Mimpi Besar Anak-anak Muda di Kampung Kartun Purbalingga
Desa Kartun Sidareja di Purbalingga menyimpan dan menempa pemuda-pemudi berbakat. Lewat berbagai kesenian, mereka berekspresi, mewarnai desa, dan berani bermimpi ”go national” maupun ”go international”.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·7 menit baca
Tabuhan musik kentongan atau seni tek-tek yang dimainkan para pemuda memecah temaram senja di desa yang berjarak 13 kilometer timur laut Alun-alun Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu (7/8/2021). Di sudut lain, sejumlah pemudi lincah berlatih tari dan sebagian lagi duduk takzim menggoreskan pena menuntaskan sketsa warna-warni. Listrik padam akibat meledaknya trafo jaringan tak memupus gelora cipta, rasa, dan karsa anak-anak muda di Desa Kartun Sidareja itu.
Sejak diinisiasi Slamet Santosa dan Gita Yohanna Thomdean pada September 2020, desa kartun beserta Kie Art Cartoon School itu telah melahirkan enam kelompok pemuda seni, yang terdiri atas sekitar 60 orang. Dalam Kie Kartun, mereka menekuni seni lukis, seperti sketsa, mural, dan melukis di kanvas. Kie Akustik mewadahi pencinta musik yang melahirkan Jingle Carton Village, sedangkan Kie Teater mendalami seni peran dan berlatih percaya diri di depan publik.
Di desa kartun itu lahir pula kelompok kesenian yang menghidupi budaya dan tradisi lokal. Lewat Kie Karawitan, misalnya, mereka melestarikan seni karawitan atau gending Jawa. Dalam Kie Tari, para pemudi menggali makna Tari Ujungan, tari yang biasa ditampilkan dalam ritual memohon turun hujan dan menjadi cikal bakal desa ini. Ada pula Kie Wayang yang sedang menyiapkan Wayang Kartun Jemblung dengan dalang wanita.
Sebutan Kie Art, mengacu campuran dua bahasa, yakni bahasa lokal dan bahasa Inggris. Kie dalam bahasa Banyumasan berarti ”ini”, sedangkan art berarti ”seni” sehingga Kie Art sama dengan ”ini seni”. ”Seni adalah makanan jiwa yang memberikan keseimbangan hidup,” kata Slamet Santosa, Sabtu (7/8/2021), saat merilis Village Gallery, galeri desa untuk memajang dan memanggungkan kreativitas anak-anak muda.
Mereka juga berkolaborasi dengan kelompok tek-tek atau kentongan Gianta Agung yang lebih dulu eksis di desa ini untuk memeriahkan sejumlah acara atau penyambutan tamu. Menurut Gita Yohana, musik kentongan itu semacam nyawa dari pemuda desa. ”Nanti orang datang ke desa tidak hanya berkunjung melihat-lihat, tetapi juga menikmati performance seni dari pemuda. Jadi, lebih berwarna dan harmonis,” kata Founder of Kie Art Project & Kie Art Cartoon School itu.
Desa minat khusus
Desa kartun ini disiapkan menjadi desa wisata minat khusus. Jika sebelumnya banyak desa wisata yang latah mengandalkan keelokan alam dan dihiasi selfi deck yang instagramable, desa kartun ini berbeda. Mereka tidak hanya melukis tembok-tembok rumah warga yang juga sangat layak untuk berswafoto, tetapi juga menggembleng sisi sumber daya manusia, terutama anak-anak dan remaja.
Sejumlah mentor atau pelatih seni pun dihadirkan dari sejumlah tempat. Misalnya, pelukis senior didatangkan dari Bali, Yogyakarta, dan Jakarta. Dalam berlatih tari dan karawitan, desa ini merangkul mahasiswa-mahasiswi ISI Surakarta. Untuk menempa seni drama, desa ini melibatkan mahasiswa Universitas Wijayakusuma Purwokerto. Adapun untuk pewayangan, Dalang Jemblung Kusno terlibat dalam pembinaan.
Laela Nindya (27) yang menyiapkan lagu desa kartun berjudul ”Cartoon Village” dan ”Srikandi Milenial” menyebutkan, lagu-lagu itu selain bisa dinyanyikan secara akustik juga bisa dibawakan dengan gending. ”’Srikandi Milenial’ itu liriknya tentang anak-anak milenial sekarang yang seharusnya kembali membangkitkan budaya Jawa, mungkin di luar sana tidak banyak anak muda yang mencintai budaya Jawa. Adapun ’Cartoon Village’ ada ajakan dari kita, ayo pemuda-pemuda kita cintai kebudayaan, ajak warga untuk gotong royong karena kampung kita akan jadi desa wisata,” papar Laela.
Di tengah suasana desa yang sunyi dalam pembukaan galeri desa malam itu, mengalun jingle ”Cartoon Village” yang dinyanyikan tujuh pemudi. Iringan dawai gitar akustik menambah syahdu suasana penuh warna yang di antaranya dipadukan dengan 33 lukisan terpajang. Dalam pelukan sinar lampu yang temaram, anak-anak muda berbakat ini pun mulai berdendang:
”Susuri jalan lengang alunan musik jawa, menikmati suasana di desa... Cartoon Village Sidareja sudah bangkit budayanya, tradisinya werna-werna, seninya beraneka. Hei..hei.. kamu semua, ajak teman dan keluarga, menari, belajar bersama Cartoon Village Sidareja....”
