Pria di Malang Ditangkap Densus 88, Pandemi Ubah Gerakan Terorisme
Pria pengedar kotak amal di Malang ditangkap karena diduga terkait terorisme. Diduga, jaringan terorisme lama bangkit kembali dan mengimitasi pola gerak kelompok teroris baru.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pria berinisial CA (41) ditangkap di Jalan Joyo Utomo, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (16/8/2021), diduga terkait jaringan teroris. Ia selama ini dikenal sebagai pengedar ratusan kotak amal di toko-toko di Malang. Gerakan terorisme terbaca berubah karena pengaruh pandemi.
CA ditangkap, Senin sekitar pukul 12.00 WIB di depan rumahnya saat hendak pergi shalat berjemaah di masjid. Ia ditangkap belasan polisi dari tim Densus 88 dan tim Polda Jatim. Ia adalah salah satu dari enam warga yang ditangkap di Jawa Timur terkait terorisme.
Selama ini, CA oleh warga dikenal cukup baik dan rajin beribadah di masjid. Ia mengontrak rumah di Jalan Joyo Utomo, Kelurahan Merjosari, Kota Malang, sejak tujuh tahun lalu. Di sana, ia membangun toko aksesori yang letaknya di pinggir jalan.
”Tadi polisi tanya ke saya, mencari rumah Pak CA. Mereka bilang mau ada lamaran. Ternyata ada penangkapan,” kata Cokro (50), tukang tambal ban di depan toko aksesori CA.
Ia mengaku tidak tahu sama sekali proses penangkapan tetangga depan rumahnya tersebut. Menurut Cokro, selama ini CA sikapnya baik dan sering bersama dengannya shalat berjemaah di masjid.
Ketua RT 004 RW 004 Kelurahan Merjosari Hariono (61) mengatakan, dirinya diajak menyaksikan proses penggeledahan rumah CA. Ia pun diminta menandatangani dokumen, termasuk berisi barang-barang CA yang disita.
”Pak CA tadi ditangkap saat hendak shalat ke masjid. Diduga terkait jaringan teroris. Saya diminta menyaksikan proses dan menandatangani berkas yang diminta,” kata Hariono. Menurut dia, saat itu Densus 88 menyita sejumlah barang, seperti 2 laptop, 3 tanda pengenal, dan sejumlah buku.
Kotak amal
Menurut Hariono, keluarga CA menyewa rumah di sana sejak tujuh tahun lalu. Pria asal Jombang tersebut bekerja mulai dari berjualan sandal dan pernak-pernik aksesori. Selain itu, ia juga mengedarkan kotak amal ke toko-toko.
”Pak CA menaruh kotak amal di toko-toko dan setiap bulan diambil. Saya tahu karena toko adik saya juga dititipi kotak amal tersebut,” katanya.
Menurut pengakuannya, dalam sebulan rata-rata uang terkumpul di kotak amal di toko adik Hariono Rp 20.000-Rp 25.000. ”Setiap uangnya diambil, adik saya diberi kuitansi. Saat ditanya ada berapa kotak amal, CA bilang ada 600-an kotak amal,” kata Hariono.
Aktivitas CA mengedarkan kotak amal setidaknya sudah dijalani sejak empat bulan terakhir dengan nama sebuah lembaga tertentu. Hal itu dibuktikan dengan buletin/majalah yang ditinggalkan di toko bersamaan dengan ia menaruh kotak amal.
Tadi polisi tanya ke saya, mencari rumah Pak CA. Mereka bilang mau ada lamaran. Ternyata ada penangkapan.
”Sebulan terakhir, nama lembaganya berubah. Namun, yang mengambil dan mengantar kotak amal tetap sama. Hanya buletinnya yang namanya berubah,” tutur Hariono. Buletin itu berisi ajakan untuk beramal dan berbuat kebaikan.
Dari hasil penggeledahan dan penangkapan polisi, Hariono tidak tahu-menahu mengenai jaringan mana CA terlibat. ”Diduga dia bagian dari penyandang dana. Dilihat dari aktivitasnya mengedarkan kotak amal ke mana-mana,” kata Hariono.
Hariono mengatakan, pada awal mula tinggal di RT tersebut, berkisar 2-3 tahun awal, rumah CA memang sering dikunjungi oleh teman-temannya. ”Jumlah temannya yang datang banyak dan mereka berkumpul di sana pada malam hari,” ucapnya.
Warga sempat protes dan berseloroh, jangan-jangan mereka terlibat kelompok terorisme. Namun, lama-lama, kegiatan kumpul pada malam hari itu berhenti. ”Mungkin CA merasa tidak enak atau bagaimana,” lanjut Hariono.
