Menyantap Gurihnya Aneka Kuliner Olahan ”Telok” di Palembang
Selain pempek dan pindang, Palembang memiliki makanan khas lain, yakni beragam kreasi ”telok” (telur) yang hanya beredar satu tahun sekali menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Selain pempek dan pindang, Palembang memiliki makanan khas lain, yakni beragam kreasi telok (telur) yang hanya beredar satu tahun sekali jelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Hidangan ini menjadi simbol semangat baru dalam memperingati pengorbanan pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan.
Senin (16/82021), guru Sekolah Menengah Kejuruan 3 Palembang, Eni Haryanti (50), bersama tujuh temannya datang ke lapak yang berada di seberang Kantor Wali Kota Palembang di pinggir Jalan Merdeka. Dia tampak tergiur dengan hidangan yang tersaji di atas meja kayu sederhana, seperti telok abang, telok pindang, telok ukan, lemper sepit, dan bongkol.
Selain bongkol, empat hidangan lainnya hanya bisa ditemui jelang hari kemerdekaan. Dengan sigap, Eni memilah butir demi butir telur yang tersaji di meja kayu itu.
Pilihannya jatuh pada sebutir telok pindang, telok ukan, dan dua lemper sepit. Tak lama dia memasukannya ke dalam kantong plastik hitam untuk dibawa pulang. Semua makanan dia beli dengan harga Rp 20.000.
Yang paling mudah adalah telok abang (telur merah). Hanya dengan merebus telur ayam atau telur bebek dengan air campuran garam dan cuka selama 30 menit.
Sejak awal, Eni memang sudah mengincar hidangan khas Palembang tersebut karena hanya ada setahun sekali. ”Kalau tidak sekarang, saya harus menunggu tahun depan,” ujarnya. Baginya, membeli hidangan khas Palembang jelang hari kemerdekaan, berarti melestarikan tradisi dan budaya agar tidak punah. ”Jika bukan kita yang beli, siapa lagi?” ucapnya.
Tidak hanya Eni, tujuh temannya juga membeli hidangan serupa. Mereka harus bersaing dengan pembeli lain yang juga datang memburu hidangan yang sama. Bahkan, ada konsumen yang memesan tanpa turun dari kendaraan.
Baca Juga: Pelajaran Berhara Dari Sri Jayanasa
Adalah Nurbaya (62) peracik sekaligus penjual segala macam makanan khas tersebut. Sudah 15 tahun terakhir dia berjualan di seberang Kantor Wali Kota Palembang. Selain menjadi sumber rezekinya secara musiman, yakni menjual makanan khas jelang hari kemerdekaan, juga untuk meneruskan tradisi yang sudah ada turun-temurun.
Bahkan, keahliannya membuat beragam makanan itu dia peroleh dari nenek hingga ibunya. Tak heran segala resep hidangkan itu bisa dia paparkan dengan lancar.
Yang paling mudah adalah telok abang (telur merah). Hanya dengan merebus telur ayam atau telur bebek dengan air campuran garam dan cuka selama 30 menit. Setelah matang kemudian dia melumuri cangkang telur zat perwana makanan berwana merah.
Selanjutnya adalah teluk ukan yang berarti telur bukan. Memang pembuatan teluk ukan tidak hanya sekadar merebus telur semata, tetapi mengolahnya dengan beragam bahan, seperti santan, sari pandan, air kapur sirih, dan garam.
Dimulai dengan mengeluarkan isi telur dengan sedikit melubangi bagian atas cangkang telur. Kemudian isi telur itu dicampur dengan bahan-bahan yang sudah disediakan tadi lalu diaduk secara merata.
Olahan telur tersebut kemudian dimasukkan kembali ke dalam cangkang yang telah dilubangi. Bagian cangkang telur yang berlubang ditutup dengan gabus kemudian dikukus. Untuk menambah aroma dari telok ukan di dalam kukusan, cangkan telur yang berisi hasil olahan itu dialasi ampas kelapa dan daun pandan. Proses pengukusan membutuhkan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam.
Satu lagi adalah telok pindang, yaitu telur bebek yang diolah dengan campuran serai, garam, gula merah, dan asam jawa. Tidak seperti telur lainnya yang hanya membutuhkan waktu perebusan hingga 1 jam, telok pindang perlu direbus lebih lama, yakni hingga 2 jam.
Langkah pembuatannya dengan merebus telur dengan air campuran daun serai, garam, daun jambu biji, kulit bawang, gula merah, dan asam jawa. Setelah setengah matang, telur diangkat sejenak kemudian sedikit ditekan untuk memberi motif retakan pada telur. Kemudian direbus kembali hingga matang.
Selain aneka telur, Nurbaya juga menjual panganan khas Palembang lain, seperti bongkol, yakni ketan berisi kacang merah; dan lemper sepit, yakni adonan ketan yang berisi abon ayam. Setelah itu, adonan dibungkus dengan daun pisang kemudian dijepit bambu, lalu dibakar.
