Elan Daerah Meredam Pandemi
Pada situasi krisis, pemimpin dituntut lebih peka dan responsif dalam menangani pandemi Covid-19.
Situasi krisis akibat pandemi Covid-19 dalam 1,5 tahun terakhir menjadi batu ujian bagi kepemimpinan, tak terkecuali pemimpin di daerah. Bersentuhan langsung dengan problem penularan virus di masyarakat hingga keterbatasan fasilitas kesehatan, pemimpin di daerah dituntut responsif dan taktis dalam mengambil kebijakan penanganan pandemi.
Pada penghujung Juli lalu, Wali Kota Bogor Bima Arya blusukan ke sejumlah wilayah untuk memberikan bantuan paket kebutuhan pokok dan vitamin, seperti di Kampung Awan, Kelurahan Genteng, Bogor, Jawa Barat. Disebut Kampung Awan karena letaknya terpencil di atas bukit. Di sana ia menemui kakak-adik yang terdampak secara ekonomi dan psikologis karena ibunya meninggal. Saat ini mereka tinggal dengan ayahnya yang berprofesi sebagai sopir angkot dan kerap bekerja melebihi 10 jam agar bisa memenuhi kebutuhan harian.
Sebelumnya, pertengahan Juli, Bima juga menemui tiga kakak adik yang hidup tanpa pendampingan orangtua di wilayah Kelurahan Cibogor, Kecamatan Bogor Tengah. Mereka kehilangan ibunda tercinta yang meninggal akibat Covid-19, sementara sang ayah sudah 7 tahun berpisah dengan ibunya.
Melihat kondisi tersebut, Bima meminta camat, lurah, dan semua dinas terkait untuk bergerak cepat mendata anak-anak yang terdampak pandemi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19. Hingga Jumat (13/8/2021), ada 115 kepala keluarga yang terdampak atau salah satu ayah dan ibu yang meninggal karena covid-19. Total ada 331 anak yang terdampak. Data itu sangat mungkin bertambah jika ada kasus meninggal akibat Covid-19 di Bogor.
“Anak-anak ini masuk dalam program khusus yang harus mendapat atensi khusus. Visi Kota Bogor adalah kota keluarga. Nanti 17 Agustus kita luncurkan paket terpadu untuk fokus pada pemulihan keluarga terdampak Covid-19 karena keluarga yang meninggal,” kata Bima, Jumat (13/8/2021).
Baca juga: Milenial Palembang Tak Ketinggalan Membantu Masyarakat yang Menjalani Isoman
Beberapa program akan diluncurkan pada peringatan hari kemerdekaan ke-76 Repuplik Indonesia. Di antaranya bantuan pendidikan, kesehatan, konseling, dan perbaikan rumah bagi anak-anak yang terdampak. Bantuan diberikan berdasarkan pemetaan kebutuhan masing-masing anak.
”Dalam hal ini pendataan ini sangat penting. Namun, lebih terpenting, negara harus hadir seperti menjamin pendidikan dan kesehatan. Di Kota Bogor ada pusat pemberdayaan keluarga yang akan berkolaborasi dengan dinas terkait agar jangan sampai anak-anak kita terlantar dan masa depannya terganggu,” kata Bima.
Anak-anak yang kehilangan orang tua akibat pandemi, tidak cukup diberi bantuan sembako. Perlu program terpadu atau bantuan jangka panjang untuk membantu anak-anak.
”Ini harus menjadi program bersama. Bayangkan berapa ribu anak-anak di Indonesia yang kehilangan orangtua akibat Covid-19. Jika tidak diberikan perhatian khusus, masa depan mereka seperti apa,” katanya.
Baca juga: Masyarakat Kalteng Bentuk Posko Solidaritas untuk Korban Covid-19
Kepekaan dan kolaborasi
Pada kesempatan lain, ia turut dalam penertiban jam operasional pedagang selama pembatasan kegiatan masyarakat saat pandemi. Di situ ia mendengar keluh-kesah pedagang yang terdampak secara ekonomi. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan harian, membiayai anak mereka sekolah, dan memutar modal usaha. Bahkan, untuk makan saja mereka susah.
