Setumpuk Persoalan Sulteng di Hulu Pandemi
Dengan masih tingginya penularan Covid-19 di Sulteng, mendesak untuk diperbaiki penanganan dari hulu. Mulai dari edukasi warga, deteksi kasus, dan penguatan kapasitas puskesmas serta aparat pemerintah di level bawah.
Provinsi Sulawesi Tengah dalam beberapa hari terakhir bergumul dengan makin meningkatnya penularan Covid-19. Setelah hampir 1,5 tahun didera pandemi, banyak masalah di hulu belum kunjung beres. Tak mengherankan hal itu berdampak pada kewalahannya layanan perawatan pasien Covid-19. Mengingat penularan masih tinggi, pembenahan di sektor hulu harus segera dilakukan terlepas dari diperpanjang atau tidaknya pembatasan kegiatan masyarakat.
Penularan Covid-19 di Sulteng belum terkendalikan. Pada Jumat (7/8/2021), jumlah kasus harian mencapai 1.566 kasus. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi sejak kasus Covid-19 pertama dilaporkan di daerah itu pada akhir Maret 2020.
Kabupaten Poso, Kota Palu, Kabupaten Banggi, dan Donggala mencatat tambahan kasus harian tertinggi di antara kabupaten lainnya, masing-masing 472 kasus, 399 kasus, 174 kasus, dan 119 kasus. Kota Palu bersama Kabupaten Banggai dan Poso selama ini merupakan daerah penularan Covid-19 tertinggi di Sulteng.
Dengan terus bertambahnya kasus baru, jumlah kasus aktif menjadi 9.769 kasus per Minggu (8/8/2021). Angka itu naik drastis dari 1.600-an kasus pada pertengahan Juli 2021. Kenaikan kasus di Sulteng terjadi jelang akhir Juli 2021. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 persen menjalani isolasi mandiri di rumah dan fasilitas pemerintah.
Seiring dengan tambahan kasus secara eksponensial tersebut, jumlah orang yang meninggal karena Covid-19 juga terus meningkat. Per Minggu (8/8/2021), total orang yang meninggal sebanyak 840 jiwa atau 2,84 persen.
Kematian tertinggi dalam beberapa hari terakhir terjadi di Kabupaten Banggai dengan jumlah lebih dari lima kasus per hari. Pada tengah pekan lalu, pernah ada 13 kematian yang membuat kewalahan petugas pemulasaraan jenazah di RSUD Luwuk, Banggai.
Baca Juga: Kematian Pasien di Banggai Tinggi, Penanganan Sektor Hulu Lemah
Dengan tren kasus yang masih belum menurun, sistem kesehatan di Sulteng dalam fase darurat. Hampir semua rumah sakit penanganan Covid-19 telah menambah tempat tidur perawatan pasien, tetapi segera langsung penuh karena masuknya pasien baru.
Terus tingginya penularan di Sulteng di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 untuk Kota Palu dan Morowali Utara serta level 2 dan level 3 untuk daerah lain bermula dari lemahnya penanganan di sektor hulu. Senjata utama penanganan di hulu adalah penerapan protokol kesehatan ketat.
Pada PPKM level 4, pesta atau acara tidak boleh diadakan. Pada level 2 dan 3, pesta boleh diselenggarakan, tetapi tanpa makan di tempat dengan keterisian tempat acara 25 persen hingga 50 persen.
Namun, pesta-pesta yang memblokade jalan di berbagai tempat masih terus dilakukan. Pesta diselenggarakan tanpa protokol kesehatan, seperti jaga jarak, memakai masker yang benar, dan tamu memenuhi tenda.
Saya ragu ini alibinya tak dipantau. Ini jelas, kok, di jalan-jalan, blokir jalan. Ini harus diperhatikan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi,” ujar anggota Panitia Khusus Penanganan Covid-19 DPRD Sulteng Aminullah dalam rapat dengar pendapat dengan berbagai pihak pada Jumat (6/8/2021).
Selain masih diselenggarakannya pesta-pesta tanpa protokol pencegahan Covid-19, penerapan protokol kesehatan standar belum jadi bagian dari keseharian warga. Di jalanan di Palu, misalnya, masih terlihat cukup banyak pengendara sepeda motor yang tak memakai masker. Penjual atau pedagang warung di pinggir jalan pun banyak yang tak memakai masker.
Di provinsi lain, mengingatkan warga soal protokol kesehatan ini bergema di masjid dan gereja, dan dalam berbagai forum.
Di restoran atau kafe, banyak orang berkumpul untuk menikmati makanan atau minuman. Padahal, untuk PPKM Level 4, makan dan minum tak dilakukan di tempat, hanya boleh dibawa pulang (take away). Masalah ini sudah terjadi di Palu sejak lama.
