Mayor Tan Tjin Kie, Jejak Berbaginya Abadi Tanpa Sensasi
Mayor Tan Tjin Kie meninggalkan jejak kedermawanan di Cirebon. Ia membangun pabrik gula, masjid, dan rumah sakit yang kini menjadi benteng utama melawan Covid-19 di pantura Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Banyak pengusaha yang berkontribusi bagi negeri ini tanpa mencari sensasi dengan janji sumbangan hingga triliun rupiah. Mayor Tan Tjin Kie, keturunan Tionghoa Cirebon, Jawa Barat, salah satunya. Ia membangun masjid, gereja, pabrik gula, dan rumah sakit yang hingga kini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Tan Keng Bie atau Tan Tjin Kie lahir di Cirebon pada 3 April 1853 dan wafat 13 Februari 1919 dalam usia 66 tahun. Ketika berusia 29 tahun, ia diangkat sebagai letnan warga Tionghoa, lalu jadi kapten pada umur 35 tahun.
Dalam usia 60 tahun, Tan Tjin Kie didaulat sebagai mayor tituler, sebuah pangkat dan gelar kehormatan yang diberikan tanpa harus menjalankan tugasnya. Bagi pemerintahan kolonial Belanda saat itu, ia merupakan pemimpin warga Tionghoa.
Tan Tjin Kie keturunan kaya raya dengan seratusan rumah yang disewakan. Ia juga membangun Pabrik Gula Luwunggajah di Ciledug, Cirebon. Pabrik yang telah dijual tahun 1922 ini cikal bakal PG Tersana Baru di Babakan, satu dari tiga pabrik yang masih beroperasi di Jabar.
Pembangunan Rumah Sakit Oranye, kini RSD Gunung Jati, Kota Cirebon, pun tidak lepas dari tangannya. ”Mayor Tan Tjin Kie menyumbang 10.000 gulden kepada dr Gottlieb. Uangnya ada loh,” ujar pemerhati budaya Tionghoa Cirebon, Jerremy Huang, Jumat (13/8/2021).
Pemberian uang yang diperkirakan hampir Rp 80 juta pada 1919 itu tanpa sensasi. Tidak ada seremonial yang mengundang para pejabat. Mungkin karena internet belum hadir sehingga tidak ada viral-viralan seperti kini.
Tan Gin Ho, putra Tan Tjin Kie, dalam bukunya Mayor Tan Tjin Kie (1853-1919) yang dialihbahasakan oleh Dr Iwan Satibi pada 2004 menggambarkan kesederhanaan itu. Buku itu merupakan kenang-kenangan untuk keluarga berkaitan saat wafat hingga pemakaman sang mayor.
”Apabila pada suatu saat beliau menerima tamu di rumahnya, akan disuguhkan minuman mahal dan istimewa. Pula, disuguhkan cerutu dari merek terkenal. Tetapi, beliau sendiri hanya minum air teh dan mengisap rokok kretek biasa,” tulis buku itu.
Kedermawanannya tidak mengenal sekat agama. Pada 1917, ia membangun Masjid Nona atau kini dikenal sebagai Masjid Baiturrahman Sukadana di Kecamatan Pabuaran. Masjid bercampur arsitektur Tionghoa itu masih berdiri kokoh.
Ia turut andil dalam pembangunan sebuah gereja di Ciledug dan sekolah Tionghoa Tiong Hoa Hwee Kwan di Cirebon. Tan Tjin Kie juga ikut merenovasi Kelenteng Tiao Kak Sie yang juga dikenal sebagai Wihara Dewi Welas Asih, Cirebon.
Atas jasa-jasanya itu, ia meraih penghargaan Bintang Jasa Pengabdian dari pemerintah kolonial. Dinasti Qing di China juga menganugerahkan pangkat Mandarin Klas I pada 1908 karena menyumbang uang saat banjir di sana.
Kebaikan Tan Tjin Kie semakin tampak saat ia berpulang pada 13 Februari 1919. Masyarakat setempat, termasuk kalangan Tionghoa dan Arab, ikut mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Perwakilan Konsulat Jenderal Republik Tiongkok dan Susuhunan Surakarta juga hadir.
Hotel-hotel dan rumah penduduk penuh oleh tamu dari luar kota yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada beliau. (Jeremy Huang)
”Hotel-hotel dan rumah penduduk penuh oleh tamu dari luar kota yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada beliau,” ungkap Jeremy. Saking padatnya, keramaian saat itu disebut-sebut melebihi Tahun Baru Imlek atau acara apa pun di Cirebon.
Sayangnya, warisan kekayaan Tan Tjin Kie tidak bertahan lama. Jeremy memperkirakan penerusnya kesulitan biaya akibat pajak pemerintah kolonial yang tinggi setelah Perang Dunia I. ”Ada juga kabar, salah satu keturunannya terlalu boros,” ucapnya.
Bekas tanahnya kini menjadi tempat perbelanjaan, Sekolah Santa Maria, dan toko. Rumah-rumahnya yang sempat disewakan juga entah di mana. Paling tragis, pemakaman keluarga, termasuk Tan Tjin Kie, di daerah Dukuh Semar sudah rata dengan tanah.
Pandemi
Meski demikian, jejaknya pada RSD Gunung Jati kini menjadi salah satu harapan warga melawan pandemi. RS itu merupakan rujukan regional di Jabar bagian timur untuk menangani pasien Covid-19.
Kehadiran sosok dermawan seperti Tan Tjin Kie pun sangat dibutuhkan saat anggaran Pemkot Cirebon menipis. Salah satunya untuk membayar insentif tenaga kesehatan yang belum dilunasi pada 2020 dan kini dikurangi.
Wakil Direktur Keuangan dan Umum RSD Gunung Jati dr Evi Wulansari mengatakan, pembayaran insentif nakes untuk Agustus-Desember 2020 belum dicairkan. Tahun 2021, insentif nakes dikurangi 50 persen bahkan lebih.
Insentif perawat dan bidan, misalnya, seharusnya Rp 7,5 juta per bulan. Namun, mereka hanya menerima Rp 2,45 juta per orang. Begitu pun dengan dokter spesialis, dokter umum, dan tenaga kerja lainnya yang turun langsung menangani pasien Covid-19.
”Kebutuhan insentif nakes di RSD Gunung Jati rata-rata sekitar Rp 2,5 miliar per bulan untuk lebih kurang 380 nakes,” katanya. Insentif pada Januari hingga April telah lunas, sedangkan Mei sampai Juni masih dalam proses pencairan.
Evi mengaku pengurangan jumlah insentif dan belum tuntasnya pembayaran pada 2020 berdampak pada kinerja nakes. ”Tentunya memengaruhi. Kadang, juga mengeluh. Tapi, teman-teman tetap mengedepankan pelayanan dan keselamatan pasien,” ungkapnya.
Andai masih hidup, Mayor Tan Tjin Kie mungkin kembali turun tangan membantu RSD Gunung Jati. Sejarah telah membuktikan kedermawanannya.