Bangun Solidaritas Kolektif bagi Penyandang Disabilitas
Masa pandemi membawa tantangan lebih berat bagi kaum disabilitas. Para penyandang disabilitas dapat hidup mandiri dan produktif. Namun, untuk mencapainya butuh pendampingan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Masa pandemi diharapkan menjadi momentum bagi bertumbuhnya solidaritas dan kemanusiaan bagi kelompok disabilitas. Solidaritas bagi kalangan disabilitas harus terus dibangun sebagai gerakan masif dan kolektif.
Ketua Pusat Kajian Disabilitas Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Syahran Jailani mengatakan, gerakan masif dan kolektif perlu dibangun di masyarakat. ”Sampai ada perubahan cara berpikirdi masyarakat akan kelompok disabilitas. Ini merupakan bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi,” katanya, Kamis (29/7/2021).
Untuk itu, lanjut Syahran, sudah saatnya pula pemerintah memikirkan membentuk kementerian khusus disabilitas.
Kepedulian juga harus tumbuh di kampus untuk berkontribusi. Semisal menjadi relawan bagi disabilitas. Ia pun mendorong perguruan tinggi memiliki pusat kajian disabilitas sebagai wadah untuk memberikan informasi terkait di masing-masing daerah.
Kalau dulu, pemkot (Jambi) menyediakan angkutan khusus disabilitas dengan harga terjangkau. Namun, sudah setahun terakhir ditiadakan sehingga kami kesulitan untuk terus produktif.
Sejauh ini telah dijalin kerja sama dengan sekolah luar biasa. Kampus berkontribusi dalam pembangunan sumber daya anak-anak penyandang disabilitas, salah satunya lewat pendampingan bagi guru-guru di SLB. Selain itu, memetakan fasilitas terkait yang dibutuhkan, serta menjadi relawan motivator bagi anak-anak penyandang disabilitas untuk maju.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Kota Jambi Detty Herawati mengatakan, masa pandemi membawa tantangan lebih berat bagi kaum disabilitas. Mereka sebenarnya bisa hidup secara mandiri dan produktif. Namun, untuk mencapainya, mereka membutuhkan pendampingan.
Sejumlah dukungan sudah diberikan, tetapi belum memadai. Semisal, dibuka program pelatihan bagi disabilitas, tetapi kegiatannya tidak diperlengkapi pendamping.
”Ada peserta yang akhirnya tidak bisa mengikuti pelatihan dengan maksimal karena tidak ada pendampingnya untuk membantu berbahasa isyarat,” ujarnya.
Pemerintah Kota Jambi, lanjutnya, tergolong aktif dan peduli menfasilitasi pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas. Salah satunya dengan mengadakan angkutan khusus disabilitas. Angkutan umum tersebut disebut-sebut sangat membantu mobilitas mereka.
Namun, selama pandemi, fasilitas malah ditiadakan. ”Kalau dulu, pemkot (Jambi) menyediakan angkutan khusus disabilitas dengan harga terjangkau. Namun, sudah setahun terakhir ditiadakan sehingga kami kesulitan untuk terus produktif,” kata Detty.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia dan Bank Dunia, secara global, terdapat sekitar satu miliar orang hidup dengan disabilitas atau setara 15 persen dari populasi dunia. Di Indonesia, presentase disabilitas sebesar 2,4 persen.
Orang-orang dengan disabilitas belum dapat menjalani kehidupan yang setara dengan manusia lainnya. Dengan demikian, lebih mungkin mengalami kemiskinan, mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih buruk, atau mengalami akses terbatas terhadap layanan publik. Hambatannya sangat bervariasi di masing-masing negara.
Konvensi Hak-Hak Orang dengan Disabilitas menawarkan alternatif model disabilitas HAM sebagai upaya perbaikan dari model sosial disabilitas. Namun, sebagian besar negara masih belum memahami model disabilitas baru ini dan masih terjebak dengan model disabilitas medis.
Peneliti senior ELSAM, Roichatul Aswidah, dalam sebuah diskusi terpumpun bersama sejumlah lembaga yang konsen terhadap persoalan disabilitas, menyebutkan keberadaan disabilitas patut menjadi perhatian pemerintah, baik dari aspek kesejahteraan, pendidikan, maupun pekerjaan. Berdasarkan Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas (SIMPD), penyandang disabilitas berjumlah 209.604 orang per Januari 2021.
Kebijakan telah dibuat, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. ”Pemerintah mengamanatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia para penyandang disabilitas,” katanya.
Dalam diskusi, para pihak mengidentifikasi langkah reformasi kebijakan yang telah dikembangkan pascapengesahan Konvensi Hak-hak Orang dengan Disabilitas. Diidentifikasi pula titik-titik kesenjangan dan tantangan dalam merealisasikan inklusivitas dan akses bekerja bagi disabilitas.
Tim lalu menginisiasi langkah pengembangan kerangka kebijakan untuk menutup kesenjangan hak bekerja. ”Akses atas pekerjaan bagi orang-orang dengan disabilitas harus dijamin,” ucapnya.
Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Nora Kartika mengatakan, ketenagakerjaan inklusif sudah terus didorong. Salah satunya lewat penempatan tenaga kerja khusus, antara lain tenaga kerja penyandang disabilitas, lanjut usia potensial, tenaga kerja muda rentan, dan tenaga kerja wanita rentan.
Terkait kelompok disabilitas, dibuka peluang lebih besar untuk dapat bekerja di badan usaha milik negara. Pihaknya menandatangani kesepahaman dengan Kementerian BUMN tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas pada BUMN.
Langkah lainnya, Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Ketenagakerjaan telah diluncurkan pada sepuluh provinsi. Pihaknya juga telah meluncurkan Layanan Informasi Ketenagakerjaan Disabilitas yang terintegrasi pada sistem informasi ketenagakerjaan.
”Diharapkan efektif mempertemukan para pemangku kepentingan ketenagakerjaan inklusif dalam suatu ekosistem ketenagakerjaan digital yang terpadu,” katanya.