Sejak kasus harian sedikit hingga meledak mulai akhir Juli, masalah protokol kesehatan (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, membatasi mobilitas) masih terus menjadi batu sandungan. Operasi yustisi digelar, tetapi hanya bersifat sporadis di tempat atau titik tertentu. Seharusnya pelibatan berbagai elemen masyarakat menjadi salah satu pilihan.
”Dengan kultur kita yang sangat menaruh kepercayaan pada tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat, edukasi penerapan protokol kesehatan melalui mereka seharusnya dilakukan sejak awal. Di provinsi lain, mengingatkan warga soal protokol kesehatan ini bergema di masjid dan gereja, dan dalam berbagai forum. Ini layak ditiru di Sulteng,” lanjut Aminullah.
Masalah lain di hulu adalah tak terkontrolnya warga yang melaksanakan isolasi mandiri (isoman). Akibatnya, mereka menyebar virus ke mana-mana. Di Poso, kluster penularan keluarga dalam beberapa waktu belakangan muncul dari anggota keluarga yang menjalani isolasi mandiri. Hal sama juga terjadi di Banggai, warga yang menjalani isoman masih mondar-mandir keluar rumah.
Penyebabnya bisa jadi karena mereka memang belum mendapatkan edukasi atau informasi terkait prosedur menjalankan isoman yang sesuai dengan protokol kesehatan. Hal itu pula yang menyebabkan meningkatnya kasus kematian di Sulteng sejak akhir Juli karena warga tak segera ke rumah sakit ketika gejala berat mulai melanda saat isoman.
Kasus-kasus kematian terjadi ketika pasien sudah kritis, seperti saturasi oksigen jauh di bawah standar (ambang batas normal 95 persen) dirujuk ke rumah sakit. Kebanyakan tak tertolong lagi.
Baca Juga: Pasien Antre, Pemerintah Diminta Perbanyak Fasilitas Perawatan di Sulteng
Di sisi lain, ada pula lemahnya koordinasi berbagai pihak, mulai dari aparat desa, kecamatan, hingga puskesmas dalam memantau dan memastikan warga isoman patuh pada prosedur serta mendapatkan layanan medis. Belakangan, warga yang menjalani isoman sedikit lebih diperhatikan oleh berbagai gerakan masyarakat sipil untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan obat-obatan. Dinas sosial setempat juga perlahan menyalurkan beras dan kebutuhan pokok lainnya.
Wakil Ketua DPRD Sulteng Muharram Nurdin sejak awal meminta pemerintah menyiapkan fasilitas isolasi terpusat agar bisa mengontrol warga yang menjalani isolasi. Dengan ditempatkan pada fasilitas yang bisa dipantau, risiko mereka menularkan Covdi-19 bisa dibatasi. Isolasi terpusat dilakukan, terutama di Palu dan Banggai, dua daerah dengan tingkat penularan sangat tinggi di Sulteng.
Di Palu, misalnya, banyak gedung pemerintah yang bisa dipakai untuk hal itu. Ada wisma Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) yang tempat tidurnya baru dipakai seperempat dari total 200 tempat tidur. Selain itu, ada wisma pertanian dan aula milik sejumlah dinas.
Banyak juga gedung pemerintah lainnya, seperti gelanggang olahraga, aula yang selama ini disewakan untuk sejumlah acara. Kalaupun itu tak cukup, pemerintah bisa menyewa penginapan atau hotel-hotel kecil.
Selain wisma BPSDM yang belum maksimal digunakan, Balai Pelatihan Tenaga Kesehatan juga dipakai untuk merawat pasien gejala ringan, tetapi kapasitasnya hanya 120 tempat tidur.
Terkait hal itu, Gubernur Sulteng Rusdy Mastura mendorong pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa menyiapkan fasilitas isolasi. Ia sepakat gedung-gedung pemerintah yang tak dipakai bisa dimanfaatkan untuk hal tersebut. Pemerintah juga mempertimbangkan untuk menyewa kapal Pelni sebagai fasilitas isolasi terpusat untuk Palu dan Banggai.
Kendala lain penanganan di hulu, masih belum banyaknya jangkauan untuk tes, sekalipun dengan tes cepat (rapid) antigen.
Sebaiknya hal itu segera diwujudkan mengingat penularan masih tetap tinggi. ”Isolasi mandiri ini memang repot. Banyak dari mereka tidak terpantau tenaga medis, lalu diam-diam, pas gejala berat, baru melapor, hingga berujung pada kematian,” tutur Nurdin (45).
