Merangkum Cakap Anak Medan dalam Kamus
Kamus disusun awalnya tanpa sengaja. Setiap kali terjadi obrolan staf dari Balai Bahasa Medan di Jakarta, ada teman dari daerah lain yang ternyata tidak paham dengan kata yang dimaksud.
Bahasa Indonesia ragam lisan di Medan punya variasi yang sangat luas. Ribuan kosakata hidup dalam percakapan sehari-hari di Medan. Kamus Cakap Anak Medan dan Kamus Bahasa Medan pun lahir untuk merangkum istilah-istilah itu.
Sebagai contoh, lorong artinya gang, mentiko yang artinya banyak tingkah, berondok berarti sembunyi, ecek-ecek yang berarti pura-pura, kaleng-kaleng artinya tidak bermutu atau abal-abal, sikit untuk sedikit, doorsmeer untuk cuci kendaraan.
”Cakap anak medan yang sangat kaya berakar dari pembauran beragam etnis yang hidup dalam satu kota. Anak Medan pun bisa dibilang tumbuh menjadi ’etnis baru’. Karena itu, kita bikin kamusnya,” kata penyusun Kamus Cakap Anak Medan, Choking Susilo Sakeh, kepada Kompas, Rabu (11/8/2021).
Kamus merangkum 1.310 kata dari bahasa Indonesia dialek Medan yang diterbitkan pada November 2020. ”Sebenarnya banyak sekali kosakata cakap anak Medan, tetapi cuman sikit yang bisa awak kumpulkan. Masih banyak yang lain yang belum masuk di kamus ini,” kata wartawan senior purnatugas yang lahir dan besar di Medan itu.
Baca Juga: Bahasa Indonesia Semakin Banyak Menyerap Kosakata Asing
Keinginan untuk merangkum cakap anak Medan itu terwujud pada awal pandemi Covid-19 tahun 2020. Karena banyak waktu luang, ia merangkum kembali cakap anak Medan yang ia tahu, mewawancarai anak Medan, mencari sumber dari media arus utama, dan media sosial. ”Namun, sebagian besar sumber saya dari orang-orang yang sudah tua yang lahir dan besar di Medan,” kata Choking.
Kamus disusun kurang dari tiga bulan dengan editor Osmar Tanjung, aktivis lembaga swadaya masyarakat. Menurut dia, kamus itu disusun dengan sangat santai, tidak berdasarkan kaidah ilmiah penyusunan sebuah kamus. ”Yang penting kamusnya terbit dulu agar cakap anak Medan itu bisa dirangkum dalam sebuah kamus,” katanya.
Buku saku itu dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan sudah habis diedarkan. Anak-anak Medan yang sudah merantau ke luar Medan pun menyambutnya. Membaca istilah-istilah di kamus itu rasanya seperti pulang kampung dan merasakan kembali atmosfer kehangatan komunikasi di Kota Medan.
Choking menyebut, cakap anak Medan itu keras, tetapi tidak kasar. Orang-orang di luar Medan sering salah mengartikan cakap anak Medan itu sama dengan bahasa Indonesia dialek Batak. Padahal, itu sangat berbeda sama sekali.
Cakap anak Medan, menurut Choking, terbentuk dari peradaban kota yang sudah ada selama ratusan tahun. Dialek itu dipengaruhi penduduk asli, yakni etnis Melayu di hilir dan Karo di hulu. Bahasanya kemudian bercampur aduk dengan etnis lokal Sumut, seperti Toba, Mandailing, Simalungun, Nias, dan Pakpak.
Penduduknya juga berbaur dengan pendatang dari etnis Jawa, Minang, Aceh. Bahkan, bercampur aduk juga dengan etnis luar negeri, seperti China, Tamil, Arab, Belanda, dan Inggris. Berbeda dengan kota besar lainnya yang didominasi etnis tertentu, di Kota Medan tidak ada suku yang mendominasi.
”Cakap anak Medan itu menggambarkan karakter warganya yang spontan, ceplas-ceplos, setia kawan, tidak suka basa-basi, dan tidak suka kesewenang-wenangan. Cuman satu pantangan anak Medan, pantang tak hebat,” kata Choking sambil tertawa. ”Pantang tak hebat” juga merupakan idiom cakap Medan yang menunjukkan sikap ingin selalu diperhitungkan.