Biasanya, Nurbaya mulai menjual makanan khas itu 10 hari sebelum 17 Agustus. Dari usaha itu, dia bisa meraup omzet hingga Rp 1 juta per hari. ”Lumayan untuk tambahan,” ujar ibu empat anak ini. Dia bersyukur, walau pandemi, peminat penganan ini tidak merosot.
Kapal telok abang
Tidak hanya beragam penganan, jelang kemerdekaan, Palembang juga memiliki ciri khas, yakni adanya kapal telok abang. Sebuah kerajinan tangan berupa miniatur beragam jenis kapal yang kemudian disematkan telok abang di atasnya. Miniatur kapal yang terbuat dari gabus atau kardus ini dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 40.000 per buah tergantung dari tingkat kerumitan kapal.
Sudah sepuluh tahun, Iwan (53) menjadi pedagang kapal telok abang. Sebelum pandemi, pria yang kesehariannya bekerja sebagai pereparasi kursi ini bisa memperoleh omzet hingga Rp 700.000 per hari. Namun, ketika pandemi, omzetnya merosot hingga Rp 100.000 per hari.
Biasanya, setiap tanggal 1 Agustus, dirinya dibantu sejumlah anggota keluarga sudah mulai membuat kapal telok abang. Dalam satu hari, setidaknya dia bisa membuat sekitar 2-3 miniatur kapal. Kapal yang dibuat pun beragam, mulai dari kapal ketek, kapal jukung, kapal cepat, hingga kapal layar. Bagi Iwan, dengan membuat kapal, berarti memperkenalkan alat transportasi utama masyarakat Palembang pada masa lampau kepada generasi penerus.
Budayawan Palembang, Vebri Al Litani, dalam bukunya Kapal Telok Abang, berpendapat, suvenir telok abang diperkirakan telah muncul sejak Keresidenan Palembang. Kala itu, kapal telok abang digunakan sebagai suvenir untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Seiring perjalanan waktu, kapal telok abang digunakan untuk memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia. Tradisi ini kian kental karena setiap perayaan 17 Agustusan di Palembang juga digelar lomba kapal bidar yang menjadi daya tarik masyarakat Palembang.
Menurut Vebri, telok abang sendiri merupakan hasil akulturasi masyarakat Palembang dengan masyarakat keturunan Tionghoa. Di budaya Tionghoa, telok abang digunakan dalam perayaan Man Yue, yakni perayaan tahun pertama kelahiran seorang anak. Di Yogyakarta, telur merah juga digunakan dalam perayaan Grebek Sekatenan Keraton ketika memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Makna filosofi
Ada makna mendalam di balik suvenir kapal telok abang. Vebri memerinci, biasanya telok abang ditusuk dengan bambu kecil dengan kertas perlambang bendera Merah Putih dipucuknya sebagai bentuk rasa syukur atas kemerdekaan yang sudah diraih.
Telur bermakna awal kehidupan, sedangkan bambu yang ditusukkan ke telur yang mengarah ke atas sebagai tanda syukur atas rahmat yang diberikan Tuhan. Warna merah pada telur berarti keberuntungan, rezeki, dan keberanian, sedangkan isi telur, yakni putih dan kuning, berarti kesucian, keagungan, dan kemegahan.
Adapun kapal menggambarkan kondisi geografis Palembang sebagai kota bahari (maritim) yang memiliki bentangan Sungai Musi. Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio Atmojo dalam paparannya pada bincang pusaka Sriwijaya Centre di akhir Juli 2021 mengatakan, kapal berperan penting dalam sendi kehidupan masyarakat Palembang. Penggunaan kapal sudah terjadi sejak awal masa Kedatuan Sriwijaya, bahkan sebelumnya.
Kedatuan Sriwijaya terbilang mempuni dalam hal berlayar, termasuk penguasaan navigasi kala itu. Hal ini tertera dalam Prasasti Kedukan Bukit dimana pada tahun 682 Dapunta Hyang Sri Jayanasa berlayar dari Minanga ke Mukha Upang menggunakan kapal dengan membawa serta 21.312 orang dan 200 peti untuk kemudian membuat wanua baru yang diberi nama Sriwijaya.
Dari sana kita bisa memperkirakan bahwa pada zaman itu Kedatuan Sriwijaya yang berpusat di Palembang sudah memiliki kemampuan dalam menguasai navigasi sungai, membuat perahu, dan pengetahuan geografis.
Wali Kota Palembang Harnojoyo mengatakan, peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini menjadi refleksi bagi masyarakat Palembang untuk tumbuh dan berjuang bersama. Sebab, saat ini, ibu kota Sumatera Selatan ini sedang dihadapkan pada situasi pandemi.
Situasi ini adalah saat yang tepat guna berjuang bersama untuk segera keluar dari pandemi. ”Karena perjuangan ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri, tetapi perlu peran serta masyarakat,” ujarnya.