Nurdin adalah salah satu pegiat di Roa Jaga Roa, komunitas yang dibentuk untuk membantu pemenuhan kebutuhan warga yang melakukan isoman di Palu dan sekitarnya. Roa adalah kata dalam bahasa Kaili, suku yang mendiami Lembah Palu, berarti teman/kawan.
Kendala lain penanganan di hulu, masih belum banyaknya jangkauan untuk tes, sekalipun dengan tes cepat (rapid) antigen. Stok alat tes di kabupaten sedikit. Di Banggai, misalnya, dari kewajiban sekitar 800 tes per hari, yang bisa dilakukan hanya 500 tes. Hal itu juga diperumit dengan masih adanya warga yang menolak dites meski diduga kontak erat dengan orang yang terinfeksi Covid-19.
Kedua hal itu mengakibatkan tak terjangkaunya semua kontak erat untuk menemukan dan melokalisasi kasus penularan. Akibatnya, penularan seolah terjadi tanpa putus.
Kewalahan di hilir
Semua masalah penanganan di hulu tersebut berdampak pada hilir, yakni perawatan pasien. Saat ini, rumah sakit terus menambah tempat tidur untuk perawatan pasien Covid-19. Meski demikian, tingkat keterisian masih sangat tinggi.
Pada akhir Juli, rumah sakit sampai mendirikan tenda darurat untuk merawat pasien karena tempat tidur belum tersedia. Dengan makin tingginya penularan, tempat tidur tambahan tersebut diperkirakan dengan segera terisi penuh juga.
Hal itu diperumit dengan terbatasnya produksi oksigen medis di Sulteng. Produksi oksigen tak bisa memenuhi permintaan cepat rumah sakit. Satu rumah sakit, misalnya, memesan 150 tabung, tetapi dilayani secara bertahap oleh perusahaan karena banyaknya tabung yang perlu diisi. Sejak Juli, permintaan tabung oksigen medis memang meningkat.
Kepala Dinas Kesehatan Sulteng I Komang Adi Sujendra menyatakan, untuk mengatasi terbatasnya pasokan oksigen, ada rencana pengadaan oksigen beserta fasilitas produksinya. Pihaknya juga telah menyurati Kementerian Kesehatan untuk membantu pemenuhan oksigen di rumah sakit. Pemenuhan kebutuhan sementara dari sumbangan perusahaan pengelola kawasan industri di Kabupaten Morowali.
Ancaman lain penanganan kesehatan di hilir adalah banyaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi Covid-19.
Meskipun tak ada data yang detail terkait pasien meninggal karena masalah ketersediaan oksigen di rumah sakit, hal itu telah berujung maut di RSUD Anuntalako, Parigi Moutong, seperti dikatakan Direktur Utama Revy Tilaar. Pasien Covid-19 meninggal karena tabung oksigen lambat tiba. Rumah sakit tersebut disuplai tabung oksigen dari Palu.
Pasien isoman juga kesulitan mendapatkan oksigen yang biasanya tersedia dalam tabung mini di apotek atau distributor alat kesehatan. Banyak juga warga isoman yang meninggal di rumah karena masalah saturasi oksigen.
Ancaman lain penanganan kesehatan di hilir adalah banyaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi Covid-19. Berdasarkan data yang dihimpun, tak kurang dari 400 tenaga kesehatan yang tersebar di rumah sakit dan puskesmas se-Sulteng positif Covid-19.
Di RSUD Undata, misalnya, ada 90 tenaga kesehatan yang bekerja di ruang isolasi terpapar. Rumah sakit telah merekrut sukarelawan untuk mengantisipasi hal itu, tetapi ancaman masih tetap membayang di depan mata karena masih tingginya penularan.
Bagi Nurdin, terlepas dari diperpanjang atau tidaknya PPKM di berbagai level, kewalahannya sistem layanan kesehatan di Sulteng mengindikasikan tak adanya mitigasi menghadapi lonjakan Covid-19. Padahal, situasi darurat kesehatan ini bisa diantisipasi dari awal di hulu dengan berbagai persiapan memadai, mulai dari edukasi masyarakat, fasilitas kesehatan, dan pendukungnya.
”Ini harus segera dibenahi karena kasus penularan di Sulteng masih tinggi. Sulteng memasuki masa darurat kesehatan,” ujarnya.
Kerja keras semua pihak untuk mengendalikan pandemi di hulu sangat mendesak untuk digalakkan. Jika tidak, sektor hilir (perawatan pasien) akan ”kelimpahan” kasus yang bisa mengarah pada kolapsnya layanan kesehatan. Tentu hal itu tak bisa dibiarkan terjadi.
Baca juga: Urunan untuk Kesembuhan Warga Palu yang Isolasi Mandiri