Dari halaman rumah seluas 0,6 hektar, Ambo Intang (38) meracik pendapatan baru dengan sayuran hidroponik. Teknik berkebun ini menjadi ladang penghasilan yang menjanjikan, bahkan di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Jika sebelumnya Ambo Intang (38) rutin menghadiri berbagai sidang atau bertemu klien, lebih setahun terakhir ia fokus ”bekerja” di rumah. Dari teras, ia memantau jejeran selada dan pakcoy yang menghijau di atas rak. Lewat hidroponik, ia meracik penghasilan baru di halaman rumahnya.
Menggendong Rara, putri bungsunya yang belum genap setahun, Ambo mengitari halaman rumahnya di Kecamatan Baruga, Kendari, Sulawesi Tenggara. Matahari yang mulai tinggi tertutup awan yang terus bergerombol, Selasa (3/8/2021). Rumah-rumah tetangganya tampak sepi di hari kerja seperti saat ini.
Ayah empat anak ini mengecek lebih dari 20 jejeran rak berisi tanaman di halaman seluas 0,6 hektar. Setiap rak memiliki panjang 8 meter dan lebar 1,2 meter. Di atas rak, memanjang pipa persegi dengan 290 lubang, yang diatapi dengan plastik bening.
”Cuma cek airnya jalan atau tanamannya sehat dan tidak ada penyakit. Kalau airnya tidak jalan, kita perbaiki. Atau kalau ada yang berpenyakit, kita ambil. Sebentar kalau hujan kita hentikan dulu airnya,” kata Ambo sembari merapikan tanaman.
Jejeran selada dan segelintir pakcoy memenuhi rak mengisi setiap lubang. Hijau dan hijau menenteramkan mata dan pikiran. Tanaman hidroponik ini tumbuh subur setinggi lebih dari satu jengkal. Batangnya gemuk dan daunnya lebar.
Ia berkeliling memantau setiap rak. Di rak yang dipenuhi selada berumur lebih dari tiga minggu, ia berhenti. Jemarinya lincah menarik selada dari lubang, mendiamkan sebentar agar airnya habis, lalu menggulung akar yang sepanjang 15 sentimeter. Selada lalu dijejerkan di rak kosong terdekat.
Setelah dirasa cukup, ia masuk ke rumah. Tak lebih dua menit, ia keluar dengan berlembar-lembar plastik bening juga kantong keresek. Di plastik bening itu telah tertempel stiker bertuliskan Tunas Baru Hidroponik Kendari.
”Ini nama yang saya bikin untuk hidroponik ini. Tunas baru berarti selalu bertumbuh dan berkembang. Bisa dicek Instagram-nya,” katanya berpromosi. Semuanya ia kerjakan sendiri. Di lahannya ini, ia adalah pemilik, pekerja, hingga pengawas. Kegiatan itu tentu juga mendapat dukungan dari istrinya, Maryam.
Satu per satu selada ditimbang lalu dimasukkan ke dalam kemasan. Satu kemasan berisi empat buah selada dijual seharga Rp 10.000. Harga yang sama dikenakan untuk satu kemasan pakcoy.
Saya sudah satu tahun lebih tidak pernah keluar bekerja lagi.
Belasan plastik berisi sayuran segar telah tuntas dikemas. Ambo kembali masuk ke dalam rumah dan keluar dengan gelas kopi. ”Begini saja keseharian. Pagi cek tanaman, mengasuh empat putri. Saya sudah satu tahun lebih tidak pernah keluar bekerja lagi,” katanya.
Belum selesai berbicara, telepon pintarnya berdering. Seorang langganannya menanyakan stok seledri. Melirik rak, ia mengiyakan dan kembali menyesap kopi.
Selang beberapa menit, seorang pria datang dengan sepeda motor. Ia memarkir kendaraan dan juga menanyakan seledri. Wahyudi (32), pria itu, adalah pedagang makanan kekinian. Ia membuat donat manis dan donat sosis yang dijual secara daring.
