Bendera Putih, Lambaian Pengetuk Hati dari ”Wong Cilik”
Fenomena kibaran bendera putih marak di Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, belakangan ini. Hal itu dilakukan sebagai upaya rakyat kecil mengetuk pintu hati pemangku kepentingan supaya mereka diperhatikan.
Bendera putih belakangan marak melambai di Kota dan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Pengibarnya rakyat kecil sebagai tanda menyerah digempur pandemi. Mereka mengetuk hati pemerintah demi sebuah solusi pasti.
Aktivitas Jalan Ahmad Yani, ruas protokol di Kota Tegal yang sebulan terakhir sepi, Selasa (27/7/2021), mendadak ramai. Para pedagang yang sudah 30 hari menutup lapaknya berkumpul melingkar. Mereka tetap bermasker dan menjaga jarak. Di tengah lingkaran, Slamet Riyadi berdiri sambil berkata-kata.
”Semangat!” pekik Slamet, yang juga Ketua Paguyuban Lesehan dan Pedagang Kaki Lima Jalan Ahmad Yani, sambil mengangkat dua bendera putih yang sejak tadi dipegangnya. Seruan dan acungan bendera itu diikuti belasan orang yang mengitari.
Baca juga: Terpuruk akibat Aturan Pembatasan, PKL Kota Tegal Kibarkan Bendera Putih
Mereka lalu berpencar ke tiang-tiang dan pohon-pohon di pinggir jalan kemudian memasang bendera putih dengan tulisan seperti ”Durung bisa dagang efek PPKM (Belum bisa berdagang efek PPKM)”, ”Kami butuh solusi”, ”Kami butuh makan”, dan ”Para pedagang kecil mumet (pusing)”.
”Bendera putih ini tanda para PKL (pedagang kaki lima) sudah menyerah dengan keadaan. Kami berharap, aksi ini mengetuk hati Pemerintah Kota Tegal supaya segera ada solusi untuk kami,” tutur Slamet atau akrab disapa Yadi.
Selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat dan level 4, semua PKL di Jalan Ahmad Yani yang berjumlah sekitar 60 orang memilih tidak berjualan. Alasannya, jam operasional dibatasi hingga pukul 20.00. Padahal, mereka membuka usaha pukul 17.30. PKL juga tidak boleh melayani makan di tempat.
”Selain itu, Jalan Ahmad Yani yang menjadi tempat jualan ditutup dengan pembatas dan lampu penerangan dimatikan. Ini jelas menyulitkan. Sudah jalannya ditutup, gelap pula, siapa yang mau beli?” keluh Yadi.
Pada hari pertama dan kedua PPKM darurat pada 3-4 Juli 2021, para PKL tetap berjualan sesuai aturan. Kala itu, pendapatan mereka anjlok dari rata-rata Rp 600.000 per sehari menjadi Rp 100.000 per hari. Uang itu dinilai tak cukup untuk modal bahan berjualan esok harinya.
Bendera putih ini tanda para PKL sudah menyerah dengan keadaan. Kami berharap, aksi ini mengetuk hati Pemerintah Kota Tegal supaya segera ada solusi untuk kami. (Slamet Riyadi)
Sejumlah PKL sudah mencoba menjual produk mereka secara daring, tetapi tak juga menggugah minat pembeli. ”Saya jualan makanan laut yang enaknya disajikan panas. Kalau dibungkus nanti sampai rumah dingin, pembeli tidak suka,” keluh Teokrasi (48), yang sudah 14 tahun berjualan di Jalan Ahmad Yani.
Teokrasi juga mengeluhkan anjloknya omzet selama PPKM. Sebelumnya, dia bisa mendapatkan Rp 3 juta per hari dari hasil berjualan dari pukul 19.00-03.00. Kini, pendapatannya paling banyak Rp 300.000 dari berjualan pukul 17.30-20.00.
Isyarat menyerah juga tampak di sekitar tempat wisata pemandian air panas Guci, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. Pedagang, pemilik penginapan, tukang parkir, juga turut mengibarkan bendera putih di depan rumah atau tempat usaha.
Pemasangan bendera pertama dilakukan sekitar pekan lalu. Awalnya, oleh satu orang. Seiring waktu, makin banyak yang memasang. Hingga Jumat (30/7/2021), lebih dari 100 bendera putih terpasang di hampir setiap rumah. ”Sekitar 90 persen warga di sekitar Guci mengandalkan pemasukan dari wisata. Kalau tidak beroperasi, kami semua menganggur,” ucap Ketua Paguyuban Homestay Guci Sopan Sofiyanto.
Tempat pemandian air panas Guci tutup sejak awal Juni. Kala itu, pemerintah setempat menutup tempat wisata karena wilayahnya masuk zona merah atau daerah berisiko penularan tinggi. Sebelum itu, tempat wisata terbesar di pantura barat Jateng itu sudah berulang kali ditutup selama pandemi.
