Balai Kota Cirebon, Jatuh Bangun dari Gelap Menuju Terang
Berusia seabad, Balai Kota Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya sebagai tempat kerja pejabat, tetapi juga saksi bisu perubahan kota dari gelap menjadi terang.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Balai Kota Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya sebagai tempat kerja pejabat, tetapi saksi bisu perubahan kota dari gelap menjadi terang. Setelah seabad gedung ini berdiri, sekarang perjalanan menuju terang bangkit dari pandemi belum benar-benar tuntas.
Suara sirene memecah keheningan di Balai Kota Cirebon, tepat pukul 10.00, Selasa (17/8/2021). Bunyi tersebut merupakan penanda detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia. Warga di sekitar gedung sontak berdiri, pertanda penghormatan.
Gedung putih berdinding serupa benteng masa kolonial itu kembali menjadi saksi Peringatan Kemerdekaan RI. Bendera dan umbul-umbul Merah Putih mengelilingi gedung. Pejabat setempat, pegawai, hingga petugas kebersihan mengumandangkan Indonesia Raya.
Seabad lalu, gedung itu dibangun sebagai pusat pemerintahan. Adapun sirenenya dulunya merupakan pengingat waktu kerja, istirahat, dan bencana alam. Kini, selain menandakan waktu kemerdekaan, sirene juga berbunyi saat buka puasa di bulan Ramadhan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Gemeente (Kotamadya) Cirebon Jeskoot memprakarsai pembangunan balai kota sekitar 1924. Arsitek HP Handl dan CFH Koll turut merancang bangunan seluas 868 meter persegi itu.
Pembangunannya tuntas 1927 pada masa Burgemeester (Wali Kota) RA Schotman (1925-1928). Berdiri di atas lahan 15.770 meter persegi, pembangunan gedung yang sempat disebut-sebut terindah di Jabar saat itu, menghabiskan 165.000 Gulden.
Awalnya, bangunan ini berfungsi sebagai Raadhuis atau tempat anggota dewan perwakilan kota. Gedung juga kerap menjadi lokasi pertemuan dan pesta pernikahan kalangan Eropa. Sejak masa militer Jepang, balai kota jadi tempat pejabat bekerja.
Bangunan ini terdiri tiga bagian terpisah yang dihubungkan dengan selasar beratap. Di tengah merupakan bangunan utama, tempat wali kota dan wakil wali kota berkantor. Dua bangunan di bagian sayap merupakan ruangan pers dan bagian administratif pemerintahan.
Memasuki ruang utama, terdapat lobi dengan tempat duduk berlapis ubin dan kursi berbahan kayu. Dulunya, di tengah lobi melingkar itu ada kolam air mancur sebagai pendingin. Namun, kini, kolam itu ditutup dengan lapisan kaca berisi penghargaan Adipura.
Pada lantai dua bangunan ini terdapat ruangan rapat yang kini menjelma Command Center (CC), tempat pejabat kerap melakukan pertemuan virtual. CC juga bisa mengecek lalu lintas melalui kamera pemantau yang tersebar di kota.
Di bagian luar balai kota, tampak taman dan kolam air mancur dengan beberapa patung udang berwarna emas. Enam ekor udang sebagai komoditas utama saat itu juga menempel di ujung dinding bangunan bagian atas. Daerah pesisir ini pun disebut sebagai "Kota Udang".
Agustinus David, Mahasiswa Arkeologi di Universitas Indonesia, dalam skripsinya “Bentuk dan Gaya Balai Kota Cirebon (2010)” menyebutkan, gedung ini dipengaruhi ragam arsitektur Eropa dan lokal. Misalnya, ornamen awan yang menggambarkan Megamendung, motif batik Cirebon, di kaca patri di pintu dan jendela.
Selain itu, bentuk bangunan utama berupa kotak menonjol seperti menara disebut wall tower, yang kerap dijumpai pada benteng pertahanan masa klasik di Eropa. Pola serupa juga ditemukan di Balai Kota Surabaya.
Hal itu menandakan bangunan itu memang dibangun mengikuti mode saat itu. Dibangun saat demam art deco melanda dunia, kebiasaan arsitek di Hindia Belanda saat itu memadukan unsur lokal dengan Eropa terlihat jelas.
Kota pelabuhan ini pada awal abad ke-20 telah menempati ranking ke-4 terbesar di Jawa (Zaenal Masduqi)
Zaenal Masduqi dalam bukunya Cirebon, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (2011) mengatakan, balai kota yang berbentuk anjungan kapal mencerminkan Cirebon sebagai kota pesisir. “Kota pelabuhan ini pada awal abad ke-20 telah menempati ranking ke-4 terbesar di Jawa,” tulisnya.
Pedagang dari China, India, dan Arab terbiasa transit di Pelabuhan Cirebon. Berbagai komoditas diperdagangkan di sana, seperti gula, beras, kayu, kopi, kapas, dan rempah-rempah. Ekonomi Cirebon pun tumbuh dari pelabuhan.
Pembangunan balai kota, lanjut Masduqi, merupakan pengejawantahan keinginan pemerintah kolonial mengembangkan Cirebon. Tekad itu antara lain hadir dalam semboyan Per Aspera As Astra yang menempel di atas pintu ruangan wali kota.
Arti ungkapan itu adalah dari onak dan rawa menuju bintang atau dari gelap menjadi terang. Kota Cirebon dulunya sarat dengan penyakit. Kalinya kotor dan menjadi sarang penyakit. “Bahkan, ada pameo, barang siapa yang menetap di Kota Cirebon haruslah berkenalan dulu dengan penyakit panasnya,” tulisnya.
Ketika diangkat sebagai kotamadya pada 1906, Cirebon mulai berbenah. Kali dibersihkan dan saluran air dibenahi. Jalan-jalan diperbaiki. Gedung pabrik rokok, rumah sakit, hingga balai kota dibangun. Ekonomi berputar seiring bersihnya kota.
Akan tetapi, perjalanan dari gelap menuju terang belum usai. Pelabuhan Cirebon yang dulu ramai kini sepi, didominasi bongkar muat batu bara. Pandemi Covid-19 yang telah merenggut lebih dari 500 nyawa warga kota mempersulit perekonomian.
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis mengatakan, belum tahu sampai kapan pertempuran melawan Covid-19. Meskipun berat, kata dia, hidup ini tetap harus dijalani.
Kesetiaan balai kota menjadi saksi mata jatuh bangun Cirebon terus berlanjut hingga kini. Sejarah di Cirebon membuktikan, hanya dengan tak kenal menyerah, semua kesulitan bisa dihadapi.