Dijual Orangtua, Remaja Itu Menanggung Beban Berat Seumur Hidupnya
Kasus OA, remaja perempuan yang dijual ayah kandungnya di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa keluarga tidak selalu menjadi tempat aman bagi anak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Tinggal satu atap dengan orangtua kandung sejatinya masa ”hujan” kasih sayang. Sekalipun ada saja kisah-kisah tak seindah itu, apa yang dialami OA, perempuan 14 tahun di Kabupaten Kapuas adalah kisah lain yang sulit diterima.
Akhir tahun 2019, ketika masih duduk di bangku kelas I SMP, adalah awal kisah awan mendung gelap bagi OA. Di sebuah hotel melati, remaja pendiam itu dipaksa menjalani transaksi seksual untuk pertama kali. Ia tak kuasa menolak sekalipun merasa jijik dan tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya.
Di luar hotel, ayah kandungnya, Ardiansyah (61), menunggu sekaligus mengantarnya. Adalah mucikari Radmad (33) alias Amat ”Panci” yang mengatur kapan waktu mengantar dan hotel mana tujuannya.
Uang yang didapat OA kemudian diberikan ke ayahnya (Kristanto Situmeang)
Seperti barang konsumsi, OA dijual secara daring dengan tarif Rp 600.000. Sejak itu, tak terhitung lagi berapa kali ia menangis dan meratap, jatuh di tangan mereka yang membelinya. Bahkan, menawarnya. Hingga pertengahan Agustus ini, semua berakhir.
Dua hari setelah peringatan HUT Ke-76 RI, Kamis (19/8/2021), Ardiansyah dan Rahmad digiring polisi bersenjata lengkap ke tengah lapangan Markas Polres Kapuas, Kalimantan Tengah. Tangan mereka diborgol besi, keduanya berjalan perlahan, kepalanya diselubungi kain, menyisakan lubang di mata dan mulut.
Di sela-sela jumpa media, kepada Kepala Kepolisian Resor Kapuas Ajun Komisaris Besar Manang Soebeti, Ardiasyah menyebut faktor ekonomi di balik keputusannya menjerumuskan OA. ”Uang itu untuk membayar kontrakan, kredit motor, dan biaya sekolah anak-anak,” katanya. Suasana hening.
Pada penangkapan mereka, polisi menyita uang tunai Rp 550.000, sebuah telepon pintar, sebuah sepeda motor, dan satu kunci kamar hotel.
Manang yakin, ada korban- korban lain dalam praktik prostitusi daring di Kuala Kapuas itu. Polisi masih mencari bukti-bukti lain untuk menjawab keresahan warga.
Bertemu mucikari
Keputusan Ardiansyah menjual OA tak lepas dari Rahmad. Keduanya bertemu atas inisiatif Ardiansyah, dua tahun lalu, sebelum pandemi Covid-19.
Ardiansyah merupakan warga Kelurahan Selat Hilir, Kecamatan Selat Kapuas, Kabupaten Kapuas, sedangkan Rahmad tinggal di Kecamatan Bataguh, Kapuas. Keduanya lalu tinggal di Kuala Kapuas, ibu kota Kabupaten Kapuas.
Saat itu, Ardiansyah tanpa pekerjaan tetap. Ia berjualan jajanan pentol, membersihkan kebun tetangga, bekerja di pasar, dan pekerjaan serabutan lainnya. Namun, masih juga tak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Di sisi lain, ia penasaran dengan Rahmad yang dulunya hanya berjualan panci, kini mentereng mengendarai mobil dan punya rumah. Hidupnya berubah drastis.
Ardiansyah terkejut ketika Rahmad menyebut bisnis prostitusi dan menawari kerja sama. Apa lagi kalau bukan mencari perempuan muda untuk dijajakan.
"Kenapa akhirnya tetap menjual anakmu sendiri?" tanya polisi.
“Saya diyakinkan dengan kerja begitu bisa memiliki banyak uang untuk penuhi kebutuhan hidup keluarga,” ujar Ardiansyah.
Akhirnya, dengan alasan tak menemukan calon korban, Ardiansyah meminta anak gadisnya sendiri. Ia sampaikan niat itu pada istri keduanya, ibu kandung OA. Keduanya lalu membujuk OA, “kamu harus jadi tulang punggung keluarga karena bapak dan ibu sudah tidak punya pekerjaan”.
Tak bisa membantah, OA mulai menjalani kisahnya. Rahmad-lah yang mengajari OA cara menemani dan memuaskan tamu, mengajari bersolek, dan mengenalkannya dengan alat kontrasepsi.
Sejak itulah dunia baru yang jauh dari kelayakan dunia remaja menjadi rutinitas OA. Ironisnya, terkadang ibunya sendiri yang mengantar "bekerja", menemui pelanggan jika suaminya berhalangan.
Dari sanalah keluarga itu membeli sepeda motor, pindah rumah sewa yang lebih baik, dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ironis.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kapuas Ajun Komisaris (AKP) Kristanto Situmeang menjelaskan, hampir dua tahun terakhir OA menjadi tulang punggung keluarga berpenghasilan Rp 500.000 hingga Rp 600.000 per hari.
Bahkan, menurut dia, Rahmad terkadang menerima tawaran transaksi Rp 300.000, tergantung situasi. Uang itu kemudian dibagi untuk Rahmad Rp 100.000 dan OA menerima Rp 75.000 per tamu.
Sisanya untuk biaya operasional, seperti sewa kamar dan lain-lain yang hanya Rahmad yang tahu. “Uang yang didapat OA kemudian diberikan ke ayahnya,” ujar Kristanto.
Kepada polisi, Rahmad mengaku memanfaatkan aplikasi daring untuk bertransaksi. Calon tamu memilih beberapa wanita yang ditawarkan, lalu terjadilah tawar-menawar harga. Jika sepakat, ia akan menentukan hotel dan nomor kamar untuk bertemu OA maupun perempuan lainnya.
“Amat (Rahmad) ini sudah lama beroperasi di Kapuas dan tidak hanya satu wanita, tetapi masih ada yang lain, sedangkan Adriansyah dan anaknya baru beroperasi sekitar 1-2 belakangan,” kata Kristanto.
Ancaman pidana
Atas praktik ilegal itu, Rahmad dan Ardiansyah dijerat Pasal 88 UU Nomor 17 Tahun 16 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Dari keterangan polisi dalam Berita Acara Pemeriksaan, Ardiansyah tersebut pernah mengenyam pendidikan hingga S2 di Mesir. Rahmad putus sekolah hingga kelas 4 SD.
Menurut Kepala Bidang Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APP-KB) Kapuas, Karolina Kamala, kasus ini mengejutkan. Kasus pertama di Kapuas, bahkan Kalteng, di mana ayah menjual anaknya dalam dunia prostitusi.
Sebelumnya, kekerasan anak yang terjadi di dalam keluarga di Kalteng bukan penjualan anak kandung dalam prostitusi daring. Data Polda Kalteng, periode Januari-Juli 2020 terdapat 41 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Di Kota Palangkaraya saja ada 38 kasus. Kekerasan itu berupa kekerasan fisik, seksual, pembuangan bayi, hingga kekerasan yang menyebabkan kematian.
Kepada pendamping, OA mengatakan ia tak kuasa menolak. "Ia bilang sebenarnya jijik,” ungkap Karolina. Di tengah keprihatinan, saat ini sedang tidak ada psikolog di lembaganya yang siap bertugas karena menjalani isolasi mandiri.
OA pun masih tinggal bersama ibunya yang sedang sakit, bersama adiknya. Remaja itu menanggung beban seumur hidupnya.