Kondisi ini turut mengganggu pendidikan Laelatul Inayah (20). Mahasiswa semester III di Universitas Negeri Semarang itu cuti kuliah karena ibunya, Rohati (38), tak sanggup lagi membayar uang kuliah.
Sehari-hari, Rohati berjualan makanan di sebuah warung di kawasan Guci dengan pendapatan Rp 300.000 per hari. Uang itu langsung habis menyukupi kebutuhan keluarga, membayar biaya pendidikan anak, cicilan kredit, dan tagihan listrik. Namun, sejak PPKM darurat, omzetnya paling banter Rp 100.000 per hari.
”Uang itu tak cukup memenuhi kebutuhan dan bayar cicilan utang. Saya terpaksa jual dua sepeda motor. Satu (sepeda motor) saya jual pertengahan 2020 dan satunya pertengahan Juni,” ucap Rohati dengan suara bergetar.
Berharap bantuan
Kendati terdampak pembatasan kegiatan, Yadi, Teokrasi, Sopan, dan Rohati mengaku belum mendapatkan bantuan pemerintah. Untuk bertahan, mereka mengandalkan tabungan atau utang. ”Sejak pembatasan sosial berskala besar, saya belum pernah mendapat bantuan. Padahal, sejak tahun lalu sudah ada pendataan. Katanya mau dikasih bantuan, tapi tidak ada,” ujar Teokrasi.
Sopan juga mengaku, para pelaku wisata sudah didata untuk diusulkan mendapat bantuan, tetapi hingga kini tak kunjung nyata. ”Pemerintah semoga bergerak lebih cepat. Kalau terus begini, kasus kriminalitas bisa meningkat. Sudah banyak warga putus asa, bingung mau cari uang bagaimana,” katanya.
Kepala Pengelolaan Obyek Wisata Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Tegal Ahmad Abdul Hasib menuturkan, pihaknya sudah mengusulkan para pelaku usaha sektor pariwisata mendapat bantuan. Ada sekitar 1.000 nama pelaku wisata yang bukan penerima program bantuan lain diusulkan dibantu.
”Dari usulan itu nanti diverifikasi dinas sosial. Kalau layak, mereka akan dapat bantuan beras 20 kilogram,” ucap Hasib yang mengaku sudah tahu soal pemasangan bendera putih di sekitar pemandian air panas Guci.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Daerah Kota Tegal Johardi menganggap pemasangan bendera putih di sepanjang Jalan Ahmad Yani Kota Tegal sebagai upaya PKL menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah. Hal itu wajar sebagai bentuk kebebasan berpendapat. ”Tanpa aksi seperti itu, kami terbuka berdialog. Jika para PKL ingin menyampaikan aspirasi, sampaikan maksud dan tujuannya, nanti kami fasilitasi,” kata Johardi.
Adapun Bupati Tegal Umi Azizah menduga, pelaku wisata di Guci ingin ada pelonggaran aktivitas di tempat wisata. ”Kami melalui dinas pemuda olahraga dan pariwisata sudah berupaya memberikan bantuan sosial. Kami juga membantu memasarkan buah-buahan dan sayuran yang dijual pedagang,” ucapnya.
Dalam konteks perang, bendera putih dikibarkan satu pihak sebagai tanda menyerah. Adapun pengibaran oleh pelaku usaha di Tegal jadi pesan tersirat bahwa mereka sudah tidak sanggup menahan serangan pandemi dan dampaknya. (Fulia Aji Gustaman)
Sosiolog Universitas Negeri Semarang, Fulia Aji Gustaman, memaknai fenomena pengibaran bendera putih itu sebagai ekspresi kegelisahan warga atas realitas terkini. Dalam teori interaksionisme simbolik, simbol-simbol tertentu dipakai untuk mengekspresikan kekhawatiran secara tersirat.
”Dalam konteks perang, bendera putih dikibarkan satu pihak sebagai tanda menyerah. Adapun pengibaran oleh pelaku usaha di Tegal jadi pesan tersirat bahwa mereka sudah tidak sanggup menahan serangan pandemi dan dampaknya,” jelas Aji. Pesan tersirat juga dipilih karena akses komunikasi ke pemangku kebijakan macet. Hal ini yang mesti diperbaiki.
Sebab, perang melawan pandemi Covid-19 masih belum usai sehingga bendera putih seyogianya tak perlu dikibarkan. Kepedulian semua pihak dan respons cepat pemerintah mutlak diwujudkan agar semua bisa bertahan dan akhirnya menang.
Baca juga: Menyerah dengan Aturan PPKM, PKL Tegal Pasang Bendera Putih