia sebaiknya lebih berhati-hati dalam merespons kondisi politik yang terjadi di Afghanistan. Apalagi, Taliban masih belum mendapatkan kekuasaan penuh pascapendudukan ibu kota Kabul.
Hikmawan berpendapat, Indonesia harus menunggu pembuktian komitmen dari Taliban. Janji ini, antara lain, ialah melakukan moderasi di bidang pemerintahan hingga peningkatan derajat kaum perempuan.
”Yang mesti disadari, situasi di Afghanistan belum menentu. Masih ada faksi-faksi oposisi yang melawan Taliban, dan dikhawatirkan terjadi perang sipil yang panjang. Apalagi, Taliban ini kelompok militer yang berdasarkan kesukuan sehingga potensi konflik dengan suku lain rawan terjadi,” paparnya.
Di tataran publik dan media sosial, Hikmawan berharap warga juga bersikap kritis dan skeptis terhadap informasi yang beredar di media sosial. Apalagi, informasi pada masa transisi seperti yang terjadi pada Taliban ini rentan terhadap persebaran berita bohong dan provokatif.
Menurut Hikmawan, kondisi ini terjadi karena saat ini publik hidup di era post-truth, atau kondisi di mana pembaca bisa percaya akan suatu hal karena sesuai dengan keyakinannya tanpa melihat kebenarannya. Karena itu, manipulasi informasi hingga berita provokatif yang akan menguntungkan salah satu pihak.
”Berita bohong dan provokatif itu pasti ada. Orang-orang akan cenderung memilih informasi yang menguntungkan kelompoknya. Jadi, jangan sampai propaganda yang ada di media sosial, yang dibuat kelompok tertentu, dianggap sebagai kebenaran mutlak,” ujarnya.
Membaca bijak
Dadang juga mengingatkan warganet dan publik untuk berhati-hati menyaring informasi di tengah serangan konten-konten berbau Taliban. Muatan yang provokatif dan mengandung hoaks berpotensi memecah belah dan menimbulkan keributan di ranah media sosial dan realitas sosial.
”Literasi digital dari warganet harus bisa mengimbangi banyaknya konten yang beredar. Jangan langsung percaya dari konten yang tidak jelas sumbernya dari mana. Salah satu cara yang aman, kutip dari media mainstream,” ujarnya.
Baca juga : Menunggu Deklarasi Taliban dan Komitmen pada Perlindungan Perempuan
Kecerdasan publik dalam menyaring konten dalam jagat maya ini, lanjut Dadang, tidak hanya berlaku untuk isu Taliban ini. Banyak sekali permasalahan di Tanah Air yang menjadi perdebatan di jagat maya dan memicu perselisihan.
Jika bijak, isu-isu Taliban dan lainnya di media sosial ini bisa menambah khazanah pengetahuan. Semua bisa didapat tanpa harus ”berperang cuitan” untuk menentukan siapa yang benar dan salah.