Situs Sumberbeji, Petirtaan Kuno yang Masih Menyimpan Misteri
Situs Sumberbeji masih menyimpan misteri. Struktur bata dan temuan repihan mengonfirmasi bahwa situs ini ada setidaknya di abad ke-11 atau ke-12. Namun, tinggalan yang mendominasi berasal dari masa Majapahit.
Menjelang pukul 21.00, Kamis (12/8/2021), warga lelaki dan perempuan, tua dan muda, berdatangan ke situs cagar budaya petirtaan di Sumberbeji, Kesamben, Ngoro, Jombang, Jawa Timur. Mereka hendak melakukan ritual malam Jumat legi, salah satu tradisi masyarakat Jawa.
Sebelum melakukan ritual, mereka duduk menikmati makanan dan minuman di warung-warung di sisi timur situs. Sebagian lainnya duduk di taman-taman kecil di sekeliling Situs Sumberbeji.
Situs ini selalu ada pengunjungnya. Sebagian dari mereka adalah warga yang ingin beritual, sebagian lagi berwisata. Sebelumnya, di Kamis siang, odong-odong atau mobil wisata berbentuk kereta juga mampir di situs itu. Kendaraan gandeng ini penuh dengan penumpang, setidaknya 30 orang.
Odong-odong berhenti di bawah pohon beringin. Para penumpang turun melihat-lihat situs, sebagian lagi jajan makan-minum di warung sekitarnya. Setelah 30 menit, mereka kemudian melanjutkan perjalanan.
Ramainya pengunjung yang datang dan banyaknya warung-warung yang beroperasi cukup mengherankan karena saat ini masih dalam masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang sampai saat ini masih berlangsung.
Kepala Desa Kesamben WS Yudha mengatakan, upaya penutupan Sumberbeji memantik protes keras warga. Aparatur terpadu mengalah dengan berusaha mengawasi pengunjung agar menerapkan protokol kesehatan terutama bermasker, rutin mencuci tangan, dan menjaga jarak dengan sesama.
”Sulit bagi kami menahan kedatangan masyarakat ke situs bukan karena tidak mampu tegas, melainkan menghindari konflik,” ujar Yudha. Sekeliling situs telah dipagari meski dari bambu agar tidak dijadikan tempat mandi. Pagar didirikan oleh aparat desa dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang masih berkepentingan dalam aktivitas kearkeologian.
Situs itu memang telah menjadi tempat wisata sekaligus tempat melaksanakan ritual masyarakat Jawa. Masyarakat sudah lekat dengan keberadaan situs itu. Kini, BPCB dibantu aparat desa berencana melakukan ekskavasi tahap ketiga dan penataan Situs Sumberbeji sebagai obyek wisata.
Baca juga : Situs Sumberbeji Peradaban Kahuripan-Majapahit
Interpretasi
Situs ini awalnya adalah kolam yang diyakini berasal dari mata air dan sehari-hari digunakan warga untuk irigasi dan keperluan lainnya. Pada Juli 2019, warga mengadakan gugur gunung atau kerja bakti membersihkan dasar petirtaan dari endapan lumpur untuk irigasi dan pengembangan sebagai objek wisata desa.
Saat pembersihan endapan lumpur, warga kaget karena dasar kolam ternyata struktur bata kuno. Temuan itu dilaporkan ke BPCB dan ditindaklanjuti dengan ekskavasi yang akhirnya menampilkan keseluruhan struktur dan temuan lain, yakni arca pancuran atau jaladwara dengan motif garuda bertubuh manusia, padma, makara, dewa, dan hewan. Selain itu, pecahan keramik, ukel atau hiasan bangunan, keping-keping uang kuno, bahkan perhiasan.
Situs ini tidak seperti dugaan awal berupa kolam dari mata air. Sumber air ada di luar dan belum ketemu. Air dialirkan melalui parit, mengalir ke pancuran utama berbentuk segi empat di tengah, dan dibagi ke beberapa lubang kecil di seluruh penjuru dengan arah vertikal, horizontal, dan diagonal.
Struktur bata dan temuan repihan lainnya mengonfirmasi bahwa situs ini sudah ada setidaknya di abad ke-11 atau ke-12. Namun, tinggalan yang mendominasi berasal dari masa Majapahit, yakni abad ke-13 sampai abad ke-16. Kemungkinan, situs ini peninggalan masa Kahuripan atau setidaknya Kadhiri dan Jenggala tetapi masih dipelihara dan digunakan oleh masyarakat di masa Majapahit.
Karena bentuknya petirtaan atau kolam mandi, Situs Sumberbeji tentu merupakan bagian dari struktur bangunan milik pejabat tinggi kerajaan di masa lalu terutama masa Majapahit. Siapakah dia? Misterius.
Arkeolog BPCB Jatim Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan belum menemukan sumber tertulis tentang Situs Sumberbeji. Namun, ada sejumlah sumber menyatakan bahwa Airlangga, Raja Kahuripan, diperabukan di suatu petirtaan. Namun, terlalu gegabah jika kemudian menyatakan Situs Sumberbeji sebagai pendermaan sang raja dari Pulau Bali itu.
