Kepekaan, Krisis Covid-19, dan Mobil Dinas Baru Gubernur Sumbar
Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat mendapat mobil dinas baru dengan harga total keduanya sekitar Rp 2 miliar. Pengadaan mobil dinas baru itu dikritik karena dinilai tidak patut dan tidak peka di tengah pandemi.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
Hyundai Palisade hitam terparkir gagah di depan Auditorium Gubernuran Sumbar, Selasa (17/8/2021) pagi. Sebuah bendera Merah Putih kecil berdiri tegak di kap mobil sebelah kiri. Serasi dengan peringatan HUT Ke-76 RI yang tengah dirayakan di Istana Gubernur Sumbar.
Mobil berpelat nomor polisi merah BA 2 itu adalah mobil dinas baru Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy. Mobil itu mulai sering terlihat di kawasan Kantor Gubernur dan Istana Gubernur Sumbar beberapa hari terakhir. Mobil ini menggantikan peran Toyota Fortuner yang kerap dipakai wagub terdahulu.
Setali tiga uang dengan wakilnya, Gubernur Sumbar Mahyeldi juga mendapat jatah tunggangan baru. Namun, berbeda dengan Audy, Mahyeldi lebih memilih Mitsubishi Pajero Sport untuk mendukung mobilitas kerjanya. Sayang, mobil itu belum terlihat, setidaknya dua hari terakhir.
Mobil baru pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Sumbar periode 2021-2024 ini pun menjadi buah bibir di Sumbar beberapa hari terakhir. Sejumlah kalangan menyoroti pembeliannya yang dinilai tidak tepat di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Mahyeldi menjelaskan, pembelian mobil dinas baru ini dilakukan karena mobil dinas lama jenis SUV sudah tidak aman untuk dipakai. Toyota Fortuner warisan gubernur sebelumnya itu sudah lima tahun dipakai. Mahyeldi mengaku sering mengalami kendala pada transmisi dan rem blong saat menggunakannya.
”Meskipun sudah diservis, tetap tidak aman. Waktu itu saya meminjam mobil OPD lain sampai mobil (dinas baru) ini diadakan. Mobilitas gubernur tinggi, pakai voorijder juga, jadi butuh kecepatan tinggi,” kata Mahyeldi, Selasa.
Mantan Wali Kota Padang itu melanjutkan, pengadaan mobil dinas baru untuk tipe SUV. Adapun untuk tipe sedan, ia dan Audy masih menggunakan mobil lama. Gubernur dan wakil gubernur punya dua mobil dinas, yaitu tipe sedan dan SUV.
Pengadaan mobil dinas baru ini, kata Mahyeldi, sudah sesuai ketentuan. Sebab, anggarannya sudah dialokasikan sejak 2020 dan disetujui DPRD. Ia pun sudah berupaya berhemat karena membeli lebih murah daripada pagu anggaran untuk mobil dinas baru gubernur Rp 1,4 miliar. ”Pembeliannya tidak mengganggu anggaran penanganan Covid-19,” ujarnya.
Untuk mobil dinas lain di Pemprov Sumbar, sudah direncanakan menggunakan sistem sewa. Setelah dihitung-hitung, kata Mahyeldi, mobil dinas lebih menguntungkan disewa daripada dibeli.
”OPD yang kendaraannya tidak begitu aman, kami suruh sewa. Dengan demikian, tidak perlu memikirkan lagi masalah beli ini itu dan juga lebih aman,” ujarnya.
OPD yang kendaraannya tidak begitu aman, kami suruh sewa.
Sementara Audy menjelaskan, ia butuh mobil dinas baru yang lebih prima untuk menunjang tingginya mobilitas sebagai wakil gubernur. Mobil lama sudah lima tahun dipakai, jarak tempuhnya ratusan ribu kilometer, dan pernah kecelakaan.
”Selama ini, saya pakai mobil pribadi (untuk kepentingan dinas), kok, tidak ada yang menyoroti? Ada dua-tiga bulan saya pakai mobil pribadi. Anggarannya juga dari pemerintah sebelumnya, kenapa baru diributkan sekarang?” kata Audy.
Dikritik
Pembelian mobil dinas baru untuk pasangan gubernur-wakil gubernur itu disorot, salah satunya oleh anggota DPRD Sumbar, Nofrizon. Politikus Partai Demokrat ini menilai tidakan itu tidak patut dilakukan kepala daerah di tengah krisis pandemi Covid-19.
Nofrizon menjelaskan, pengadaan mobil dinas baru itu memang tidak melanggar aturan karena memang sudah dianggarkan. ”Namun, dari segi kepatutan, itu kurang pas kalau dilakukan dalam kondisi pandemi. Sumbar butuh anggaran yang tidak sedikit untuk menangani pandemi,” katanya.
Realisasi pembelian mobil itu tidak sedikit. Pagu anggaran kedua mobil dinas gubernur dan wakilnya itu Rp 2,906 miliar. Adapun realisasinya Rp 2,079 miliar.
