Stasiun Samarang NIS, Pionir Perkeretaapian yang Terlupakan
Stasiun Samarang Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang dibangun 1864 dan mulai beroperasi 1867 merupakan tonggak sejarah perkeretaapian Indonesia. Namun, pionir perkeretaapian itu seolah terlupakan.
Stasiun Samarang Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang dibangun pada 1864 dan mulai beroperasi pada 1867 merupakan tonggak sejarah perkeretaapian Indonesia. Di sanalah untuk pertama kali, kereta api di Indonesia diberangkatkan. Wujudnya memang sudah lama lenyap. Kini, sekadar secuil penanda kesejarahan pun hampir tak tersisa.
Wawan Purwanto (43), Ketua RT 002 RW 003 Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, menjawab ragu saat ditanya keberadaan sisa-sisa bagian bangunan Stasiun Samarang NIS. ”Sudah habis, Mas, karena tertutup rumah. Tanahnya turun terus. Tinggi atap saja tinggal 2,5 meter. Padahal, waktu saya masih kecil, 1980-an, tingginya 12 meter,” ujarnya, Kamis (29/7/2021) sore.
Namun, ketika Kompas bertanya tentang konsol besi dengan ujung melengkung, ia langsung teringat. Menurut dia, lengkung besi itu masih ada di rumahnya. Ia pun lantas mengajak Kompas masuk ke dalam seraya menunjukkan konsol besi yang kini benar-benar menempel dengan tembok batubata.
Menurut Wawan, setiap dua rumah terdapat konsol besi tersebut. Namun, sebagian besar sudah tidak ada. Ada yang dicabut atau tertutup karena kebutuhan perbaikan rumah. ”Kalau saya, eman-eman (sayang). Karena bekas lubang ventilasi dan lengkungan bekas bagian atas pintu stasiun sudah tidak ada,” ujar Wawan, yang mengaku juga memiliki foto lawas emplasemen Stasiun Samarang NIS.
Di depan pintu Rumah Suryono (53), yang bersebelahan dengan rumah Wawan, juga terdapat konsol besi yang menempel di tembok. Bedanya, konsol di rumah Suryono menghadap ke utara, sedangkan di rumah Wawan ke selatan. Pada buku berbahasa Belanda, Spoorwegstations op Java, karya Michiel van Ballegoijen de Jong (Amsterdam, 1993), konsol besi bagian atas setiap tiang memang ada dua dan arahnya berlawanan.
Suryono juga langsung menunjukkan bahwa di dalam rumahnya masih ada bekas lubang ventilasi, tetapi kini tinggal separuh karena ia tutup bata lainnya. ”Di dalam rumah, (bagian Stasiun Samarang NIS) yang tersisa ya tinggal itu. Kalau bagian lengkung pada atas pintu stasiun sudah tenggelam,” ujarnya.
Wawan, yang almarhum ayahnya juga pensiunan pegawai kereta api, menuturkan, ia pertama kali menyadari bahwa rumahnya ialah bagian dari bangunan bersejarah ketika sekolah dasar. Saat itu, sudah ada beberapa orang yang datang untuk meneliti atau berkunjung. Pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, juga banyak yang datang dari luar kota.
Baca juga: Menyusuri Jalur Kereta Api Perintis
Kian sulitnya mencari sisa peninggalan Stasiun Samarang NIS, akibat penurunan tanah, terlihat dalam arsip Kompas. Pada harian Kompas Jawa Tengah, Jumat, 20 Maret 2009, tampak lengkung konsol besi sekitar 1,5-2 meter dari tanah. Sementara pada pemberitaan Susur Rel Kompas, 27 Februari 2014, konsol cenderung lebih rendah. Adapun pada Kamis lalu, jarak antara kepala Wawan yang tingginya 165 cm dengan lengkungan konsol besi hanya tersisa sekitar 20 cm.
Asrama Spoorland (dahulu Spoorlan) adalah sisa bangunan Stasiun Samarang NIS sayap selatan. Sayap utara dan barat hilang tak berbekas. Bangunan itu tak jauh dari Stasiun Semarang Gudang, yang saat ini wujudnya masih ada. Namun, sudah tidak aktif sejak sekitar 2006. Di sebelah selatan Semarang Gudang, dulu terdapat halte atau rumah sinyal pengawasan Kemijen, tetapi pada jalur berbeda, yakni Samarang-Joana Stroomtram Maatschappij (SJS) yang beroperasi mulai 1882.
Membingungkan
Selain wujud fisiknya yang sudah terkubur dan tertutup bangunan Asrama Spoorland, status Stasiun Samarang NIS sebagai stasiun pertama di Indonesia juga sempat terabaikan. Selain Samarang NIS, sebagian orang menyebut stasiun pertama di Indonesia adalah Stasiun Kemijen. Sebagian lagi menyebut Stasiun Semarang Gudang. Ketiga stasiun itu memang berada di wilayah yang sama, Kemijen.
Pada halaman 54 buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I yang disusun Tim Telaga Bakti Nusantara, terbitan Angkasa Bandung (1997), disebutkan bahwa pada Jumat 7 Juni 1864 di Desa Kemijan (Semarang) diselenggarakan upacara tanda pekerjaan pemasangan jalan rel. Lalu disebutkan, pada 10 Agustus 1867, lintas Semarang (Kemijen) ke Tanggung sepanjang 25 kilometer dibuka dan KA dioperasikan untuk umum.
