Teri Kampung Hadakewa NTT ”Berselancar” di Pasar Daring
Pamor ikan teri asal Desa Hadakewa di Nusa Tenggara Timur semakin terkenal sejak dipasarkan secara daring. Produk warga kampung itu berselancar lintas batas lewat sentuhan gawai.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Klemens Kwaman (40) memasukkan foto dan deskripsi kemasan ikan teri Hadakewa ke dalam aplikasi penjualan dalam jaringan atau daring. Seketika, produk asal Hadakewa, desa di pesisir Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu merambah dunia maya. Pamor produk kampung itu naik, pemesanan pun berdatangan.
Hanya dengan sentuhan lewat gawai, ikan teri asal kampung itu menjadi terkenal. Setidaknya, saat ini sudah terpampang di dua situs penjualan ternama di Indonesia, yakni Tokopedia dan Shopee, dengan nama produk Teri Hadakewa. Pemasaran produk juga diramaikan di akun Facebook bernama Desa Hadakewa.
Dalam apalikasi pemesanan, ada enam jenis teri yang ditawarkan, yakni merang, peseng-peseng, siro, mao merah, mao putih, phada, dan gelle. Nama jenis teri itu diambil dari sebutan dalam bahasa lokal, bukan nama ilmiah. Namun, yang pasti semua ikan itu merupakan famili Engraulidae. Ukurannya paling panjang 5 sentimeter.
Masa awal usaha penjualan teri dari Desa Hadakewa dikembangkan pada 2017. Teri dititip di toko atau warung di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Seiring semakin gencarnya perluasan jaringan internet di daerah itu, mereka beralih menawarkan produk secara daring.
”Kehadiran jaringan internet di kampung kami sangat membantu pemasaran produk kampung. Bisa jualan di sini, menjangkau orang tanpa batas, dan biayanya sangat murah. Cukup beli pulsa data saja,” kata Klemens yang kini menjabat Kepala Desa Hadakewa itu pada Kamis (19/8/2021).
Saat ini, pemesanan terus berdatangan, baik di dalam dalam wilayah NTT maupun dari sejumlah daerah di Indonesia, seperti kota-kota di Sumatera, Jawa, Kalimatan, Sulawesi, hingga Papua. Baru-baru ini, mereka mengirim 60 kilogram teri yang dipesan seorang menteri di Jakarta.
Pembeli dari luar negeri juga tertarik setelah Klemens memperkenalkan produk itu dalam sebuah acara di India pada September 2019. ”Ada pengusaha dari Jepang yang mau beli dalam jumlah yang banyak, tapi produk kami belum cukup untuk memenuhi,” ujarnya.
Ke depannya, produksi akan terus ditambah. Saat ini, dalam satu hari, bisa diperoleh hingga 200 kilogram teri siap jual. Salah satu kendala dalam bisnis tersebut adalah tingginya ongkos kirim. Untuk pengiriman ke Kupang, ibu kota Provinsi NTT, misalnya, ongkos kirim mencapai Rp 60.000 per kilogram.
Kehadiran jaringan internet di kampung kami sangat membantu pemasaran produk kampung. Bisa jualan di sini, menjangkau orang tanpa batas, dan biayanya sangat murah. Cukup beli pulsa data saja.
Namun, pemesanan tetap datang lantaran rasa teri yang dianggap berbeda dengan teri lain. ”Yang membedakan teri Hadakewa dengan teri lain pada umumnya adalah teri Hadakewa rasanya tidak asin dan tidak tawar, tetapi rasa gurih khas air laut. Pengolahannya alami tanpa pengawet,” ujar Klemens.
Ikan teri itu dijaring dari Teluk Hadakewa yang ada di hadapan kampung itu. Tiba di darat, badan usaha milik desa (BUMDes) Tujuh Maret, milik desa itu, membelinya, lalu diolah. Setelah dicuci, teri disortir berdasarkan jenisnya, kemudian dijemur di bawah matahari. Sehari kemudian, teri dikemas dalam berbagai ukuran paling kecil 250 gram hingga 1 kilogram.
