Meteran listrik pascabayar bernama Akidi pada dua ruko menjadi salah satu petunjuk riwayat Akidy di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Meteran listrik ini menjadi penghubung orang-orang dekat Akidy.
Sejak berita sumbangan Rp 2 triliun yang dijanjikan anak mendiang Akidy untuk penanganan Covid-19 kepada masyarakat Sumatera Selatan, publik pun mencari tahu siapa sebenarnya sosok pengusaha asal Langsa, Aceh, itu. Untuk menguak tabir kehidupan Akidy, yang pertama dilakukan ialah mencari rumahnya di Palembang selepas merantau dari Langsa tahun 1976. Satu-satunya petunjuk ialah informasi bahwa Akidy tinggal di Jalan Veteran.
Hanya saja, pencarian itu tidak mudah karena kawasan Jalan Veteran yang merupakan sentra jual beli mobil bekas di Palembang membentang sejauh 3 kilometer dan terbagi dalam tiga kelurahan, yakni Kelurahan 9 Ilir, 20 Ilir, dan Kelurahan Kepandean Baru.
Para pegawai di tiga kelurahan tersebut tidak ada satu pun yang tahu di mana keluarga Akidy pernah bermukim. Maklum, kisah Akidy tidak terekam kuat di benak mereka. Apalagi dia telah meninggal dunia 12 tahun lalu. Ketika Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Eko Indra Heri memberi petunjuk bahwa rumah Akidy berada di sekitar perusahaan travel di dekat sungai, informasi tersebut sedikit membantu. Lokasi ini berada di wilayah Kelurahan Kepandean Baru. Namun, pencarian kartu keluarga milik Akidy dengan membongkar kembali tumpukan kartu kusam milik warga di Kantor Kelurahan Kepandean Baru dari tahun 1970-2011 ternyata tak membuahkan hasil.
Berbekal informasi dari Eko, lingkup pencarian pun mulai mengerucut. Setidaknya ada enam rumah toko (ruko) dan satu gudang yang berdiri di kawasan yang diinformasikan. Lima ruko tepat berjajar di pinggir Jalan Veteran, sedangkan satu gudang dan satu ruko yang lain berada di sebelah tempat peribadatan Tri Dharma Kwa Cheng Bio.
Dari cerita Ketua RT VI, Kelurahan Kepandean Baru, Sudarsono, titik terang pun mulai terlihat. Dia menuturkan, pada rentang tahun 1988-1993 pernah melihat Akidy tinggal di salah satu ruko yang kini menjadi tempat praktik dokter gigi. Sudarsono lalu mengajak bertemu dengan Ahok, warga sekitar yang membeberkan bisnis awal Akidy di Palembang.
Pernah bertemu
Namun, masih ada kisah hilang dari rentang 1993-2009. Pencarian berlanjut hingga ke Kampung Kapitan, kawasan tempat tinggal warga Tionghoa di Palembang sejak masa Hindia Belanda. Ada kabar bahwa Akidy pernah berbisnis industri rumahan dan kecap di sana. Namun, keturunan ke-14 Kapitan, Slamet Wijaya, meragukan hal itu karena dia tidak pernah mendengar nama Akidy. ”Mungkin saja ada, tapi saya tidak ingat karena masih kecil waktu itu,” ujarnya.
Hanya saja, pencarian itu tidak mudah karena kawasan Jalan Veteran yang merupakan sentra jual beli mobil bekas di Palembang membentang sejauh 3 kilometer dan terbagi dalam tiga kelurahan.
Nama yang dia dengar adalah Cek Ahua yang membuka pabrik kecap Cap Gajah. Sempat kehilangan petunjuk lanjutan, pencarian kembali ke Jalan Veteran dan kembali memeriksa lima ruko yang ada di pinggir jalan.
Tak sengaja pandangan mata terarah ke sebuah meteran listrik yang identitas pelanggannya bertuliskan nama Akidy. Dari lima ruko, setidaknya ada dua meteran listrik yang bertuliskan nama Akidy.
Saat memeriksa meteran listrik, seorang pegawai perusahaan ekspedisi TOP yang kantornya berada di salah satu ruko, Hatta (46), berteriak kecil dan berkata, ”Akidy ya, saya pernah bertemu dengan dia.”
Pertemuan berlangsung pada rentang tahun 1996-1998. Menurut Hatta, Akidy adalah sosok yang sederhana. Setiap hari mengenakan baju putih bercelana panjang dan berjalan menggunakan tongkat. ”Namun, dia (Akidy) lebih sering di dalam rumah karena memang kondisinya saat itu sudah sangat renta,” ujarnya.
Bagi Hatta, keluarga Akidy merupakan sosok yang baik karena kerap kali membantu. Satu hal yang membekas di ingatannya ialah kebiasaan Heryanty, anak bungsu Akidy, memberikan THR kepada warga sekitar. ”Saat itu, Rp 20.000 sudah cukup besar,” kata Hatta yang sudah bekerja di perusahaan ekspedisi TOP sejak 25 tahun yang lalu.
Namun, dia (Akidy) lebih sering di dalam rumah karena memang kondisinya saat itu sudah sangat renta.
Meski pun tak ada data kartu keluarga Akidy di Kelurahan Kepandean Baru, keberadaan Akidy di Jalan Veteran dipastikan dari dokumen Daftar Himpunan Ketetapan Pajak dan Pembayaran tahun 2020. Dalam dokumen tertulis bahwa dua ruko di Jalan Veteran atas nama Akidy.
Namun, ruko tersebut kini sudah dibeli orang lain. Hal ini bisa dilihat dari tagihan Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar orang lain.
Selama dekade 2000-an, Akidy diperkirakan tidak lagi tinggal di Jalan Veteran. Dia berpindah-pindah ke sejumlah tempat. Salah satunya di kawasan Tugumulyo, Kelurahan 20 Ilir, Kecamatan Kemuning, tempat Heryanty tinggal.
Usman, penjaga lingkungan Kawasan Tugumulyo, bercerita, sejak tahun 2000, Heryanty sudah tinggal di sana. Awalnya, dia mengontrak dengan keluarganya. Selang beberapa tahun, setelah ayahnya meninggal, Heryanty pindah ke tempat yang sekarang.
Di akhir hayatnya, Akidy dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Talang Kerikil, tempat pemakaman bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Palembang. Makamnya berada di lahan seluas 60 meter persegi. Bangunan makamnya tampak sederhana, berbahan dasar pasir, batu sikat, batu alam, dan semen. Sementara nisannya berlapis batu alam bertuliskan huruf Mandarin (hanzi) yang menyebutkan nama delapan anak Akidy.
Penjaga makam, Sulaiman (56), menaksir biaya pembuatan makam sekitar Rp 18 juta per makam. ”Terbilang sederhana karena ada juga makam yang berbiaya hingga Rp 80 juta,” kata Sulaiman yang sudah 20 tahun bekerja menjadi perawat makam tersebut. Di sebelah makam Akidy terdapat makam Ratna, istrinya, dan Nani, kerabat Akidy.