Mayoritas Wilayah di Palembang Berisiko Terdampak Banjir Rob
Banjir rob akibat kenaikan muka air laut sudah terasa di Palembang, Sumsel. Bahkan, 10 dari 18 kecamatan di Palembang sangat berisiko terdampak karena ketinggian wilayahnya sudah di bawah muka air pasang Sungai Musi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Risiko banjir rob akibat kenaikan muka air laut sudah terasa di Palembang, Sumatera Selatan. Bahkan, 10 dari 18 kecamatan di Palembang sangat berisiko terdampak karena ketinggian wilayahnya sudah di bawah muka air pasang Sungai Musi. Beragam upaya dilakukan untuk menekan risiko tersebut, seperti normalisasi sungai, pompanisasi, dan pembuatan kolam retensi.
Wali Kota Palembang Harnojoyo, Senin (16/8/2021), mengakui, risiko banjir rob sangat mungkin terjadi, apalagi Palembang merupakan daerah yang memiliki topografi dataran rendah dan memiliki karakteristik rawa. ”Karena itu, risiko genangan sangat mungkin terjadi,” ucapnya.
Mengantisipasi hal tersebut, ujar Harnojoyo, pemkot sudah melakukan restorasi dan pompanisasi sungai. Hal ini sudah dilakukan di beberapa aliran anak Sungai Musi, seperti Sungai Bendung dan Sekanak. ”Ketika kebijakan ini diterapkan, kawasan yang berada di daerah aliran sungai tidak lagi tergenang,” ujarnya.
Selanjutnya, upaya pemkot yang sedang berjalan adalah normalisasi Sungai Lambidaro dan Sungai Buah. Khusus untuk normalisasi Sungai Buah, ujar Harnojoyo, pihaknya akan berkoordinasi dengan PT Pupuk Sriwidjaja agar dapat mengalokasikan corporate social responsibility-nya. ”Karena memang aliran sungai itu berada di dalam kawasan PT Pusri,” ucapnya.
Tidak hanya itu, lanjut Harnojoyo, Pemkot Palembang juga tengah berencana membangun sejumlah kolam retensi dan ruang terbuka hijau sebagai area tangkapan yang diharapkan dapat meminimalisasi risiko banjir akibat kenaikan muka air laut.
Melihat risiko banjir rob yang terus mengintai, ujar Harnojoyo, Pemkot Palembang terus mangalokasikan dana agar pembangunan infrastruktur untuk mengembangkan area tangkapan air dapat terus dikucurkan. ”Kalau bisa setiap tahun kami akan bangun kolam retensi dan pompanisasi di kawasan yang rawan banjir,” ujarnya.
Kalau bisa setiap tahun kami akan bangun kolam retensi dan pompanisasi di kawasan yang rawan banjir.
Terkait dengan potensi banjir rob, Kepala Dinas Pekerjaan Umun dan Penataan Ruang Kota Palembang Ahmad Bastari Yusak sudah mengetahuinya dari hasil penelitian antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2010/2011 lalu. Mengacu pada penelitian tersebut, langkah pencegahan sudah dilakukan.
Walau Palembang tidak berbatasan langsung dengan laut, saat muka air laut naik, air sungai akan naik juga. Apalagi jarak antara muara laut dan sungai di Palembang hanya sekitar 90 kilometer.
Bahkan, lanjut Ahmad, dari 18 kecamatan yang ada di Palembang, 10 kecamatan di antaranya berada di bawah muka air pasang tinggi Sungai Musi. Kecamatan itu adalah Gandus, Ilir Barat 1, Ilir Barat 2, Sako, Sematang Borang, Kalidoni, Kemuning, Seberang Ulu, Kertapati, Jakabaring, dan Plaju.
Karena itu, beragam langkah pencegahan sudah mulai dilakukan, seperti pengerukan sungai dan anak sungai, pembangunan kolam retensi (retention pond), serta pompa pengendali banjir dan pemantauan infiltrasi air laut.
Tahun ini, ujar Ahmad, pihaknya membangun satu kolam retensi baru seluas 1,8 hektar di Sungai Lambidaro dan tahun depan sudah direncanakan lagi akan membuat kolam retensi baru di kawasan Kebun Bunga/simpang Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang seluas 4 hektar, serta beberapa lokasi lainnya yang masih dalam perencanaan.
Hingga kini, lanjut Ahmad, jumlah kolam retensi di Palembang sekitar 46 kolam. Memang, masih jauh dari yang direncanakan oleh Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia (LAPI) ITB yang berjumlah 77 kolam retensi.
Ada juga rencana pembangunan embung konservasi seluas 100 hektar sebagai upaya pengendali banjir dan sumber air baku jika Sungai Musi ada ”masalah” akibat infiltrasi air laut atau terjadi kekurangan kapasitas air sungai Musi (saat kemarau) sebagai sumber air baku air minum di kota Palembang saat ini.
Namun, ujar Ahmad, dalam mengantisipasi efek perubahan iklim ini perlu keterlibatan semua pihak, dimulai dari tingkat lokal. ”Kapasitas sumber daya manusia juga harus ditingkatkan, terutama wawasan mereka, terkait dengan isu perubahan iklim ini,” ujar Ahmad.
Perihal pembangunan, misalnya, harus memperhatikan sistem tata air dan drainasinya. Selain itu, perlu juga diperhatikan efek perubahan iklim pada kawasan permukiman dan perumahan dengan mempertimbangkan debit muka air Sungai Musi dan anak sungainya, intensitas curah hujan di wilayah tangkapan air, serta sistem distribusi air tersebut. ”Yang tak kalah penting adalah penghijauan kembali daerah hulu Sungai Musi,” ujarnya.
”Agar pembangunan Kota Palembang terus mengacu pada perubahan iklim, kami sudah merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang yang disesuaikan dengan perkembangan, kebutuhan, dan isu terkait kebijakan pembangunan, baik yang berskala nasional maupun lokal,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hairul Sobri mengatakan, guna menekan risiko banjir, seharusnya pemerintah tidak lagi mengizinkan pembangunan di daerah aliran sungai dan daerah tangkapan air.
Perihal Ruang Terbuka Hijau (RTH) masih terus dikorbankan demi pembangunan yang sangat masif. Jika saja pemerintah tetap mengacu pada rencana tata ruang wilayah (RTRW), kondisi RTH di Palembang tidak akan tergerus.
”Masalahnya, RTRW ini terus disesuaikan untuk kepentingan bisnis. RTRW disesuaikan dengan kepentingan pengusaha. Semua bertujuan untuk menambah pundi-pundi di APBD,” ujar Hairul.