CA diketahui memiliki enam anak. Satu di antaranya meninggal karena kecelakaan. Beberapa anaknya saat ini belajar di pondok pesantren di Solo.
Selama ini, CA bersikap baik dan membaur dengan warga sekitar. Menurut Hariono, CA juga ikut piket jaga malam bersama warga saat PPKM gencar dilakukan.
Kepala Bidang Humas Polda Jatim Komisaris Besar Gatot Repli Handoko membenarkan adanya penangkapan terduga teroris di Kota Malang. ”Benar, ada warga di Joyo Utomo, Kota Malang, ditangkap terkait terduga terorisme. Penangkapan dilakukan oleh tim Densus 88. Kami dari Polda Jatim sifatnya hanya mem-back-up,” katanya.
Menurut Gatot, pada Senin ini total ada enam orang terduga teroris ditangkap di Jawa Timur. Mereka terdiri dari 1 warga Lamongan, 1 warga Tuban, 1 warga Surabaya, 1 warga Sidoarjo, 1 warga Jombang, dan 1 warga asal Sukun, Kota Malang, yang ditangkap di Karanganyar, Jawa Tengah.
Pengamat terorisme dari Universitas Brawijaya, Yusli Effendi, mengatakan, lembaga tempat CA beraktivitas selama ini sudah lama menjadi incaran Polri. Polri mengklaim kelompok tersebut terkait Jemaah Islamiyah (JI).
Namun, menurut Yusli, terjadi anomali. Sebab, selama ini corak gerakan JI bersifat tertutup, tidak semua orang bisa masuk, dan bersifat lebih klendestin (rahasia). Artinya, tidak semua orang bisa masuk.
Seseorang harus menjalani seleksi ketat untuk berada di dalamnya. Sel bawah belum tentu mengetahui sel di atasnya. Kelompok tertutup dan sistematis itulah yang membuat mereka mampu merencanakan peristiwa besar dengan hulu ledak besar, misalnya bom Bali.
”Hal itu berbeda dengan kelompok JAD yang lebih terbuka, siapa pun bisa direkrut asal dia bisa bersimpati dan bisa masuk dalam doktrin berjihad dengan kekerasan. Karena tidak terlatih, pola serangannya lebih kecil dan skalanya tidak masif atau micro-attack. Misalnya, serangan pada polisi dengan pisau, tidak sistematis, dan lainnya,” tutur Yusli.
Dengan melihat penangkapan CA, menurut Yusli, kelompok JI pada saat ini diduga mengimitasi pola penggalangan dana ala JAD karena pandemi. JAD selama ini biasa menggalang dana lewat baital maal ummah (BMU) atau baitul maal wat tamwil (BMT) yang lebih terlembaga. ”Lewat kotak amal ini tak terlembaga dan mudah diingkari saat terlacak,” ucapnya.
Perubahan pola penggalangan dana itu, menurut Yusli, sangat dimungkinkan karena pandemi telah memengaruhi pola mereka melakukan amaliyah. ”Dahulu mereka ketemu berkumpul untuk mengumpulkan duit. Sekarang sulit karena jemaah kesulitan ekonomi, gerak fisik terbatasi sehingga pola pengumpulan dana berubah,” katanya.
Pola penggalangan dana jaringan teroris di Malang pun selama ini berbeda-beda. Kelompok Romli cs asal Dau, misalnya, yang ditangkap pada Februari 2016 di Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, menggalang dana dengan mencuri kendaraan bermotor (curanmor). Hal itu terungkap setelah Romli cs tertangkap dan merujuk pada pelaku curanmor yang ditangkap jauh sebelumnya. Kelompok Romli cs ini terkait dengan teror bom Thamrin, Januari 2016.
Dahulu mereka ketemu berkumpul untuk mengumpulkan duit. Sekarang sulit karena jemaah kesulitan ekonomi, gerak fisik terbatasi sehingga pola pengumpulan dana berubah.
Selama ini, hampir di setiap kasus terorisme, Malang Raya selalu tersangkut paut. Hal itu diduga karena kondisi topografi Malang Raya yang bergunung-gunung sehingga memudahkan teroris bersembunyi dan masyarakatnya majemuk (multikulutral) sehingga sangat terbuka menerima orang.
”Untuk itu, deteksi dini di masyarakat Malang Raya memang sebaiknya lebih dikuatkan. Penguatan nilai-nilai sosial harus dikuatkan, misalnya dengan tradisi pager mangkok, yaitu menguatkan ikatan kekerabatan dengan sekitar dengan saling mengantar makanan. Hal ini akan menjadi deteksi paling cepat mengetahui jika ada anomali dengan sekitar,” katanya.