Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di NTB masih marak terjadi. Oleh karena itu, sinergi semua pihak untuk mencegah TPPO sangat diperlukan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Tindak pidana perdagangan orang masih menjadi salah satu persoalan besar di Nusa Tenggara Barat. Bahkan, wilayah tersebut berada di posisi kelima terbesar kasus perdagangan orang di Indonesia. Oleh karena itu, sinergi semua pihak terkait sangat diperlukan dalam pencegahan kasus tersebut.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Husnanidiaty Nurdin menyampaikan hal itu di Mataram, Jumat (20/8/2021).
Husnanidiaty mengatakan, NTB saat ini menempati posisi kelima kasus tertinggi tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Empat daerah lainnya, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Urutan itu terungkap pada Rabu (18/8/2021), saat DP3AP2KB NTB menggelar Rapat Koordinasi Lintas Sektor Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, termasuk TPPO. Rapat dihadiri Kepolisian Daerah Provinsi NTB dan Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTB.
Berdasarkan data Subdirektorat IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB, sejak 2017 hingga Juli 2021, sudah ada 36 kasus TPPO yang ditangani. Dari total kasus itu, ada 39 korban dan 40 tersangka.
”TPPO adalah kasus yang berat dan harus ditangani secara serius mulai dari pencegahan, penanganan, hingga pemulihan karena berkaitan dengan jaringan internasional,” kata Husnanidiaty.
Oleh karena itu, lanjut dia, semua pihak harus bersinergi memberantas TPPO atau human trafficking. Sejauh ini, sudah banyak aturan tentang TPPO, tetapi pembagian peran masing-masing harus jelas.
Husnanidiaty menambahkan, banyak pihak bisa berperang dalam memberantas TPPO, termasuk dari tingkat desa. ”Pemerintah desa memiliki peran yang penting, dimulai dari data yang lengkap dan terpadu,” kata Husnanidiaty.
Saat ini sudah ada sistem informasi desa (SID). Juga sedang dikembangkan sistem informasi posyadu (SIP) yang berisi data kekerasan di desa atau data perkawinan anak. Sistem-sistem itu bisa digunakan oleh pihak desa dalam mencegah TPPO.
Pemerintah desa memiliki peran yang penting dimulai dari data yang lengkap dan terpadu. (Husnanidiaty Nurdin)
Kepala Subdit IV Ditreskrimum Polda NTB Ajun Komisaris Besar Ni Made Pujewati mengatakan, TPPO adalah kejahatan yang serius, bersifat transnasional, dan terorganisasi rapi. Selain itu, modus operandinya makin rumit.
Oleh karena itu, penanganan kasus TPPO perlu kerja sama yang serius dan sungguh-sungguh dari berbagai instansi terkait. ”Kendala terberat pada pengungkapan pelaku adalah pada korban karena tidak mau jujur dan mengungkap identitas pelaku,” kata Pujewati.
Kepala UPT BP2MI NTB Abri Danar Prabawa menambahkan, 85 persen korban TPPO dunia berasal dari Asia. Dari seluruh korban di Asia, 88 persen berasal dari Indonesia dengan pekerjaan terbanyak sebagai pekerja domestik atau pekerja rumah tangga.
Dalam catatan Kompas, kasus TPPO di NTB menggunakan modus tawaran sebagai tenaga kerja di luar negeri dengan iming-iming gaji tinggi.
Pada Februari 2021, misalnya, Polda NTB menangkap dua orang yang diduga melakukan TPPO, yakni HSR (44) dan AB (41). Kasus terjadi pada 2018.
Korban bernisial AB, asal Lombok Timur, dijanjikan bekerja di Abu Dhabi dengan gaji Rp 4 juta per bulan. Tetapi, dalam kenyataannya, korban tidak dikirim ke Abu Dhabi, tetapi ke Turki.
Selama di Turki, paspor korban ditahan dan ia ditampung bersama calon pekerja migran lainnya. Ia juga kerap mendapat kekerasan verbal dari majikannya. Selama dua tahun bekerja, ia hanya digaji Rp 4,2 juta.
Pada Desember 2020, korban melarikan diri dan mendapat perlindungan di KBRI Ankara, Turki. Dari kejadian itu, polisi kemudian menindaklanjutinya dan berhasil menangkap pelaku.