Baca juga : Ekskavasi Petirtaan Klotok Sebagai Wanasrama di Masa Silam
Temuan purbakala yang semasa terutama era Majapahit dan terdekat dengan Situs Sumberbeji adalah reruntuhan bata kuno di Sugihwaras dan Kedaton, sekitar 3 kilometer di utaranya. Di sini, ada indikasi merupakan suatu kawasan peradaban, tetapi masih perlu ditindaklanjuti dengan penelitian dan ekskavasi.
Di masa Majapahit, ada sejumlah pejabat utama yang semacam raja bawahan yang disebut bhre. Kenamaan bhre sesuai dengan warisan peradaban sebelumnya, misalnya Dhaha (Kadhiri), Kahuripan (Jenggala), Tumapel (Singhasari), dan Wengker. Bhre biasanya kerabat dari keluarga raja.
Situs Sumberbeji dilihat dari ukuran yang besar, temuan yang luar biasa bisa diyakini bukan untuk rakyat jelata, melainkan pejabat penting di masa Majapahit.
Wicaksono mengatakan, di era pemerintahan Hayam Wuruk, ibunda yang sebelumnya menjabat ratu adalah Tribhuwana Wijayatunggadewi. Rani ini sebelum dan sesudah menjabat ratu adalah Bhre Kahuripan. Tribhuwana adalah anak dari Gayatri, bungsu dari empat saudari yang seluruhnya diperistri Wijaya, pendiri Majapahit. Gayatri adalah anak dari Kertanegara, raja terakhir Singhasari.
Menurut Nagarakrtagama, setelah Wijaya mangkat, penggantinya adalah Jayanegara yang kemudian tewas dalam pemberontakan Ra Tanca. Karena tidak memiliki keturunan, takhta kerajaan diserahkan kepada Gayatri, diduga sebagai satu-satunya ahli waris yang masih hidup. Namun, karena telah mundur dan menjadi biksuni, Tribhuwana yang diminta menjadi raja putri mewakili Gayatri menjalankan pemerintahan Majapahit.
Wicaksono mengatakan, Gayatri dan Tribhuwana adalah sosok amat penting dalam perjalanan Majapahit yang diyakini mencapai keemasan di masa Hayam Wuruk. Terlebih pada sosok Tribhuwana yang amat dikagumi dan menjadi Bhre Kahuripan. Hal itu membuat arkeolog tertarik untuk mencari lokasi pemerintahannya.
”Situs Sumberbeji dilihat dari ukuran yang besar, temuan yang luar biasa bisa diyakini bukan untuk rakyat jelata, melainkan pejabat penting di masa Majapahit,” kata Wicaksono.
Namun, masih cukup jauh dan perlu banyak data pendukung untuk mengaitkan Situs Sumberbeji sebagai tempa yang dimanfaatkan Bhre Kahuripan. Apalagi sebagai tempat pendermaan Airlangga.
Baca juga : Petirtaan Geneng Tambah Khasanah Brumbung sebagai Peradaban Masa Silam
Untuk menguak misteri pertirtaan itu, BPCB dibantu pemerintahan desa berencana mengadakan ekskavasi tahap ketiga. Situs Sumberbeju juga akan ditata sebagai obyek wisata.
BPCB, menurut Dwi Nugroho, masih penasaran mengenai asal-usul air di pertirtaan itu karena selama ini belum ditemukan sumbernya. Penggalian tidak bisa begitu saja ditempuh, apalagi lahan di sekitar situs yang notabene ladang tebu masih menjadi milik orang lain.
”Ekskavasi lebih ke penataan, yakni memundurkan tanggul tanah di sekeliling kolam dan mencari mata airnya untuk dikonservasi,” kata Wicaksono.
Yudha menambahkan, di sisi timur akan dibuat kolam-kolam pengaliran air dari situs untuk berujung ke saluran irigasi. Situs tidak akan terlalu terendam untuk kenampakan struktur bangunannya.
Wicaksono mengatakan, penataan nantinya akan seperti Candi Tikus, petirtaan peninggalan Kerajaan Majapahit di Temon, Trowulan, Mojokerto. Kenampakan struktur atau susunan bata dipertahankan dengan mengatur ketinggian air sehingga dapat dinikmati oleh pengunjung.
BPCB dan Pemerintah Kabupaten Jombang juga sedang menyusun rencana induk penataan dan pemanfaatan Situs Sumberbeji. Apakah nantinya diperlukan ekskavasi lanjutan setidaknya bergantung pada penyusunan itu.
Hingga kini, upaya pencarian jawaban atas misteri situs ini terus dilakukan. Misteri ini juga yang sebagian dibawa dalam doa oleh kalangan warga saat malam Jumat legi.
Baca juga : Ekskavasi Tahap III Situs Pentirtaan Sumberbeji Jombang