Pada 2019, Balai Bahasa Sumatera Utara juga telah menerbitkan Kamus Bahasa Medan. Kamus mungil pas di tangan setebal 148 halaman itu terdiri dari 1.500 kata, yang dikumpulkan tim penyusun selama satu tahun.
Menurut Analis Kata dan Istilah Balai Bahasa Sumut Anharuddin Hutasuhut, salah satu anggota tim penyusun kamus, kamus disusun awalnya tanpa sengaja. Setiap kali terjadi obrolan staf dari Balai Bahasa Medan di Jakarta, ada teman dari daerah lain yang ternyata tidak paham dengan kata yang dimaksud dan ternyata istilah itu hanya ada di Medan.
Demikian pula sebaliknya, ketika ada tamu yang datang ke Medan, mereka ternyata tidak paham dengan kata yang dimaksud.
Menurun Anharuddin, mayoritas istilah dalam bahasa Medan berasal dari bahasa Indonesia yang berganti makna dan bentuk. Istilah itu diperkaya banyak kata serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
”Kadang-kadang pun penyerapannya sesat, ha-ha,” gurau Anharuddin. Kata doorsmeer, misalnya, diduga berasal dari bahasa Inggris, tetapi di Inggris pun tidak ada istilah itu.
Kamus juga dilengkapi dengan bentuk katanya, beberapa ada keterangan kata asalnya. Misalnya, kata wayar adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris wire yang berarti kabel, tetapi diucapkan wayar dan ditulis wayar. Jadi, jangan heran jika ada toko yang menuliskan: jual wayar, itu artinya toko itu menjual kabel.
Dalam penelitian berjudul ”Kosakata dan Lafal Kata Bahasa Indonesia Ragam Lisan Medan” yang dilakukan Balai Bahasa Sumatera Utara tahun 2015, disebutkan adanya perbedaan fonologi, morfologi, dan leksikal bahasa lisan di Medan dengan bahasa Indonesia.
Pada aspek fonologis, ada perbedaan pelafalan vokal dan konsonan yang dipengaruhi oleh pelafalan dalam bahasa daerah yang beragam di Medan. Misalnya mode dilafalkan modE seperi e pada kata teh, kain menjadi kaen, adik menjadi adek, main menjadi maen, air menjadi aer. Secara morfologis, perubahan terjadi misalnya pada kata pengrajin untuk perajin, pelepasan menjadi penglepasan.
Bahasa Medan berasal dari bahasa Indonesia yang berganti makna dan bentuk. Istilah itu diperkaya banyak kata serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Kebanyak perubahan terjadi pada makna leksikal, misalnya pajak untuk pasar. Kata itu terbentuk karena pedagang harus memberikan uang iuran rutin untuk membayar retribusi sehingga disebut pajak.
Lalu kenapa SPBU disebut galon? Penelitian itu menyatakan karena di SPBU ada tangki minyak penyimpanan yang besar sehingga disebut galon. Warga menggunakan istilah-istilah itu lebih karena kebiasaan saja. Penelitian juga merekomendasikan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif.
Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Budi Agustono, mengatakan, terbentuknya masyarakat plural di Medan terjadi sejak masuknya beragam etnis di Kota Medan pada abad ke-18. Masing-masing kelompok punya bahasa dan kulturnya.
”Dialek Medan punya ciri khas karena pencampuran bahasa dalam waktu cukup lama. Ini yang terus-menerus diwariskan pada generasi berikutnya,” kata Budi.
Budi menyebut, dialek Medan itu bahkan tidak berubah meskipun pemerintah menggunakan bahasa resmi. Di plang, semua pasar tradisional di Medan tetap menggunakan kata ”pasar”. ”Namun, realitasnya, masyarakat tetap menyebutnya pajak. Ini tidak perlu dihilangkan. Biarkan bahasa lokal tumbuh bersama budayanya,” kata Budi.
Budi menyebut, dialek Medan pada akhirnya tidak hanya sebagai bahasa sehari-hari. Cakap anak Medan juga menjadi mosaik adat kebudayaan yang menjadi pengikat kebersamaan di Kota Medan. ”Bahasa ternyata mempunyai universalisme yang bisa menyatukan banyak orang. Ini hanya terjadi di Medan, tidak di tempat lain,” kata Budi.
Baca Juga: Memuliakan Bahasa Indonesia