Limbah Serabut Kelapa, Harapan Bangkit dari Dampak Pagebluk
Serabut kelapa bagi sebagian orang dianggap sebagai limbah, tetapi bagi sejumlah perajin justru menjadi sumber rezeki. Aneka produk, seperti pot, sandal, dan alas gelas dihasilkan darinya.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Di mana ada kemauan, di sana ada jalan. Hal itu secara nyata dilakukan Afriyanto Tri Laksono (38), warga Purwokerto, Jawa Tengah. Akibat pandemi, ia mesti banting setir dari usaha kulinernya dan menekuni kerajinan limbah serabut kelapa. Limbah yang biasanya dibakar dan dibuang justru menjadi berkah.
”Dulu saya usaha cireng Bandung. Karena pandemi, sekolah libur. Akhirnya saya tidak produksi karena jajanan ini dijual oleh para pedagang keliling di sekolah-sekolah,” kata Afriyanto atau akrab disapa Yayan saat ditemui di rumahnya di Jalan HS Sukarya, Karangpucung, Purwokerto Selatan, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (31/7/2021).
Karena berhenti produksi cireng, Yayan putar otak untuk dapat bertahan hidup. Semula dia merintis channel Youtube berisi sejumlah tutorial. Salah satunya pembuatan sapu dari serabut kelapa yang dibuat dari merekam aktivitas rekannya seorang pengusaha sapu. Namun, dari sana, Yayan tertarik memanfaatkan limbah serabut kelapa yang jadi bahan baku pembuatan sapu serabut kelapa.
”Setiap hari limbah itu dibakar dan dibuang. Saya cari tahu apa saja manfaatnya dari Youtube, di antaranya bisa dibuat pot tanaman. Dari situ saya kembangkan untuk jadi produk turunan serabut kelapa, seperti turus atau tiang rambatan, tatakan gelas, sarang burung, dan sandal hotel,” tuturnya.
Dengan penjualan secara daring lewat media sosial Instagram dan luring di sejumlah toko tanaman hias serta gerabah di Purwokerto, Yayan juga menjual produk limbah serabut kelapa hingga ke luar kota, seperti Tegal, Cilacap, dan ke luar Jawa, seperti Pekanbaru dan Lampung.
”Harga pot paling kecil dengan kawat strimin diameter 15 sentimeter untuk reseller Rp 9.000, pot tanpa kawat Rp 5.000, dan yang paling besar Rp 65.000,” katanya.
Dalam sehari, Yayan bisa memproduksi 35 pot dan 50-70 tiang rambatan. Untuk itu setidaknya dibutuhkan 50 kilogram limbah serabut kelapa yang didatangkan dari Cilongok, Banyumas, sebagai salah satu sentra penghasil gula kelapa. ”Harga limbah serabut kelapa itu Rp 15.000,” ucapnya.
Dari usahanya mengolah limbah itu, omzet yang didapat Yayan per bulan sekitar Rp 10 juta. ”Alhamdulilah, pemasukan dari serabut kelapa ini bisa untuk menghidupi keluarga. Satu istri dan tiga anak,” ujar Yayan.
Untuk pembuatannya, saat kebanjiran pesanan, Yayan biasa dibantu oleh tetangga sekitar yang jumlahnya mencapai tujuh orang. Setiap orang bisa mendapatkan upah Rp 1.000 dari setiap produk yang dibuat.
”Sebulan bisa sampai Rp 1 juta. Lumayan bisa buat sekolah dan jajan,” kata Uji Laksono (20), salah satu karyawan Yayan.
Uji yang baru saja lulus dari SMK Nasional Purwokerto jurusan nautika biasa bekerja mulai pukul 13.00 hingga 19.00. Dia bertugas memasukkan serabut kelapa ke dalam kerangka kawat strimin yang sudah dibuat Yayan.
”Saya sudah setahun ikut kerja di sini. Kadang kesulitannya, kalau kawat terlalu lentur bisa jebol saat diisi serabut kelapa atau kadang kalau serabutnya terlalu kering jadi agak susah untuk dimasukkan,” papar Uji yang bercita-cita menjadi pelaut.
Bagi Uji, selain mendapatkan pemasukan, ikut berkarya membuat kerjinan serabut kelapa juga membuatnya belajar mandiri. Apalagi pandemi Covid-19 ini membuat si bungsu dari empat bersaudara ini meringankan beban orangtuanya.
Pemanfaatan sabut kelapa untuk kerajinan di Banyumas juga dilakukan oleh sekitar 80 keluarga di Desa Sibalung, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sejak 10 tahun terakhir, desa ini dikenal sebagai desa perajin sapu berbahan serabut kelapa.
Akibat pandemi pula, mereka berinovasi memanfaatkan limbah serabut kelapa untuk dibuat pot karena gandrung tanaman hias sempat menjadi tren akibat Covid-19 yang memaksa orang tinggal di rumah.
”Dulu sisa sabut kelapa dari pembuatan sapu hanya dibakar, sekarang dibuat pot dan harganya Rp 10.000 per buah,” kata Ketua Kelompok Pengrajin Sabut Kelapa Berkat Usaha Desa Sibalung Jawahir dalam wawancara pada Kamis (26/11/2020).
Menurut Jawahir, di desanya, per hari rata-rata membutuhkan sekitar 5.000 sabut kelapa untuk memproduksi sapu. Satu buah sabut kelapa dibeli dari desa sekitar dengan harga Rp 300. Dalam sehari, kelompok ini bisa memproduksi hingga 100 kodi sapu atau 2.000 buah sapu. Sapu dijual dengan harga Rp 3.500 kepada pengepul dan didistribusikan ke Yogyakarta, Banjarnegara, Bumiayu, hingga Pulau Sumatera.
Sebelum diolah menjadi sapu, sabut kelapa direndam di air selama tujuh hari supaya bersih dan warnanya bisa lebih cerah. Kemudian sabut kelapa dijemur paling lama 2 jam jika terik matahari cukup panas. Kemudian, sabut kelapa digabungkan ke gagang atau pegangan sapu dengan dijahit. Selanjutnya, sapu disemprot cairan supaya warnanya lebih mengkilat.
Menurut Ketua Umum Himpunan Perajin Sabut Kelapa Banyumas Cocos Trisada (52), ada ratusan perajin sabut kelapa di Banyumas. Mereka antara lain tersebar di Desa Karangpucung, Tambaknegara, Sumpiuh, Margasana, Tambak, Kebasen, dan Sirau. Pandemi memang sempat membuat ekspor produk kerajinan tangan terhambat, tapi para perajin dituntut kreatif dan dinovatif melihat pasar dalam negeri seperti tren kesukaan pada tanaman hias (Kompas, 12 Januari 2021).
Selain sabut kelapa, menurut Cocos, potensi sumber daya alam lain di Banyumas yang dapat dikembangkan adalah bambu yang bisa dibuat menjadi sedotan serta enceng gondok yang bisa dibuat menjadi sandal.
Bahan-bahan dari alam itu dikenal lebih ramah lingkungan. Meskipun dianggap limbah oleh sebagian orang, di tangan para perajin seperti Yayan, Jawahir, dan Cocos justru menjadi sumber inspirasi dan rezeki sekaligus pengharapan untuk bangkit di kala pandemi.