”Dua hari lalu saya antar pesanan ke rumah sebelah. Saya lihat di sini ada sayuran, lalu singgah beli. Ini kedua kalinya saya beli di sini,” ceritanya.
Selain harga yang bersaing, selada yang dijual Ambo juga lebih segar. Beberapa lama ia membeli dari pasar atau tempat lainnya, tetapi sering berulat atau berjamur.
Setiap hari, berbagai rupa pelanggan, baik itu pedagang, hotel, hingga perusahaan, rutin datang atau menelepon. Minimal 100 kemasan bisa dijual Ambo dalam sehari.
Penjualannya juga moncer, bahkan bisa dibilang tidak terpengaruh pandemi Covid-19. Dalam masa sulit bagi sebagian orang ini, pendapatannya justru cenderung meningkat. Jika tahun lalu penjualan hariannya di kisaran Rp 1 juta per hari, saat ini bisa mencapai Rp 2 juta.
”Kalau sayuran, kan, setiap hari orang butuh. Selain itu, sekarang banyak yang buka usaha makanan rumahan sehingga permintaan meningkat,” katanya.
Bersemi di kota
Ambo adalah sarjana hukum dari sebuah universitas swasta di Kendari. Setelah lulus, ia melanjutkan ke kelas profesi pengacara dan rutin beracara. Lebih dari sepuluh tahun ia bolak-balik ruang sidang, bertemu klien, atau kantor penegak hukum.
Hingga pada 2017, lewat video di Youtube, ia tertarik dengan teknik berkebun hidroponik. Ia lalu mencoba dengan satu buah rak dengan 670 lubang. Dalam tiga bulan, jumlahnya telah bertambah dua kali lipat. Meski awalnya bingung dalam penjualan, ia memanfaatkan gawai dan berjualan lewat laman Facebook.
Sejak saat itu jualannya mulai dikenal dan laris. Ia terus mengembangkan pengetahuan, menambah rak baru, serta konsisten menanam selada dan pakcoy dengan teknik hidroponik. ”Sebenarnya tidak sulit. Kuncinya itu di air, nutrisi, dan cahaya matahari,” katanya.
Alih-alih tanah, teknik ini menggunakan air sebagai medium utama tanaman. Media tanamnya bisa memakai serabut kelapa, pasir, atau gabus seperti yang digunakan Ambo. Hidroponik berkembang pesat seiring mulai giatnya minat menanam di perkotaan.
Pertanian kota atau berkebun di perkotaan tentu bukan sesuatu yang baru. Selain menjadi tren di sejumlah kota besar di dunia, tren ini berkembang di Indonesia sejak awal 2000-an dan terus mendapat tempat di masyarakat.
Pertanian urban, seperti dikutip dari laman Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, bisa memberi kontribusi keamanan pangan di kala krisis atau kelangkaan pangan. Selain itu, dia juga punya manfaat ekologis bagi kota.
RUAF Foundation (Resource Centres on Urban Agriculture and Food Security) menyebutkan, pesatnya urbanisasi di kota-kota di dunia menyumbangkan pula peningkatan pesat laju kemiskinan kota dan ancaman keamanan pangan. Potensi ekonomi dari pertanian urban, yang mampu menyerap tenaga kerja, seharusnya bisa menjadi strategi komplementer dalam mereduksi kemiskinan kota (Kompas, 28 April 2019).
Bagi Ambo, berkebun di halaman tidak hanya memenuhi kebutuhan sayuran setiap hari. Ia telah bisa menambah pendapatan dan memenuhi kebutuhan keluarga. Pada 2019, berbekal sebagian besar tabungan hasil menjual sayuran, ia membeli lahan di sebelah rumahnya yang saat ini telah penuh rak tanaman.
”Saya yakin semua orang bisa karena hidroponik merupakan cara bercocok tanam yang modern, menggunakan lahan tidak luas, perawatan sangat mudah, dan hasil yang lebih bagus. Kuncinya memulai menanam,” ujarnya.