Situasi pandemi Covid-19 yang belum mereda ternyata tidak membuat masyarakat dan pemerintah menekan pencemaran terhadap sungai. Risiko bahaya kesehatan pada masa depan meningkat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memaksa warga dunia menekan aktivitas untuk menghindari risiko penularan. Namun, di Jawa Timur, serangan pandemi sejak Maret 2020 dan sampai kini belum mereda tidak mengurangi, apalagi mengubah, perilaku industri dan masyarakat mencemari Sungai Brantas.
Bukti bahwa pencemaran terus terjadi amat mudah ditemukan dari keberadaan sampah di Brantas, sungai kedua terpanjang di Jawa setelah Bengawan Solo itu. Sampai sekarang pencemaran sulit diatasi karena perilaku industri dan masyarakat belum berubah serta pembiaran yang dilakukan oleh aparatur negara.
Memanfaatkan momentum peringatan 76 tahun Kemerdekaan Indonesia, kalangan pemerhati keragaman hayati di Jatim turun lagi ke Brantas untuk membersihkan sungai dari sampah sekaligus kampanye mengingatkan publik agar mau membuka diri mengubah perilaku tidak mencemari sungai.
Menurut koordinator River Warrior, Thara Bening Sandrina, Rabu (18/8/2021), Brantas amat penting bagi seluruh masyarakat di kabupaten/kota yang dilaluinya, yakni Malang Raya (Kota dan Kabupaten Malang serta Batu), Tulungagung, Kediri Raya (Kota dan Kabupaten Kediri), Kabupaten Blitar, Nganjuk, Jombang, Mojokerto Raya (Kota dan Kabupaten Mojokerto), dan Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Gresik).
”Air dari Sungai Brantas, termasuk percabangannya, digunakan sebagai bahan baku bagi perusahaan daerah air minum,” ujar mahasiswi Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya itu.
Beribu-ribu pohon di sepanjang Brantas menjadi tempat sampah plastik menyangkut. Sampah plastik dalam kurun waktu tertentu akan terdegradasi menjadi mikroplastik yang dapat tercampur dalam air sehingga mencemari biota dan manusia yang mengonsumsinya.
Thara mengungkapkan, di sepanjang Wringinanom-Driyorejo, setidaknya ada 500 pohon di bantaran Brantas yang jadi tempat sampah plastik tersangkut. Selain itu, ada 100 timbunan sampah di tepi sungai yang mudah longsor atau jatuh ke sungai dan mencemari kualitas air.
Koordinator Ekspedisi Pembebasan Pohon dari Sampah Plastik, Firly Mas’ulatul Janah, mengatakan, di Wringinanom-Driyorejo hanya 15 persen warga yang mendapat layanan pengambilan sampah. Sebagian kecil warga ada yang bersedia mengolah dan memanfaatkan sampah.
Di Wringinanom-Driyorejo hanya 15 persen warga yang mendapat layanan pengambilan sampah.
Namun, yang terbesar tidak terangkut sehingga dibuang begitu saja di mana-mana. Sungai menjadi ”tong sampah” termudah dan termurah.
Menurut Firly, mereka memunguti sampah-sampah plastik yang tersangkut di pohon-pohon meski sadar betul tidak akan sampai bersih. Jika pun hari ini bisa bersih, esok atau beberapa hari lagi akan kembali penuh sampah.
Mereka juga unjuk rasa di tumpukan sampah untuk menarik perhatian publik dengan harapan menggugah kesadaran masyarakat agar mengurangi mencemari sungai.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, kegiatan semacam ekspedisi, penelusuran sungai, dan memulung sampah telah menjadi program kegiatan bersama pemerhati lingkungan untuk melindungi sungai dari pencemaran.
”Kami sangat kecewa karena masalah pencemaran sungai dibiarkan oleh aparatur negara, terutama pemerintah,” kata Prigi.
Sudah banyak surat dan protes bahkan demonstrasi ditujukan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sudah banyak surat dan gugatan hukum dilayangkan kepada Gubernur Jatim dan bupati/wali kota yang daerahnya dilintasi Brantas. Namun, sampai saat ini pencemaran Brantas belum memperlihatkan perubahan yang positif.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pada pertengahan Februari 2019 atau sepekan setelah dilantik pernah sesumbar akan mendampingi atau setidaknya menugaskan pejabat teras untuk secara rutin mengadakan kegiatan memulung sampah di Brantas. Sayangnya, janji itu tidak lagi terpenuhi bahkan tenggelam dan terlupakan dalam masa pandemi Covid-19.