Ragam Makna Tiga Menit Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan di Bandung
Untuk kedua kalinya, peringatan kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan penuh duka tanpa kemeriahan. Meski begitu, semangat sebagian orang tetap tinggi, berharap yang terbaik akan segera datang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Belenggu kesusahan akibat pandemi Covid-19 tidak menyurutkan semangat sejumlah warga memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Bandung. Peringatan itu mengandung banyak makna, mulai dari merefleksikan perjuangan bertahan hidup dalam 1,5 tahun terakhir, mengajarkan nasionalisme kepada anak, hingga menggantungkan harapan agar Indonesia segera bebas dari ”penjajahan” virus korona.
Para pengendara dari lima penjuru jalan turun dari kendaraan masing-masing di Tugu Simpang Lima, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/8/2021). Mereka bersiap menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” pada peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI.
Dari salah satu penjuru, Siti Aulia (8) melangkah mendekati tugu sambil memegang erat bambu sepanjang setengah meter yang dipasangi bendera Merah Putih. Pagi itu, Siti datang dari rumahnya di Cibeureum, Kota Cimahi, menggunakan sepeda bersama ayahnya, Mumu Mulyana (43).
Keduanya lantas naik ke bundaran tugu untuk mengibarkan bendera bersama empat pengibar lainnya. Saat lagu ”Indonesia Raya” berkumandang melalui pengeras suara, para pengendara lainnya berdiri ikut bernyanyi sembari memberi hormat kepada Merah Putih.
Momen itu hanya berlangsung tiga menit, dimulai dari pukul 10.17 atau saat Merah Putih resmi berkibar pertama kalinya tahun 1945. Namun, Mumu meyakini, pengalaman tersebut akan tersimpan dalam ingatan Aulia selamanya.
”Ini menjadi pengalaman yang baik untuknya. Pasti dia akan ingat terus,” ujarnya.
Mumu tidak merencanakan hal itu. Sebelum berangkat dari rumahnya, Aulia ngotot memintanya membawa bendera Merah Putih karena bertepatan dengan HUT Ke-76 RI.
Mereka bersepeda sejauh 8 kilometer menuju Jalan Asia Afrika, Bandung, dan sekitarnya. Namun, saat mendekati Tugu Simpang Lima, Aulia meminta turun dari boncengan.
Siswa kelas II SD itu ingin ikut mengibarkan bendera pada peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI. Permintaan itu sempat membuat Mumu kebingungan. Sebab, ia tidak mempersiapkan tiang untuk dipasangkan ke bendera.
”Kebetulan di bawah pohon ada potongan bambu. Langsung saya ikatkan saja benderanya. Meskipun seadanya, yang penting Merah Putih bisa berkibar,” ujarnya.
Dalam peringatan kemerdekaan itu, Mumu berharap Indonesia segera merdeka dari pandemi Covid-19. Dengan demikian, ekonomi warga yang babak belur dihantam pandemi bisa segera pulih.
Mumu merupakan salah satu korban kejamnya pandemi. Sejak April 2020, ia dirumahkan perusahaannya di bidang konfeksi yang mengurangi beban pengeluaran gaji pekerja.
Ia sedih. Namun, tanggung jawab menafkahi istri dan kedua anaknya membuatnya tidak menyerah. Dengan membuka usaha konfeksi kecil-kecilan di rumah, kebutuhan hidup sehari-hari perlahan tercukupi.
Dahulu, gaji di perusahaan di atas Rp 4 juta per bulan. Pemasukan saat ini dari usaha konfeksi sekitar Rp 2 juta per bulan. Memang turun, tetapi saya tetap bersyukur karena situasi sedang sulit. (Mumu Mulyana)
”Dahulu, gaji di perusahaan di atas Rp 4 juta per bulan. Pemasukan saat ini dari usaha konfeksi sekitar Rp 2 juta per bulan. Memang turun, tetapi saya tetap bersyukur karena situasi sedang sulit,” jelasnya.