Mobil dinas baru itu, kata Nofrizon, disetujui anggarannya pada 2020 karena DPRD memperkirakan pandemi akan melandai pada 2021. Walakin, hal yang terjadi justru sebaliknya, kasus meningkat signifikan karena penanganan yang buruk. Maka, sepatutnya pembelian mobil dinas baru itu ditunda dulu.
Anggaran Rp 2 miliar itu, lanjutnya, bisa di-refocusing untuk penanganan Covid-19. Bisa digunakan untuk membantu operasional laboratorium pemeriksaan Covid-19, rumah sakit, insentif tenaga kesehatan, bantuan sembako masyarakat, dan sebagainya. ”Laboratorium Unand kemarin sempat buka donasi,” ujarnya.
Nofrizon meminta gubernur dan wakil gubernur saat ini mencontoh sikap Irwan Prayitno (IP), gubernur terdahulu. Ketika pertama kali menjabat tahun 2009, IP menahan diri membeli mobil dinas baru karena Sumbar sedang dilanda musibah gempa besar. Barulah tahun keempat IP membeli mobil dinas dan tak banyak yang tahu selama itu ia pakai mobil pribadi.
Alasan Mahyeldi bahwa mobil lama remnya blong dan transmisi bermasalah dinilai Nofrizon tidak tepat. Kerusakan itu bisa diperbaiki dan anggaran pemeliharannya ada. Suku cadangnya juga banyak tersedia di bengkel-bengkel resmi. ”Apa yang dilakukan sekarang lebih mengedepankan nafsu daripada kebutuhan. Mereka seolah berdendang di atas kesulitan masyarakat,” ujarnya.
Dari hitungan Kompas, uang Rp 2 miliar itu, misalnya, bisa digunakan untuk bantuan sosial tunai (BST) Rp 300.000 selama dua bulan bagi 3.333 masyarakat yang terdampak PPKM, tetapi tidak masuk daftar penerima bantuan Kementerian Sosial. Jika digunakan untuk tes usap, bisa untuk 3.636 orang (harga maksimal Rp 550.000).
Penyakit akut
Dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, berpendapat, pembelian mobil dinas baru kepala daerah di masa krisis pandemi Covid-19 tidak tepat. Ini menandakan pejabat tidak punya kepekaan terhadap krisis pandemi Covid-19 dan kesulitan yang dialami masyarakat.
”Secara normatif, itu memang hak mereka. Namun, momentumnya tidak tepat, saat daerah masih fokus untuk penanganan pandemi Covid-19. Dalam kondisi normal saja pembelian mobil dinas sering dipermasalahkan,” kata Charles.
Momentumnya tidak tepat.
Akan tetapi, kata Charles, ini tidak murni persoalan kepala daerah, tetapi juga DPRD. Anggaran tersebut sudah dialokasikan, disetujui DPRD, dan disetujui pemerintah pusat. Semestinya, DPRD bisa menyurati kepala daerah untuk menunda dulu pengadaan mobil dinas.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas ini melanjutkan, kepala daerah bisa menggunakan mobil dinas lama. Jika pun rusak, bisa diperbaiki. Jika mau, mekanisme rental bisa diterapkan, beberapa kantor kementerian sudah melakukannya. ”Jadi, bisa dirental dulu. Kalau sudah pas momennya, barulah dibeli,” ujarnya.
Pembelian mobil dinas baru ini, sebut Charles, sebenarnya melanjutkan tradisi rutinitas para pejabat. Berganti kepala daerah seolah-olah ada keharusan berganti mobil dinas. Hal itu menjadi penyakit akut bersama para pejabat, tidak hanya di tingkat daerah, tetapi juga di tingkat pusat.
Oktober 2019, para menteri Presiden Jokowi membeli mobil dinas baru dan sempat dikritik. Kemudian, kasus terbaru, pengecatan pesawat Kepresidenan yang nilainya sekitar Rp 2 miliar di tengah krisis pandemi Covid-19 yang juga ramai dikritik masyarakat karena dinilai menghambur-hamburkan uang.
”Semuanya tidak peka. Kalau memang pemerintah pusat dan daerah peka, anggaran mobil dinas di mana pun di APBD itu mestinya ditiadakan dulu di seluruh Indonesia. Pemerintah pusat bisa mengontrol itu saat melakukan evaluasi terhadap APBD. Jadi, ini harus menjadi kebijakan nasional,” ujarnya.
Meminjam kata Nofrizon, gubernur dan wakilnya adalah sosok ninik mamak dan penghulu di tengah masyarakat. Ninik mamak di Minangkabau tahu dengan raso jo pareso (memahami perasaan orang), tahu ereng jo gendeng (memahami kata kiasan). Pembelian mobil dinas baru di saat masyarakat hidup sulit menandakan nilai-nilai luhur itu mulai luntur.