Baca juga: Menyusuri Jalur Kereta Api Perintis
Kemijen yang dimaksud tentu Stasiun Samarang NIS yang terletak di Kemijen. Namun, pada foto di halaman 41 terpampang foto halte atau rumah sinyal Kemijen. Satu bangunan ada di bagian atas. Akan tetapi, pada keterangan foto disebutkan bahwa itu Stasiun Kemijen yang dibangun pada saat pertama KA beroperasi pada lintas Kemijen-Tanggung.
”Padahal, halte Kemijen atau rumah sinyal itu berada di jalur SJS (Semarang-Juwana) yang baru beroperasi 1882, bukan di jalur Samarang-Tanggung (beroperasi 1867). Jadi, karena ketiga stasiun itu ada di Kemijen, memang membingungkan,” kata Tjahjono Rahardjo dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Wilayah Semarang.
Selain berada di jalur SJS, bentuk fisik stasiun dengan tulisan ”Kemidjen” itu juga meragukan karena seperti rumah sinyal, bukan stasiun. Terlebih, menurut Tjahjono, nama yang terpampang Kemidjen, yang saat itu merupakan nama desa. Padahal, untuk sebuah stasiun pertama, di satu kota, seharusnya tertulis nama kotanya, Semarang.
Penelusuran
Pada 2009, Tjahjono bersama Karyadi Baskoro, Deddy Herlambang serta dibantu warga setempat, Ramelan, menelusuri sekitar Spoorlan. Informasi awal Stasiun Samarang dihimpun dari peta-peta kuno koleksi Koninklijk Instituut voor de Tropen dan foto-foto koleksi Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV), lalu dipadu peta dari citra satelit melalui program Google Earth.
Tjahjono menuturkan, yang paling berperan pada penemuan itu adalah Karyadi Baskoro, yang bertukar-tukar dokumen dengan temannya dari Jerman. Ia juga berusaha sepresisi mungkin dengan memanfaatkan GPS. Karyadi pun akhirnya menemukan titik koordinat Stasiun Samarang NIS. Bertemu Ramelan, mereka lalu ditunjukkan sejumlah tanda-tanda bekas stasiun yang ada di dalam rumah.
”Waktu itu kami lihat ada sol penyangga dari besi. Ada juga lubang angin lingkaran. Kami juga bawa buku Spoorwegstations op Java yang ada gambar di bagian dalam stasiun. Waktu kami bandingkan, ’Loh, kok, sama persis?’ Waktu itu kami terdiam. Ini yang selama ini dicari-cari,” kata dosen Magister Lingkungan dan Perkotaan di Universitas Katolik Soegijapranata itu.
Agar memenuhi kaidah ilmiah, saat itu, Tjahjono, Deddy, dan Karyadi menggelar seminar yang diselenggarakan Unika Soegijapranata. Menurut dia, saat itu mereka juga mengundang pihak PT KAI, tetapi tidak hadir. Setelah itu juga menjadi perhatian Balai Arkeologi Yogyakarta dan diambil sampel bahan untuk menentukan usianya.
Saat ini, kata Tjahjono, ia meyakini 99,99 persen kalau apa yang ada di Spoorland tersebut merupakan Stasiun Samarang NIS yang merupakan stasiun pertama di Indonesia. Para pencinta kereta api atau railfans umumnya juga sudah mengetahui itu. Namun, masih banyak masyarakat, bahkan warga Semarang sendiri, belum tahu akan hal itu.
”Kalau dibilang penting, ya penting untuk sejarah. Bagi warga Semarang pun, kan, boleh jadi menjadi hal yang membanggakan bahwa ada stasiun kereta pertama itu ada di Semarang. Namun, memang buat sebagian orang itu mungkin dirasa tidak penting, apalagi sudah hancur begitu,” lanjutnya.
Baca juga: Jalur Kereta Api Semarang-Rembang Jadi Prioritas Kedua Setelah Borobudur
Tjahjono memahami, tidak mudah untuk menata mengingat lokasi itu telah menjadi pemukiman warga. Namun, ia tetap berharap ada sekadar plakat dengan cerita sedikit bahwa di situ merupakan letak stasiun pertama di Indonesia. Menurut dia, railfans sempat membuat dari semacam MMT dengan dikasih figura, tetapi kemudian tidak terurus.
Di selasar Museum KA Ambarawa kini juga terpampang informasi bahwa stasiun pertama ialah Stasiun Samarang yang dibangun pada 16 Juni 1864.
Manajer Humas PT KAI Daop 4 Semarang Krisbiyantoro, ketika ditanya perihal rencana penataan atau penanda di dekat lokasi Stasiun Samarang NIS sebagai stasiun pertama di Indonesia, hanya menjawab singkat. ”Belum ada informasi tersebut, Mas,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti transportasi dari Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengemukakan, temuan tersebut potensi yang bisa dikembangkan karena bernilai sejarah. ”Memang itu sudah diokupasi masyarakat. Mungkin dari Kementerian PUPR, misalnya, membuat kawasan khusus,” katanya.
Sebagai pionir perkeretaapian di Indonesia, sungguh sayang jika Stasiun Samarang dilupakan. Pelestarian diperlukan mengingat nilai sejarahnya yang bernilai. Jangan sampai, pada suatu masa, generasi berikutnya tak tahu bahwa di Semarang, kereta api pertama dijalankan.
Baca juga: Raja Chulalongkorn Studi Banding Kereta Api di Semarang