Semua Kapal Perintis Berhenti Beroperasi di Maluku, Warga Minta Solusi
Kementerian Perhubungan menghentikan operasional semua kapal perintis di Maluku. Masyarakat kepulauan yang bergantung pada pelayaran perintis meminta solusi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Semua kapal perintis berhenti beroperasi di Maluku dengan alasan menekan laju penularan Covid-19 serta efisiensi anggaran negara. Warga di pulau-pulau kecil yang bergantung pada operasional kapal itu meminta dicarikan solusi.
Manajer Operasi PT Pelni Cabang Ambon Muhammad Assagaf lewat sambungan telepon pada Selasa (3/8/2021) mengatakan, di pelabuhan pangkalan Ambon terdapat lima kapal perintis yang selama ini melayani semua wilayah di Maluku.
Sebagai operator pelayaran perintis, pihaknya hanya mengikuti perintah dari regulator, yakni Kementerian Perhubungan. ”Ini sesuai arahan dari Dirjen (Direktur Jenderal) Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Kami hanya melaksanakannya,” ucapnya.
Sesuai surat perintah yang ditandatangani Dirjen Perhubungan Laut Agus Purnomo pada 14 Juli lalu, penghentian operasional kapal perintis itu atas sejumlah pertimbangan. Di antaranya adalah terkait pembatasan kegiatan masyarakat akibat penyebaran Covid-19 dan efisiensi trayek dalam rangka optimalisasi anggaran.
Dalam surat itu, disebutkan pula bahwa pemberhentian operasional keperintisan itu hingga batas waktu yang belum ditentukan. Jika ada hal darurat dan mendesak, kepala pelabuhan pangkalan dapat mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan untuk mendapat izin operasional.
Menurut Assagaf, saat ini ada harapan dari masyarakat yang menginginkan kapal perintis kembali beroperasi. Selaku operator, pihaknya siap menggerakkan kapal jika sudah ada perintah dari Kementerian Perhubungan. Ia menyarankan agar pemerintah daerah berkoodinasi dengan pihak kementerian.
Stevin Melay, tokoh masyarakat Teon Nila Serua, menuturkan, saat ini dibutuhkan kapal perintis untuk memobilisasi tenaga kerja ke tiga pulau di Kabupaten Maluku Tengah itu, yakni Teon, Nila, dan Serua. Biasanya, menjelang musim panen cengkeh, petani di tiga pulau itu memerlukan ratusan orang sebagai buruh panen.
Tiga pulau itu berada di tengah Laut Banda yang pada 1978 dikosongkan lantaran bencana letusan gunung berapi di dasar laut. Setelah warganya pindah ke Pulau Seram, pulau itu dijadikan lahan pengembangan komoditas cengkeh. Dalam setahun, lebih dari 5.000 ton cengkeh dihasilkan dari sana.
Menurut Stevin, musim panen sudah dimulai dan petani yang berada di pulau menjerit. Mereka tak punya daya untuk mendatangkan tenaga kerja. ”Jadi, cengkeh itu kalau pas musim panen, harus segera dipanen. Kalau tidak, akan gugur dan tidak menghasilkan apa-apa. Uang sudah di depan mata dan hilang begitu saja,” ucapnya.
Dalam waktu dekat, lanjutnya, Latupati (dewan adat) Teon Nila Serua akan mengirim surat kepada Kementerian Perhubungan agar mengizinkan kapal beroperasi ke sana. ”Biar cukup dua kali saja tidak apa-apa, antar kemudian nanti jemput. Tolong, di sana itu lumbung kami,” ujarnya.
Sejumlah warga Maluku yang lain juga mengaku kecewa dengan terhentinya operasional kapal perintis. Adolf Adrianz (34), warga Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, mengatakan, di tengah kondisi ekonomi yang memburuk, transportasi menjadi urat nadi untuk menjaga ekonomi jangan sampai mati.
”Kapal tidak jalan berarti barang-barang tidak bisa berputar. Kami dari Kisar mau jual ternak, madu, kacang, dan lemon ke Ambon, tetapi tidak bisa. Kalau dengan pertimbangan Covid-19, seharusnya prokol kesehatan yang ditegakkan, bukan operasional transportasi yang dihentikan,” katanya.
Ketua Komisi III DPRD Provinsi Maluku yang membidangi urusan transportasi Anos Yeremias berjanji memfasilitasi harapan masyarakat Teon Nila Serua. ”Secepatnya kami akan koordinasi. Kemarin kami sudah membantu pengusulan dari beberapa daerah,” ujarnya.