Dalam hal ini pendataan ini sangat penting. Namun, lebih terpenting, negara harus hadir seperti menjamin pendidikan dan kesehatan. Di Kota Bogor ada pusat pemberdayaan keluarga yang akan berkolaborasi dengan dinas terkait agar jangan sampai anak-anak kita terlantar dan masa depannya terganggu. (Bima Aria)
Dari pengalamannya turun ke lapangan membuat rasa kepekaan terhadap kondisi krisis akibat pandemi semakin terbangun. Di situ ia juga melihat perlunya kebijakan perlindungan kepada warga yang terdampak, serta bagaimana efektivitas dari dari kebijakan yang diambil.
“Oleh karna itu saya juga selalu meminta camat dan lurah turun ke lapangan melihat kondisi warga. Kehadiran pemerintah dalam semua tingkatan itu penting. Itikad untuk membantu warga tidak boleh kendor di masa seperti ini. Ketika pemerintah absen, warga tidak percaya. Kepercayaan itu dibangun dari bawah. Walaupun warga tahu semuanya tidak bisa selesai dalam sehari. Tapi, ketika pemerintah itu hadir warga percaya pemerintah punya itikad baik,” tutur Bima.
Cara Bima menyikapi situasi pandemi Covid-19 memang tidak lepas dari pengalamannya sebagai penyintas. Kala itu, sebuah nazar ia ucapkan, jika selamat dan sembuh, ia berikhtiar membantu warga dan menyelamatkan sebanyak mungkin warga Kota Bogor dari Covid-19. Dari situ pula ia semakin berupaya menggunakan sensitivitas, rasa, dan hati dalam mengambil kebijakan yang berkenaan langsung dengan nasib warga.
Baca juga: Solidaritas Warga Banyuwangi Tumbuh di Tengah Pandemi
Di sisi lain, ia juga sadar, dalam merumuskan kebijakan penanganan pandemi tidak bisa sekadar mengandalkan buah pikirnya serta jajaran Pemkot Bogor. Perlu ada membutuhkan kolaborasi yang kuat dari berbagai lembaga, instansi, hingga warga.
Meski peran pemerintah pusat sangat dibutuhkan dan penting dalam menentukan kebijakan secara nasional, menurut Bima, pemerintah daerah tetap harus mandiri bergerak dan memetakan permasalahan. Pemimpin daerah harus turun ke lapangan dan menjemput bola untuk berkolaborasi dengan siapa saja.
Lewat kolaborasi itu pula, Kota Bogor cepat mendapat berbagai bantuan penanganan pandemi. Mulai dari pendirian Rumah Sakit Lapangan di Tanah Sareal, pusat isolasi Liddo BNN, pusat isolasi Pusdiklat BPKP, hingga baru-baru ini Pemkot Bogor mengoperasikan Rumah Sakit Lapangan (RSL) di Asrama IPB di Dramaga.
RSL yang sudah beroperasi pada 9 Agustus 2021 itu merupakan kolaborasi Pemkot Bogor bersama IPB dan Rumah Sakit Ummi. Berbagai upaya kolaborasi itu sekaligus menjadi jawaban atas lonjakan kasus dalam tiga bulan terakhir.
”Saya ingat, 25 Juni 2021, Kota Bogor mulai SOS. Saya bilang, Kota Bogor tidak baik-baik saja, sangat mengkhawatirkan. Kekurangan peti mati, kelangkaan oksigen, dan antren pasien di mana-mana, ambulans setiap menit lewat, suasana sangat mencekam saat itu,” kenang Bima.
Di luar itu, bantuan dari berbagai pihak juga terus mengalir ke pusat logistik di Gedung Wanita Kota Bogor. Solidaritas dan kolaborasi menjadi modal sosial untuk berjuang menghadapi pandemi.
