Pemeriksaan Himen Tidak Lagi Digunakan dalam Seleksi TNI AD
Pemeriksaan ruptur hymen atau ”selaput dara” ditiadakan dalam penilaian seleksi Korps Wanita Angkatan Darat. Kebijakan itu mulai diterapkan untuk penerimaan bintara yang sedang berlangsung saat ini.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pemeriksaan himen atau ”selaput dara” ditiadakan dalam penilaian seleksi Korps Wanita Angkatan Darat. Ketentuan itu sudah diterapkan untuk penerimaan bintara yang sedang berlangsung saat ini.
Peniadaan pemeriksaan itu dinilai menjadi langkah maju. Terlebih, jika salinan keputusan tersebut bisa didapatkan oleh berbagai pihak untuk penilaian hak perempuan.
Dalam kunjungan ke Kalimantan Timur, Kepala Staf Angkatan Darat TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan, mulai Mei 2021, TNI AD melakukan seleksi bintara. Dalam proses seleksi itu, tidak ada lagi pemeriksaan vagina dan serviks untuk calon Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad).
”Kita perbaiki. Tidak ada lagi pemeriksaan vagina dan serviks. Untuk ruptur himen, ini tadinya bagian dari pemeriksaan. Sekarang kita tidak melakukan pemeriksaan itu,” ujar Andika, di sela-sela melihat latihan gabungan TNI AD dan US Army di Pusat Latihan Tempur Amborawang, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kamis (12/8/2021).
Ia menuturkan, pemeriksaan himen hanya dilakukan untuk memeriksa kelainan genital sejak lahir kepada calon prajurit. Pemeriksaan itu hanya akan dilakukan kepada calon prajurit wanita yang belum pernah haid meskipun sudah berusia di atas 17 tahun. Tujuannya, mengetahui apakah ada kelainan genital kepada calon prajurit sehingga butuh penanganan medis.
Pembaruan dalam seleksi kesehatan ini, ujar Andika, semata-mata agar seleksi fokus pada kesiapan fisik dan mental calon prajurit untuk mengikuti latihan-latihan kemiliteran. Andika menyebutkan, pemeriksaan kesehatan hanya difokuskan kepada enam hal untuk memastikan kesehatan fisik calon prajurit.
Hal tersebut, antara lain, untuk memastikan tak ada penyakit yang mengancam jiwa, tak ada kegagalan organ, dan tak ada penyakit yang berpotensi menular. Selain itu, akan dipastikan tidak ada penyakit yang membutuhkan pengobatan jangka panjang, tak ada kelainan ekstrem yang mengganggu aktivitas, dan tak ada penyakit kejiwaan.
Selain itu, Andika menjelaskan, pemeriksaan kesehatan bagi calon istri prajurit sebelum menikah juga ditiadakan. ”Tadinya ada pemeriksaan kesehatan. Dan, kali ini kita tidak melakukan pemeriksaan kesehatan karena itu tanggung jawab masing-masing bagi yang ingin menikah. Itu pilihan prajurit kita,” kata Andika.
Pemenuhan hak perempuan
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menilai, kebijakan baru ini bisa menjadi langkah maju pemenuhan hak perempuan jika benar-benar diterapkan. Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini berharap keputusan ini bisa disampaikan kepada publik luas. Sebab, sampai saat ini Komnas Perempuan belum mendapat salinan keputusan tersebut.
”Apabila salinan keputusan tersebut dapat dibaca lebih rinci oleh kami, pernyataan kami akan lebih lengkap dan meyakinkan karena dapat mengutip pernyataan hukum tersebut,” ujar Theresia ketika dihubungi.
Tujuannya, kata dia, agar kesungguhan itu bisa diukur publik dengan melihat berbagai aspek, termasuk praktik serupa lainnya, seperti pemeriksaan untuk ”sekadar” pencatatan. Ia berharap, sikap ini segera dituangkan ke dalam dokumen resmi yang juga bisa menjadi rujukan lintas-matra.
Menurut Theresia, tes yang sudah berjalan belasan tahun itu, selain tidak relevan dengan aspek kesehatan dan integritas calon prajurit maupun calon pasangan prajurit, tes ini diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini, lanjut Theresia, bersifat intrusif yang dapat menimbulkan rasa malu, takut, bahkan trauma bagi perempuan.
Tak ilmiah
Isu ini pernah menjadi perbincangan pada 2013-2014. Litbang Kompas mencatat, usul tes ”keperawanan” juga pernah mencuat sebagai salah satu komponen seleksi penerimaan siswi SMA, bahkan SMP pada tahun 2007, 2010, dan 2013.
Hal itu terjadi lantaran pemangku kebijakan mencampur aduk konstruksi sosial ke dalam kondisi fisik. Hal itu terlihat dari ”keperawanan” yang diturunkan menjadi kondisi ”selaput dara” atau himen.
Ada tidaknya himen dikaitkan dengan moralitas perempuan. Tidak ada himen dikaitkan dengan tidak perawan, tidak suci, dan itu dianggap akibat hubungan seksual (Kompas, 28/8/2013).
Dokter-dokter ahli ginekologi, ahli andrologi, dan seksologi dengan tegas menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap himen tidak dapat membuktikan seseorang sudah melakukan hubungan seksual atau belum.
Kondisi himen sendiri pada kenyataannya tidak selalu mulus. Ada sejumlah perempuan yang terlahir tanpa himena. Selain itu, perubahan pada himen dapat disebabkan oleh banyak hal, tidak semata aktivitas seksual.
Hubungan seksual pun tidak selalu ”merusak” himen. Hanya dokter yang benar-benar ahli yang dapat menilai ada tidaknya perubahan. Akan tetapi, dokter ahli tersebut tetap tidak dapat mengetahui penyebab perubahan itu. Dengan demikian, tes terhadap himen juga tidak mungkin dapat menghasilkan kesimpulan yang menyatakan berubah akibat hubungan seksual berdasarkan rasa suka sama suka.
Istilah diskriminatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), himen dijelaskan sebagai ”selaput dara”. Peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono menilai istilah ini menyesatkan.
Sebab, dalam KBBI, kata dara berarti keperawanan, anak perempuan yang belum kawin, gadis, dan perawan. Untuk itu, Andreas menyarankan istilah hymen sebaiknya ditulis himen dalam bahasa Indonesia, bukan selaput dara.
”Istilah selaput dara atau virginal membrane menyesatkan. Kata dara atau perawan bisa mudah dikonotasikan dengan darah yang keluar dari vagina perempuan bila berhubungan seks pertama kali. Ini juga ilusi,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan setiap penulisan istilah tes ”keperawanan” dan ”selaput dara” selalu diapit tanda petik. Menurut dia, hal ini substansial. Sebab, praktik memegang vagina serta memeriksa himen untuk mengukur keperawanan dinilai sebagai ilusi belaka, tidak ilmiah, dan merendahkan perempuan.