Daya Magis Rempah Maluku, dari Black Death sampai Covid-19
Rempah asal Maluku diyakini membantu menyelamatkan nyawa manusia sejak era wabah Maut Hitam di abad pertengahan hingga pandemi terkini yang dipicu oleh virus korona jenis baru.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Uap air panas yang direbus dengan aneka rempah, termasuk pala dan cengkeh, dihirup dengan dalam. Oleh banyak orang Maluku, daya magis uap rempah diyakini dapat melumpuhkan Covid-19 yang mungkin sedang menggerogoti rongga hidung hingga paru-paru mereka. Mitos ini seperti orang Eropa yang mengalungkan bubuk pala di leher saat pandemi Black Death berkecamuk sekitar enam abad silam.
Sidik Rumalowak (46), warga Pulau Seram, Maluku, duduk berselimut tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Sesekali ia menghadapkan wajahnya ke mulut dandang di sampingnya, menantang uap panas, lalu menarik napas dan mengembuskannya. Air dalam dandang itu terus mendidih dipanasi api yang tak boleh padam.
Uap panas yang menyembul dari dandang diredam tikar membuat suhu di dalam bilik selebar setengah rentangan tangan orang dewasa itu hampir 40 derajat celsius. Belum setengah menit, dari kulit Sidik berluncuran keringat. Lebih dari sepuluh menit, pakaiannya basah, seperti habis diguyur air. Ia bertahan hingga lima menit.
Keluar dari bilik, tubuhnya serasa semakin ringan, pegal-pegal hilang, dan aliran nafasnya legah. ”Flu, batuk, pilek, dan darah kotor dalam tubuh langsung hilang. Dari dulu orangtua kami mewarisi ini,” ujarnya pada Kamis (5/8/2021). Dalam bahasa lokal, praktik yang baru saja dilakoni Sidik ini dinamakan ba ukup.
Ba ukup meningkatkan fungsi paru-paru karena merilekskan otot bantu pernapasan sehingga risiko flu dan pneunomia berkurang.
Selama pandemi Covid-19, kata Sidik, ba ukup diyakini masyarakat setempat sebagai cara menjaga kebugaran tubuh dan membantu memulihkan diri dari Covid-19 yang mungkin saja tengah menggerogoti tubuh mereka tanpa mereka sadari. Mereka mulai ba ukup ketika mengalami batuk, pilek, pegal-pegal, dan kehilangan indera penciuman.
Gejala mirip orang terinfeksi Covid-19 itu sering mereka rasakan di pedalaman Maluku. Tak ada alat tes Covid-19, mereka lalu memilih ba ukup. Tak berapa lama setelah ba ukup, tubuh mereka kembali stabil. Inilah jalan alternatif yang mereka tempuh selama belum ditemukan obat Covid-19. Aroma rempah yang ada di dalam uap panas turut diyakini dapat melemahkan virus.
Dokter ahli penyakit dalam di Ambon, ibu kota Provinsi Maluku, Sofyan Umarella, mengatakan, belum ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ba ukup dengan aroma rempah dapat menyembuhkan Covid-19. Namun, berdasarkan pengalamannya, ba ukup dapat menjaga kebugaran. ”Saya pribadi sering ba ukup satu pekan sebanyak dua sampai tiga kali, selama 30 menit sampai 1 jam,” katanya.
Menurut dia, saat ba ukup, suhu tubuh naik sehingga menyebabkan pembuluh darah membesar. Aliran darah pun meningkat. Saat panas dari darah mulai bergerak ke permukaan kulit, sistem saraf tubuh mulai mengirimkan sinyal ke jutaan keringat yang menutupi tubuh manusia.
”Ba ukup meningkatkan fungsi paru-paru karena merilekskan otot bantu pernapasan sehingga risiko flu dan pneunomia berkurang. Penggunaan daun pala dan cengkeh lebih ke efek untuk meningkatkan hormon endorfin sehingga terjadi relaksasi otot dan meningkatkan sirkulasi kapiler yang memperbaiki mood dan stres,” kata Sofyan.
Daya magis rempah pada era pandemi Covid-19 mengingat kembali sejarah kelam pandemi. Maryan Readal dari The Herb Society of America dalam tulisan berjudul ”Nutmeg-The Rest of the Story” menggambarkan, pala menjadi penawar pada saat pandemi Black Death pertengahan tahun 1300-an.
Pala yang dimaksudkan Readal berasal dari Kepulauan Banda, Maluku. Cara pemakaian pala saat ini adalah bubuk pala dikalungkan pada leher untuk mencegah kutu pembawa bakteri pemicu wabah Black Death menggerogoti tubuh. Sejumlah literatur pun mengonfirmasi begitu kuatnya daya magis pala kala pandemi Black Death.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, wabah Maut Hitam (Black Death) menewaskan lebih dari 75 juta orang di kawasan Eurasia, termasuk Eropa. Black Death disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang menumpang pada kutu hewan pengerat.