Bagi Mumu, tiga menit peringatan detik-detik proklamasi di Tugu Simpang Lima itu bermakna jamak. Mulai dari merefleksikan kesusahan hidup saat pandemi, mendidik anak tentang nasionalisme, hingga memanjatkan harapan agar Indonesia segera pulih dari gempuran Covid-19.
”Saya optimistis Indonesia bisa keluar dari pandemi dengan tidak saling menyalahkan. Masyarakat patuhi protokol kesehatan dan pemerintah harus serius untuk menyelesaikan vaksinasi,” jelasnya.
Jalan Asia Afrika juga banyak didatangi warga untuk memperingati detik-detik proklamasi. Ada yang berjalan kaki, bersepeda, hingga pawai sepeda motor.
Pekik ”Merdeka” berulang kali terdengar setelah lagu ”Indonesia Raya” selesai dinyanyikan. Bahkan, beberapa di antara mereka menyusuri jalan-jalan utama di Bandung sambil membawa bendera Merah Putih.
Bagi sebagian orang, pekikan itu bermakna ganda. Pertama, ucapan syukur memperingati kemerdekaan bangsa dan kedua, harapan agar segera merdeka dari rongrongan penderitaan akibat pandemi Covid-19.
”Indonesia sudah 76 tahun merdeka dari penjajah. Sekarang saatnya merdeka dari korona,” ujar Suparman (31) di depan Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika.
Agustus tahun lalu, pandemi menendang Suparman dari pekerjaannya. Hotel tempatnya bekerja mengurangi 70 persen karyawan karena sepinya tamu sehingga pemasukan hotel menurun drastis.
Berbagai upaya dilakukan untuk bertahan hidup, mulai dari kerja serabutan hingga meminjam uang kepada keluarga dan teman. Tiga bulan terakhir, bapak dua anak itu membantu menjual secara daring barang elektronik dari toko milik kerabatnya.
Pendapatannya tak menentu. Ia hanya menerima komisi kurang dari lima persen dari hasil penjualan. ”Tidak menyangka pandemi selama ini. Awalnya mengira cuma 3-6 bulan, setelah itu bisa bekerja lagi. Ternyata berlarut-larut,” keluhnya.
Akan tetapi, kesusahan akibat pandemi tak membuat Suparman lupa bersyukur atas kemerdekaan Indonesia. Sebab, masih ada negara yang, meskipun telah merdeka, dilanda konflik tak berujung.
”Bersyukur kita tinggal di negara merdeka dan damai. Mari berupaya dan berdoa agar pandemi berakhir sehingga kita juga segera merdeka dari kesulitan saat ini,” ucapnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, peringatan kemerdekaan 17 Agustus menjadi momentum menguatkan kembali identitas kebangsaan, persatuan, persaudaraan, dan gotong royong. Semangat perjuangan dan gotong royong itu kembali diuji saat pandemi melanda. Soliditas kolaborasi semua pihak sangat menentukan untuk lepas dari krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi.
”Pada 76 tahun silam para founding father kita mendeklarasikan kemerdekaan dari para penjajah. Hari ini kita juga semakin dekat untuk mendeklarasikan kemerdekaan dari virus yang mematikan ini (Covid-19),” kata Emil, sapaan Ridwan Kamil.
Emil menuturkan, sejumlah indikator penanganan pandemi di Jabar terus membaik. Salah satunya keterisian tempat tidur (bed occupancy rate) rumah sakit yang pernah di atas 90 persen pada akhir Juni dan awal Juli kini turun menjadi 28 persen.
Akan tetapi, perang melawan Covid-19 belum berakhir. Semua pihak diminta tidak bereuforia dan tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk mengantisipasi gelombang penularan berikutnya.
Setelah 76 tahun merdeka, rakyat Indonesia kembali berperang melawan virus korona. Lawan yang dihadapi berbeda, tetapi mau peduli dan bergotong royong masih menjadi ”senjata” untuk mengalahkannya.