Pensiunan wartawan ”Kompas” yang bertugas di Jambi, Nasrul Thahar, berpulang pada usia 74 tahun, Selasa (10/8/2021). Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai jurnalis dan pengendus yang tangguh.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Nasrul Thahar, jurnalis harian Kompas tahun 1990 hingga 2007, yang memiliki inisial NAT, berpulang, Selasa (10/8/2021) sekitar pukul 10.30 WIB. Kepulangannya dipenuhi ketenangan. Sang Gaek (kakek) mendapatkan tempat ternyamannya untuk berpulang.
Selasa pagi, Nasrul masih meminta anaknya mengambilkan teh tawar hangat, minuman favoritnya. Setelah minum, ia kembali rebahan di kasur. Tak lama, salah seorang cucu masuk ke kamar bermaksud untuk menyapa.
Dari kamar, sang cucu memanggil Ida Zurnalis, istri Nasrul. ”Nek, Gaek sudah tidur. Sepertinya tidak bergerak lagi,” kenang Ida, menjelang pemakaman suaminya.
Dua pekan lalu, Nasrul yang telah berusia 74 tahun sempat dilarikan ke Rumah Sakit Teresia Jambi setelah mengalami stroke ringan. Sepekan lamanya dirawat, Nasrul minta pulang. Katanya sudah tidak betah. Ia merasa tenang jika dirawat di rumah sendiri. Karena tidak mampu menahan, keluarga akhirnya memulangkannya.
Selama Nasrul tinggal di rumahnya di kawasan Arizona, Kota Jambi, seorang perawat rutin mengecek kondisi kesehatannya. Meski tampak lemah, Nasrul senang diajak mengobrol. Ia bahkan sempat memberi pesan kepada anak dan istri, seolah dapat merasakan pertanda alam.
Lewat salah seorang putranya bernama Hendi, Nasrul meminta keempat anaknya agar merawat ibu mereka. Sementara kepada sang istri, ia meminta maaf jika harus pergi mendahului.
Ucapan-ucapan itu membuat Ida trenyuh. ”Semasa hidupnya, Gaek orang yang sangat sabar. Tidak pernah marah dan selalu ingin melayani,” kenangnya.
Sebagai jurnalis di harian Kompas sejak 1990 hingga 2007, ia dikenal sebagai si pengendus. Fitriani Ulinda, rekan jurnalis di masa itu, mengenang sosok Nasrul pantang menyerah. Nasrul getol menelusuri satu persoalan secara mendalam hingga persoalan itu tuntas. Biasanya, persoalan yang terkait pada kepentingan rakyat kecil.
Salah satu isu, yakni penyelundupan, diliput secara mendalam oleh Nasrul sepanjang tahun 2003 hingga 2005. Ia getol memberitakan penyelundupan gula, tepung, dan beras. Nasrul pun turun langsung ke lokasi rawan kejahatan demi menginvestigasi dan membongkar praktik liar tersebut.
Satu ketika, Fitri diajaknya serta untuk meliput ke wilayah pesisir timur Jambi. ”Ayo kita mengendus jejak,” ucapnya menirukan ajakan Nasrul. Ajakan itu langsung bersambut.
Setibanya di Kuala Tungkal, mereka masuk ke salah satu kawasan dermaga tikus yang diduga sebagai lokasi bongkar muat barang-barang selundupan. Ketika dekat sebuah rawa, Nasrul lalu meminta Fitri menunggu dengan alasan mau buang air kecil.
Tidak menyangka, dia melintasi jalur itu demi mendapatkan foto aktivitas bongkar muat barang selundupan.
Setelah menunggu agak lama, baru Fitri mengetahui rekannya tengah memotret aktivitas bongkar muat dari sebuah rawa. ”Tidak menyangka dia melintasi jalur itu demi mendapatkan foto aktivitas bongkar muat barang selundupan,” kisahnya.
Hasil reportase Nasrul Tahar mengisi satu halaman penuh harian Kompas pada 4 April 2003. Dalam Rubrik Teropong di halaman 31, tulisan utama berjudul ”Sumatera Hidup dengan Gula Selundupan”, serta tulisan pendamping berjudul ”Impor Dilarang, Gula Selundupan Banjiri Pasaran”.
Laporan itu mengungkap masuknya gula selundupan lewat Sumatera membuat negara rugi Rp 28 miliar per bulan. Penyelundupan memanfaatkan dermaga-dermaga tikus di sepanjang jalur pesisir timur Sumatera.
Berbagi cerita
Pada para wartawan muda, sikap kebapakan Pak NAT, begitu biasa wartawan muda menyapa, acap kali muncul. Ia senang berbagi cerita dan memberi nasihat.
Emilius Caesar Alexy, wartawan harian Kompas berinisial ECA yang pernah bertugas di Palembang, Sumatera Selatan, sangat terkesan dengan Pak NAT saat bersama menempuh perjalanan menuju Bukit Tinggi, Sumatera Barat, pada 2005. Saat itu, bersama sejumlah wartawan Kompas lainnya, ECA dan Pak NAT mengikuti rapat dua biro di Sumatera. Biro di Sumatera waktu itu terbagi dua, yakni Sumbagut dan Sumbagsel.
Perjalanan dari Palembang-Kayu Aro-Kerinci-Solok-Padang-Bukit Tinggi, dalam satu mobil bersama para wartawan lain, dipenuhi petuah Pak NAT yang waktu itu telah mendekati masa pensiun. ”Ia suka mendorong kami yang waktu itu masih lajang untuk segera menikah,” kata ECA yang waktu itu belum menikah.
”Kalian jangan takut soal biaya hidup untuk menikah. Menikah itu ibaratnya cuma tambah kuah untuk makan saja,” kata ECA menirukan ucapan Pak NAT.
Sosoknya memberi inspirasi wartawan muda. Bagi ECA, Pak NAT adalah sosok yang disiplin, rajin, dan kuat di lapangan meskipun usianya tidak muda lagi. Pengetahuannya soal Jambi yang merupakan wilayah liputannya sangat luas dan dalam.
Kini, si pengendus jejak itu telah berpulang dengan penuh kedamaian. Selamat jalan Pak NAT....