Pengelolaan produk teri memberi harapan bagi banyak orang di daerah lumbung ikan teri itu. Setidaknya, hasil tangkapan nelayan langsung diserap. Dulu, banyak hasil tangkapan tidak laku di pasaran atau dibeli dengan harga sangat murah. Pada saat puncak musim, teri terbuang begitu saja di pesisir.
Internet kampung
Vincent Benidau, pendamping untuk pengelolaan dana desa di Desa Hadakewa, mengatakan, naiknya pamor teri asal desa itu sangat dipengaruhi penetrasi pemasaran dalam jaringan atau online. Sebelumnya, teri yang diolah di Desa Hadakewa dibeli pengepul dari luar Lembata. Saat dijual lagi, mereka menyebut teri itu bukan dari Hadakewa.
”Sekarang branding-nya sudah kami dapatkan,” ujar Vincent.
Warga di kampung itu terus didorong untuk bersama-sama memperkenalkan kampung tersebut berserta segala potensinya melalui media sosial mereka masing-masing. Mereka memanfaatkan layanan jaringan internet yang kini sudah semakin mudah diakses.
Banyak daerah di Lembata memiliki potensi lokal yang bisa digaungkan. Selain butuh inovasi dan kreativitas pemimpin di desa, perlu juga dukungan jaringan telekomunikasi. Masih banyak desa yang tidak terjangkau jaringan. Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Selain ikan teri, daerah tersebut juga memiliki lokasi wisata pantai yang indah dengan hamparan pasir lebih dari 300 meter. Di sana sudah berdiri tempat peristirahatan. Secara historis, Hadakewa merupakan tempat dideklarasikannya Kabupaten Lembata pada 7 Maret 1999. Untuk mengenangnya, sejumlah hajatan besar tingkat kabupaten digelar di Hadakewa. Ekonomi setempat pun bergairah.
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Desa Hadakewa memulai kerja sama dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi untuk membangun jaringan internet di desa itu. Saat ini, perangkat keras sedang diproses pengirimannya dari Kupang.
Setelah terpasang nanti, di sejumlah titik di kampung berpenduduk sekitar 1.100 jiwa itu akan dipasang titik jaringan nirkabel atau Wi-Fi. Warga pun semakin mudah mengakses internet. Mereka tidak perlu lagi harus membeli kuota internet untuk berselancar di dunia maya.
Menurut Vincent, banyak daerah di Lembata memiliki potensi lokal yang bisa digaungkan. Selain butuh inovasi dan kreativitas pemimpin di desa perlu juga dukungan jaringan telekomunikasi. Masih banyak desa yang tidak terjangkau jaringan. Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Perkuat jaringan
Mengutip siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika, kementerian itu akan membangun 421 base transceiver station (BTS) atau menara pemancar sinyal seluler di semua wilayah terdepan, tertinggal, dan terpencil. Pembangunan yang dimulai tahun ini hingga tahun depan itu dijanjikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate pada 28 Juni 2021 lalu.
Johnny mengakui, masih banyak daerah di NTT kesulitan mengakses jaringan internet. ”Kepala desa mau rapat streaming, video conference call (harus) naik pohon (untuk dapatkan sinyal). Jangan sampai (ada) lagi yang seperti itu,” katanya.
Menurut dia, salah satu kendala dalam pembangunan BTS adalah pembebasan lahan. Karena itu, ia meminta para kepala daerah agar membantu penyediaan lahan. ”Mengapa itu, karena BTS tidak bisa dibangun di langit, BTS juga tidak bisa dibangun di dasar laut atau di air, BTS hanya bisa dibangun di lahan, di darat, di tanah,” ujarnya.
Jika nanti BTS sudah berdiri dan akses internet semakin mudah, peluang itu harus dimanfaatkan masyarakat di desa-desa. Harusnya, semakin banyak ditemui produk dan keunggulan lokal warga kampung yang berselancar di pasar daring. Kesuksesan teri Hadakewa menjadi salah satu contohnya.