Pandemi itu berawal pada Oktober 1347. Dua belas kapal dagang Genoa berlabuh di pelabuhan Messina, Sisilia, setelah mengarungi Laut Hitam. Banyak pelaut di kapal itu meninggal dengan sekujur tubuh bertabur gelembung hitam, membuat penyakit itu disebut ”Maut Hitam” (Kompas, 19/3/2021).
Kejayaan rempah
Penggunaan rempah asal Nusantara untuk menangkal wabah dan berbagai khasiat lainnya mendorong perburuan rempah. Sebelumnya, rempah yang diperoleh Bangsa Eropa berasal dari pedagang Arab, India, dan China. Rempah dijual dari tangan ke tangan. Bangsa Eropa pun berlomba-lomba mencari sumbernya. Dua negara pertama yang memelopori pencarian itu, yakni Spanyol dan Portugis.
Spanyol berlayar melewati Samudra Pasifik sedangkan Portugis bergerak dengan kapal melalui Tanjung Harapan di selatan Afrika. Portugis lebih dahulu mencapai Nusantara ditandai dengan penalukan jalur perdagangan paling ramai kala itu, yakni Selat Malaka oleh pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada 1511.
Setahun kemudian, utusan Albuquerque tiba di Banda, dan mengklaim bahwa mereka sudah menemukan apa yang mereka sebut Kepulauan Rempah. Banda terkenal dengan pala. Rombongan Spanyol kemudian tiba di Kepulauan Maluku dari arah utara. Mereka mencapai Ternate dan Tidore yang terkenal dengan cengkeh.
Harga rempah dunia pun semakin meroket saat Belanda masuk dan membentuk serikat dagang VOC pada 1602. VOC memonopoli perdagangan rempah Nusantara. Dari hasil monopoli itu, Belanda membangun kota-kota megah di negaranya.
Harga rempah kemudian anjlok, pamor rempah pun redup. Daerah penghasil rempah tetap miskin. Bandingkan saja Pulau Run di Banda dan Pulau Manhattan di New York City, Amerika Serikat. Dua pulau itu dulu ditukar oleh Inggris dan Belanda. Run jadi milik Belanda dan Manhattan jadi milik Inggris. Pertukaran dikenal dengan Perjanjian Breda pada 1667.
Run, yang dulu sebagai penghasil pala, mengalami kemunduran. Saat didatangi pada 2017, sekitar 2.000 jiwa warga yang mendiami pulau itu hanya mengandalkan hujan untuk kebutuhan air bersih. Run menjadi daerah miskin di Maluku. Sementara Manhattan menjadi kota yang hiruk-pikuk dengan kemajuan.
Menghidupkan jalur rempah
Harga rempah yang dulu menyaingi harga emas kini terpuruk. Di Ambon, harga per kilogram pala tidak lebih dari Rp 60.000 dan cengkah lebih mahal Rp 10.000. Pada saat pandemi Covid-19, harga cenderung turun. Petani pun semakin malas mengolahnya. ”Kalau ongkos kerja lebih mahal, untuk apa lagi kita kerja,” tutur Ramdani Malawat (32), warga Pulau Ambon.
Pemerintah daerah pun berusaha membangun komunikasi dengan pembeli di Eropa, tetapi tidak membuahkan hasil maksimal. Tahun 2019, Maluku sempat ekspor puluhan ton pala ke Timur Tengah dan Eropa. Saat pandemi merebak, tak ada lagi kabar tentang itu.
Kendati harga rempah anjlok, nilai sejarah tentang rempah di Maluku tidak akan luntur. Disadari, nilai historis itu kini menjadi kekuatan untuk dijadikan daya tarik wisata. Wisata dengan berbasis sejarah tentang jalur rempah. Untuk Maluku, fokusnya ke Kepulauan Banda.
”Sekarang sudah berjalan, tetapi terhenti akibat pandemi. Biasanya wisatawan diajak ke tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah dan juga diajak ke kebun untuk melihat pengolahan pala mulai dari pembenihan sampai setelah dipanen,” kata Rusadi Adjiz, warga Banda.
Yang menjadi kendala pengembangan pariwisata di Banda adalah akses transportasi. Di sana hanya didarati pesawat kecil jenis Cesna. Pelayaran juga tidak setiap hari. Banda tidak masuk dalam 10 destinasi prioritas di Indonesia sehingga masih minim sentuhan pemerintah pusat.
Banda punya nama besar yang tercatat dalam sejarah global seperti daya magis bubuknya yang diyakini menyelamatkan nyawa saat era pandemi Black Death dulu. Setelah ekonomi yang terpuruk akibat Covid-19 ini membaik, sudah saatnya pengambil kebijakan pariwisata nasional melirik potensi Banda.
Harum dan berkhasiatnya rempah Banda menunggu dikelola secara tepat agar kembali bermanfaat bagi masyarakat setempat, juga dunia.