“Asa dan momentum solidaritas serta kolaborasi yang sudah berjalan mesti diperkuat dan tingkatkan. Kita sama-sama berjuang seperti para pahlawan dan pendiri bangsa ini sehingga bisa merdeka. Kita harus berpikir jauh seperti pendiri bangsa melampaui kepentingan kelompok atau individu. Kita hanya akan menang melawan pandemi ketika memiliki komitmen kuat, solid, solidaritas, dan kolaborasi, untuk menempatkan kepentingan yang lebih besar untuk warga,” ujar Bima.
“Perang” di Surabaya
Krisis akibat pandemi juga belum mereda di Surabaya. Hingga Jumat (11/8/2021), 61.102 warga terjangkit. Sebanyak 53.252 di antaranya sembuh, namun 2.181 jiwa melayang dalam “perang” melawan Covid-19. Masih ada 4.669 pasien yang berjuang untuk sembuh.
Pandemi mendera sejak Wali Kota Surabaya dijabat Tri Rismaharini. Kepemimpinan sempat dijabat oleh Whisnu Sakti Buana dua pekan saat Risma ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Sosial. Pucuk pemerintahan kini dipegang Eri Cahyadi, mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya yang memenangi pilkada 2020.
Di masa Risma, distribusi makanan minuman bagi warga dan pengadaan sarana sanitasi digenjot. Setiap hari, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Surabaya mengoordinasi produksi makanan dan minuman untuk menjaga imunitas tubuh antara lain telur rebus, pokak atau semacam jamu, dan vitamin. Kampus-kampus digandeng untuk menciptakan berbagai sarana misalnya bilik disinfektan, larutan pensanitasi, robot, dan aplikasi layanan terintegrasi dalam jaringan internet.
Baca juga: Surabaya Rangkul Semua Elemen Masyarakat Mengendalikan Penularan Covid-19
Sarana cuci tangan di sediakan di ratusan lokasi, antara lain trotoar dan pasar untuk mendorong kesadaran warga menjaga kebersihan yakni rutin cuci tangan. Risma juga kerap keliling Surabaya untuk sosialisasi protokol kesehatan.
Program tes, telusur, dan tangani (3T) digencarkan sehingga kasus-kasus terdeteksi. Konsekuensinya, peningkatan kasus di Surabaya, ibu kota Jatim, secara statistik hampir selalu yang tertinggi se-provinsi. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sempat diterapkan selama enam pekan di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik (Surabaya Raya). Program Kampung Tangguh Semeru Wani Jogo Suroboyo digulirkan, di mana sejumlah lokasi disiapkan tempat isolasi mandiri bagi warga terjangkit Covid-19.
Di masa Eri, kebijakan Risma dipertahankan dan sebagian diperkuat. Kebijakan permakanan atau bantuan pangan jadi terhadap warga lanjut usia dan yang terdampak buruk oleh pandemi diteruskan. Penggalangan bantuan juga masih berlangsung. Pengendalian aktivitas sosial masih dilaksanakan sebagai bagian dari kebijakan pusat yakni pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejak pertengahan Januari 2021.
Program 3T masih tetap gencar bahkan menghebat ketika serangan varian Alpha, Beta, Gamma, dan terutama Delta mengakibatkan ledakan kasus di awal Juni 2020. Eri sempat memberlakukan kebijakan penyekatan lalu lintas dan kewajiban tes antigen terhadap warga dari Pulau Madura ketika Bangkalan menjadi salah satu episentrum ledakan kasus. Kebijakan itu akhirnya dihentikan karena mendapat penolakan sosial hebat dari masyarakat Nusa Garam, julukan Pulau Madura.
Kami amat berterima kasih terhadap organisasi massa yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang mengirimkan sukarelawan untuk pemulasaraan jenazah. (Eri Cahyadi)
Program kampung tangguh diperkuat dengan rumah sehat atau penyediaan tempat isolasi mandiri bagi pasien. Di setiap kelurahan, saat ini ada minimal satu bangunan bagi warga untuk menjalani isolasi mandiri dengan pemantauan dari gugus tugas RT/RW sampai puskesmas.
