Perajin Tas Koper Kulit Tanggulangin Masih Tertatih Garap Pasar Daring
Pergeseran aktivitas masyarakat akibat pandemi Covid-19 mendorong digitalisasi pasar produk tas koper kulit di sentra industri Tanggulangin, Sidoarjo. Namun, baru sedikit perajin yang mampu menggarap pasar daring.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Pergeseran aktivitas masyarakat akibat pandemi Covid-19 mendorong terjadinya digitalisasi pasar pada produk tas dan koper kulit buatan sentra industri Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, secara lebih cepat. Namun, baru sedikit perajin yang mampu menggarap pasar dalam jaringan secara serius.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Sidoarjo Bidang Pengembangan Ekonomi Kreatif Makhbub Junaedi mengatakan, dari sekitar 500 pelaku usaha di bidang tas koper kulit Tanggulangin, baru 10 persen atau 50-an pelaku usaha yang merambah pasar daring.
”Pelaku usaha yang menggarap secara serius pasar daring jumlahnya lebih sedikit lagi. Hal itu karena masih banyak kendala yang dihadapi, antara lain perubahan pola pikir (mindset), keterbatasan sumber daya manusia, dan masih gagap terhadap teknologi informasi,” ujar Makhbub Junaedi, Kamis (12/8/2021).
Makhbub yang juga pemilik usaha produksi tas koper kulit merek Morfby ini mengatakan, pasar daring memerlukan penggarapan secara serius untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pelaku usaha dituntut menangani urusan di semua lini, mulai produksi, promosi, pemasaran, hingga distribusi produk.
Sebelumnya, dalam pemasaran luar jaringan, perajin hanya mengurusi lini produksi. Selanjutnya, mereka tinggal memamerkan produknya di gerai toko dan menunggu pembeli datang. Perajin tak perlu mengurus promosi atau pemasaran produk dan distribusinya.
Di era pasar digital, perajin berpeluang membuka lokapasar (marketplace) sendiri atau bergabung dengan yang sudah berkembang. Pilihan bergabung dengan lokapasar yang sudah berkembang memudahkan bagi perajin yang memiliki sumber daya manusia terbatas atau tidak memiliki tenaga pemasaran tersendiri.
”Meski demikian, masih banyak perajin yang kebingungan bergabung dengan marketplace yang sudah berkembang. Bahkan ada yang akhirnya hanya menyetor produknya tanpa melabeli merek sendiri, ke toko lain, yang penting bisa jualan,” kata Makhbub.
Kegagapan perajin kulit Tanggulangin menghadapi pasar digital juga diakui oleh Ketua Koperasi Industri Tas dan Koper (Intako) Sya’roni Arif. Menurutnya, masih sedikit perajin yang mampu bertransformasi dengan baik ke pasar daring. Perajin generasi tua masih berkutat dengan kesulitan mengoperasikan fitur-fitur dalam gawai.
Meski demikian, masih banyak perajin yang kebingungan bergabung dengan marketplace yang sudah berkembang.
Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sudah memberikan pelatihan tentang cara menggarap pasar daring. Bantuan peralatan penunjang, seperti laptop, juga diberikan, antara lain kepada Koperasi Intako. Laman atau situs web sudah dioperasikan dan produk juga sudah dipamerkan di ruang virtual.
”Namun, hasil transaksi pemasaran daring ini belum optimal. Nilai transaksinya tak sebesar pada penjualan melalui gerai toko pada masa sebelum penerapan kebijakan PPKM,” ucap Sya’roni.
Sya’roni mengakui dibutuhkan kepiawaian menguasai teknik pemasaran pada pasar digital. Hal ini memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang tidak bisa didapatkan secara cepat. Jumlah barang yang mencapai ratusan item juga menghadirkan tantangan tersendiri dalam pasar digital.
Salah satu perajin tas koper kulit asli dan kulit sintetis, Wiwin (40), mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih mengandalkan penjualan melalui gerai toko dan jejaring langganannya. Di masa pandemi Covid-19, terutama masa PPKM darurat atau level 4, penjualannya anjlok hingga 90 persen.
Upaya memasuki pasar digital dilakukan dengan mendaftar pada lokapasar yang sudah berkembang. Namun, karena gagap teknologi, dia gagal mendaftar meski sudah mencobanya berulang-ulang. Wiwin juga mengaku tidak tahu cara memotret produknya agar terlihat menarik.
”Saya juga tidak pandai merangkai kata-kata untuk mendiskripsikan produk. Selain itu, tidak memiliki rekening untuk transaksi digital,” ujar Wiwin.
Dalam kondisi normal, Wiwin mampu menjual 100 produk tas kulit asli dan lebih dari 500 produk tas kulit sintetis setiap bulannya. Harga tas kulit beragam, mulai Rp 200.000 hingga jutaan rupiah. Adapun tas berbahan sintetis mulai Rp 20.000 per produk. Dia mengandalkan gerai toko yang juga menjadi rumah produksinya.
Industri tas koper kulit Tanggulangin berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka dan berkembang pesat mulai era 1930-an. Sentra usaha tersebar di sejumlah desa, seperti Kludan, Kendensari, Kalitengah, Boro, dan Kalisampurno. Setiap usaha mampu menyerap 10 pekerja hingga ratusan pekerja.
Seiring waktu, produk yang diproduksi semakin beragam. Selain aneka tas wanita, juga tas pria, koper, sabuk, jaket kulit, dan sepatu. Nilai transaksi mencapai Rp 20 miliar per bulan dan sebagian perajin mulai merambah pasar ekspor, seperti Belanda, Perancis, dan Timor Leste.