Nelayan Bintan Takut Melaut di Perairan Perbatasan
Satu tahun terakhir, sedikitnya 11 nelayan Bintan ditangkap karena dituduh melanggar perbatasan Malaysia. Di perairan yang berjarak sekitar 5 mil laut dari pesisir Bintan, sinyal komunikasi sudah dikuasai Malaysia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan tradisional di Bintan, Kepulauan Riau, merasa tidak aman melaut di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Dalam satu tahun terakhir, 11 nelayan Bintan ditangkap aparat Malaysia karena dituduh melanggar perbatasan.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Syukur Hariyanto, Senin (16/8/2021), mengatakan, sengketa perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di utara Pulau Bintan membuat nelayan merasa waswas ketika melaut. Salah sedikit, mereka bisa ditangkap aparat Malaysia lalu ditahan selama beberapa bulan.
Perairan utara Pulau Bintan berbatasan dengan Malaysia. Menurut Syukur, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) kerap mengusir nelayan Bintan di perairan Indonesia yang jaraknya masih 2 mil laut (sekitar 3,7 km) dari perbatasan dengan Malaysia. Sementara kapal patroli aparat Indonesia sangat jarang hadir di sana.
”Di perairan yang berjarak sekitar 5 mil laut (9,26 km) dari pesisir Bintan, sinyal komunikasi itu sudah dikuasai Malaysia. Jadi, nelayan kecil yang tidak memiliki telepon satelit akan kesulitan menghubungi aparat kalau ada masalah,” kata Syukur saat dihubungi.
Karang Singa
Salah satu wilayah yang masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia adalah sebuah gugusan karang yang terletak di utara Pulau Bintan. Gugusan karang itu dikenal sebagai Karang Singa atau Carter Rif.
Pada 9 Agustus lalu, Gubernur Kepri Ansar Ahmad mengatakan, pemerintah pusat akan membangun mercusuar di Karang Singa yang berjarak sekitar 7 mil laut (7,4 km) dari Pulau Bintan. Pemerintah pusat masih membahas kesiapan anggaran untuk proyek yang rencananya akan dimulai pada 2022 itu.
Pembangunan mercusuar dan sejumlah fasilitas lain, termasuk helipad, di Karang Singa diharapkan dapat mempertegas kedaulatan Indonesia di perairan itu. (Ansar Ahmad)
Pembangunan mercusuar dan sejumlah fasilitas lain, termasuk helipad, di Karang Singa diharapkan dapat mempertegas kedaulatan Indonesia di perairan itu. Ansar menyatakan, Pemerintah Provinsi Kepri mendukung proyek tersebut dan berharap hal itu dapat memberikan rasa aman kepada para pengguna laut.
Berdasarkan catatan Kompas, dalam satu tahun terakhir, sedikitnya ada empat kali peristiwa nelayan Bintan ditangkap Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) karena melanggar batas perairan. Dalam empat peristiwa itu, 11 nelayan tradisional ditahan dan harus menjalani proses hukum di Kota Tinggi, Johor, Malaysia.
Peristiwa yang terakhir terjadi pada awal Juli 2021. Saat itu, ada enam nelayan Bintan yang ditangkap APMM atau Penjaga Pantai Malaysia. Empat orang di antaranya dibebaskan pada 5 Agustus lalu setelah menjalani proses hukum sekitar satu bulan.
”Itu termasuk cepat. Sebelumnya, proses hukum terhadap nelayan Bintan yang ditagkap karena dituduh melanggar perbatasan itu biasanya memakan waktu sekitar tiga bulan,” ujar Syukur.
Menurut Syukur, masih ada tiga nelayan Bintan yang ditahan di Malaysia. Salah satunya adalah Pendi (44). Ia diketahui ditangkap APMM pada September 2020. Berdasarkan vonis pengadilan, seharusnya ia sudah dibebaskan sejak Juli 2021. Namun, ia belum kembali ke kampungnya di Desa Mantang Lama, Kecamatan Mantang.
”Para nelayan yang harus menjalani proses hukum selama berbulan-bulan itu adalah tulang punggung keluarga. Kalau mereka tidak bekerja, keluarganya akan terlunta-lunta,” ucap Syukur.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim mengatakan, penegakan hukum di perairan sengketa seharusnya juga mengacu pada nota kesepahaman (MOU) tentang pedoman umum Perlakuan terhadap Nelayan oleh Badan Hukum Maritim yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia di Bali pada 27 Januari 2011.
Berdasarkan MOU tersebut, APMM dan Badan Keamanan Laut RI hanya boleh melakukan pengusiran terhadap nelayan yang dianggap melanggar tapal batas. Penangkapan baru boleh dilakukan jika ditemukan ada pelanggaran pidana lain, misalnya penyelundupan narkoba atau perdagangan manusia.