Situasi pandemi yang memburuk memaksa Surabaya memanfaatkan sarana prasarana yang ada untuk penanganan pasien. Gedung lapangan tembak di Kedung Cowek dijadikan Rumah Sakit Darurat. Begitu pula gedung olahraga di kompleks Stadion Gelora Bung Tomo. Pemanfaatan gedung-gedung itu untuk mengimbangi ledakan kasus dengan harapan membantu layanan di RS rujukan pasien Covid-19 tetap berjalan.
Dalam situasi pandemi yang memburuk, dampaknya memang luar biasa. Misalnya, layanan pemulasaraan jenazah menjadi lama. Eri kemudian memindahkan layanan itu ke pemakaman khusus Covid-19. Pemulasaraan jenazah yang sempat tertunda hingga 24 jam akhirnya terpangkas.
“Kami amat berterima kasih terhadap organisasi massa yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang mengirimkan sukarelawan untuk pemulasaraan jenazah,” kata Eri.
Pemkot Surabaya juga sempat memproduksi sendiri peti-peti mati dan mengubah operasional mobil dinas aparatur menjadi ambulans atau mobil jenazah.
“Saya instruksikan mobil dinas jadi ambulan atau mobil jenazah karena pandemi ini cuma bisa diatasi bersama-sama. Kami tidak bisa dan tidak akan mampu mengatasinya sendiri,” kata Eri.
Eri yang dilantik pada 26 Februari 2021 juga mendorong percepatan program vaksinasi. Sementara ini, cakupan vaksinasi Surabaya tertinggi di Jatim. Hingga Jumat lalu, hampir 1,007 juta jiwa warga Surabaya mendapat vaksin dosis 1 dan dosis 2 atau komplet. Persentasenya 45,4 persen dari 2,22 juta jiwa sasaran vaksinasi. Percepatan vaksinasi di Surabaya selain kerja keras pemkot, juga dibantu dari lembaga-lembaga pelaksana vaksinasi antara lain TNI, Polri, dan pemerintah pusat.
“Surabaya menjadi lokasi serbuan vaksinasi dan layanan vaksinasi massal yang ternyata bisa diakses juga oleh kalangan masyarakat luar Surabaya,” kata Eri.
Pada bulan ini, situasi pandemi di Surabaya menurun. Secara umum, risiko penularan telah berubah dari sebelumnya zona merah atau tinggi ke zona oranye atau sedang. Namun, situasi pandemi dinamis. Wajah pandemi bisa berubah dengan cepat dari senyum menjadi seringai menakutkan.
Baca juga: Berkabar Lokasi Isolasi Mandiri hingga Paket Makanan
Keterlibatan pemimpin
Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan, penanganan pandemi menuntut keterlibatan aktif pemimpin daerah. Mereka harus turun ke lapangan dan melihat langsung kondisi warga, sehingga kebijakan yang diambil tepat sasaran.
“Jangan sampai kepala daerah tidak memitigasi dan antisipatif terhadap penanganan pandemi yang belum bisa diprediksi kapan berakhirnya. Ketidaksiapan pemimpin daerah dalam mengantisipasi, khususnya terkait fasilitas kesehatan bisa menimbulkan dampak pada penanganan pasien,” katanya.
Pada saat yang sama, saat membuat kebijakan, pemimpin harus memiliki empati dalam melihat dinamika permasalahan warga. Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah mengatakan, empati itu akan muncul ketika pemimpin mau turun ke lapangan, mendengar, dan melihat apa yang dirasakan oleh warga.
“Apa yang dirasakan warga, kesusahan warga harus dirasakan pemimpin. Karena dari situlah muncul kebijakan-kebijakan populis yang bisa langsung dirasakan warga. Terutama dalam kondisi pandemi seperti ini. Sudah sepatutnya pemimpin turun melihat geliat dan dinamika warga yang terdampak. Jika tidak begitu sulit rasanya pandemi akan dilewati dan beban warga akan semakin berat,” kata Trubus.
Dari turun langsung ke lapangan itulah, kata Trubus, memperlihatkan keteladanan dan cara pemimpin mengatasai permasalahan warganya. Pemimpin juga harus menjadi contoh atau model baik sehingga para bawahan juga mengikutinya.