Dari 33 karya lukisan bertema Kami Masih Mencintaimu Indonesia yang dipamerkan di galeri desa itu, 24 karya adalah ciptaan dari 11 pemuda-pemudi desa berusia 15-18 tahun. Lukisan cat akrilik di atas kanvas itu, antara lain, menggambarkan permainan tradisional, seperti berkuda dengan pelepah pisang, bermain sarung, dan bermain kelereng. Ada pula lukisan seorang ibu sedang menumbuk padi dengan lesung dan alu, pengantin adat jawa, gambar karakter kartun hewan, serta sosok perempuan yang percaya diri.
Untuk lukisan kartun, karya Yundi Nur Laeli (17) yang berjudul Mata Manusia menggambarkan sosok pemuda suku Dayak dengan rajah atau tato sedang menangkap ikan emas. ”Saya menggambarkan ikan karena ikan bisa menyelam ke lautan yang dalam untuk mendapatkan ide atau energi yang lain dari lautan yang luas,” kata Yundi.
Adapun karya Laila Nur Fadhilah (15) berjudul Menyapamu menggambarkan proses komunikasi. Dua bocah saling berkomunikasi tanpa menggunakan gawai, tetapi memakai kaleng yang dihubungkan tali. Satu sisi kaleng ditempelkan ke telinga dan ujung lainnya berada di lawan bicara ditempelkan ke bibirnya seolah mengatakan suatu pesan.
”Karya ini membawa kita untuk bernostalgia dan bersyukur atas adanya teknologi yang semakin baik. Komunikasi ini digambarkan dengan telpon-telponan dari kaleng karena zaman dulu belum ada HP. Background-nya banyak jenis dedaunan karena mayoritas Indonesia penuh dengan hutan,” katanya.
Ada pula karya Atikah Salsabila Purwoko (18) berjudul Loro Blonyo yang menggambarkan sepasang pengantin jawa. ”Saya menonjolkan pada bagian blangkon dan kembang goyangnya untuk mengingatkan kembali nilai-nilai filosofinya,” katanya.
Salsa memaparkan, kembang goyang sebagai hiasan pada sanggul pengantin perempuan yang berjumlah tujuh kembang melambangkan pitulungan atau pertolongan. Lima kembang menghadap ke depan dan dua kembang menghadap belakang.
”Ini berarti kecantikan tidak hanya terlihat dari luar, tetapi juga dari dalam hati. Sementara blangkon pada mempelai pria menggambarkan tanggung jawab untuk menjadi kepala keluarga dan menjaga emosi terhadap segala permasalahan yang akan dihadapi,” paparnya.
Sementara itu, karya Alexa Rakhmadani (14) berjudul Confident dan Mimpi Besar melukiskan perempuan ramping berambut kribo raksasa dengan detail doodle art yang rumit sekaligus rapi. ”Wanita ini merasa percaya diri dengan dirinya dengan rambutnya yang kribo. Rambutnya ini menggambarkan pemikiran besar. Dia selalu memikirkan sesuatu yang akan dilakukan secara matang-matang. Dia juga punya quote: banyak yang membenci bukanlah alasan untuk berhenti menjadi diri sendiri. Sementara itu, kerumitan detail yang digambarkan menganalogikan sesuatu yang rumit bisa diselesaikan dengan kejernihan jiwa,” papar Alexa, pelajar kelas III SMP.
Santosa menuturkan, salah satu pertimbangan dirinya berani menggelar pameran dan membuka galeri di desa adalah karena, selama berproses hampir 10 bulan ini, para pelukis muda yang didampinginya telah mulai menunjukkan karakter karyanya. Ada yang menampilkan detail nan rumit, seperti Alexa; ada pula yang suka menggambar sosok, baik manusia maupun hewan secara tambun, seperti dilukiskan Salsabila. Juga ada yang melukiskan tema-tema permainan tradisional dan mengangkat tradisi.
Bagi Santosa, karya seni itu terus berubah dan beradaptasi memaknai zaman yang begitu cepat berkembang. Apa yang diekspresikan pemuda-pemudi di atas kanvas ini juga menjadi penanda zaman hasil daya imajinasi yang dielaborasi dengan tradisi di sekitarnya, terutama tradisi nan kaya di Indonesia.
Anisa Rakhmah Nur Azizah (17), pelukis muda yang berminat menggambar tradisi Jawa, seperti seorang ibu yang sedang menumbuk padi dengan lesung dan alu, mengaku senang dapat bergabung dalam komunitas ini. ”Tidak menyangka bisa melakukan pameran seperti ini karena kami anak dari desa. Lukisan yang dulunya hanya dipajang di dinding kamar sekarang bisa dilihat banyak orang,” kata Rakhmah yang duduk di kelas XII SMKN 1 Bukateja Jurusan Arsitektur.
Di tengah impitan pandemi Covid-19, keterbatasan akses di desa, seperti jarak, aliran listrik, serta jaringan internet yang byarpet alias tak stabil, gelora berkreasi pemuda-pemudi di Desa Kartun Sidareja ini terus membara. Kemauan untuk belajar dan menggali kearifan lokal membawa mereka larut dalam proses panjang penempaan diri. Meski berasal dari desa kecil nan sunyi, mereka berani merajut mimpi yang tinggi untuk bisa go national, bahkan go international.