Pembangkit Panas Bumi di Tomohon Kini Beroperasi Maksimal
Empat unit PLTP milik PT PLN di Lahendong, Tomohon, Sulut, akhirnya beroperasi maksimal menghasilkan daya 80 megawatt. Hal ini diharapkan dapat memaksimalkan penggunaan energi baru terbarukan pada sektor kelistrikan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
TOMOHON, KOMPAS — Empat pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) milik PT Perusahaan Listrik Negara di Lahendong, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, mulai beroperasi pada kapasitas maksimal. Keempat pembangkit tersebut dapat melayani kebutuhan listrik hingga 80.000 rumah.
Operasi maksimal ini ditunjukkan oleh uap air yang membubung deras di empat gedung pendingin di kompleks PLTP Lahendong, Kamis (29/7/2021). Setiap unit pembangkit memiliki kapasitas terpasang 20 megawatt (MW) sehingga total daya yang dihasilkan saat ini telah mencapai 80 MW.
Manajer Unit Layanan PLTP Lahendong Rudi Hendar Rahadian mengatakan, pembangkit tersebut kini dapat menghasilkan listrik sebesar 520 juta watt jam (GWh) dalam setahun untuk sistem Sulut dan Gorontalo (Sulutgo). ”Daya itu bisa disalurkan ke 60.000-80.000 rumah dengan daya 1.300 VA,” katanya.
Produksi maksimal hingga 80 MW ini baru tercapai pada Selasa (27/7) jelang tengah malam sejak keempat pembangkit di Lahendong didirikan 2001-2011. Menurut Rudi, sepanjang 2020, daya maksimal yang dihasilkan di PLTP pertama di Sulawesi itu hanya berkisar 68-69 MW.
Hal ini disebabkan pembangkit unit 3 tidak mampu berfungsi maksimal. Daya yang dihasilkan bahkan hanya berkisar 7-10 MW. Rudi mengatakan, hal ini disebabkan komponen mesin unit 3, terutama turbin, mudah rusak akibat terkena kandungan gas-gas asam yang korosif dan tak dapat terkondensasi, seperti hidrogen sulfida (H2S), karbon dioksida (CO2), serta endapan silika (SiO2).
”Unit 3 adalah pembangkit pertama di Kelurahan Pangolombian, terpisah dari unit 1 dan 2 di Kelurahan Tondangow. Jadi, sumur panas buminya berbeda. Tetapi, kualitas uap yang dihasilkan sudah jauh berbeda meskipun jaraknya cuma terpaut sekitar 3 kilometer. Lingkungan yang cenderung asam inilah yang kami coba atasi,” ujar Rudi.
Untuk meningkatkan kinerja unit 3, Kepala Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkit (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu mengatakan, PT PLN menggelontorkan sekitar Rp 18 miliar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas mesin. Misalnya, menggunakan bilah turbin berbahan besi antikarat (stainless steel) sehingga tak mudah terkorosi.
Demister (tabung penghilang butiran air dari uap) juga dimodifikasi sehingga lebih tahan basah. ”Selain itu, kami menambah peralatan, seperti liquid ring vacuum pump untuk mengikat gas yang tak dapat terkondensasi. Terakhir, kami memasang sistem pendingin udara bertekanan tinggi sehingga lingkungan PLTP yang asam tidak merusak komponen elektronik kami,” kata Andreas.
Energi terbarukan
Bersama PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), sumber panas bumi di Lahendong dapat dikonversi menjadi energi listrik berdaya 120 MW. Jumlah itu setara dengan energi yang dihasilkan kapal pembangkit tenaga (MVPP) Karadeniz Power Ship Zeynep Sultan di Pantai Amurang, Minahasa Selatan.
Namun, kapal milik perusahaan Turki itu telah berhenti mengaliri Sulut dengan listrik, Selasa lalu, karena kontraknya dengan Pemprov Sulut sejak Januari 2016 telah habis setelah lima tahun. PLTP Lahendong pun diharapkan dapat menggantikan pembangkit berbahan bakar batubara tersebut dengan sumber daya yang lebih berkelanjutan dan murah.
Sepanjang 2012, PLTP itu mampu menurunkan emisi karbon dioksida sebesar 67.527 ton.
Andreas mengatakan, beban puncak jaringan kelistrikan Sulutgo saat ini berkisar 380-390 MW, sedangkan kapasitas terpasang mencapai 516,64 MW. Adapun kontribusi energi baru terbarukan (EBT) dari jumlah tersebut mencapai 219 MW, termasuk 120 MW dari PLTP Lahendong.
PLTP Lahendong pun dipaksa bekerja maksimal. Apalagi, sepanjang 2012, PLTP itu mampu menurunkan emisi karbon dioksida sebesar 67.527 ton. ”Presiden Jokowi juga sudah mengatakan tidak akan berinvestasi di pembangkit berbahan bakar fosil baru, kecuali yang pembangunannya sudah berjalan sekarang,” kata Andreas.
Saat ini, di sistem Sulutgo, ada empat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 110 MW dan tiga pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) berkapasitas 43 MW. Namun, PLTD hanya dimanfaatkan untuk sumber tenaga cadangan jika pembangkit yang lebih ”hijau” mengalami gangguan.
Sementara itu, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang telah mengoperasikan PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 kini berkomitmen segera mengoperasikan PLTP siklus biner berkapasitas 500 kilowatt (kW) di lokasi yang sama. Proyek tersebut telah dimulai sejak 1 Juli.
Direktur Operasi PT PGE Eko Agung Bramantyo mengatakan, proyek ini akan menunjang pencapaian target EBT internal Pertamina. Proyek ini ditargetkan siap beroperasi pada Desember 2021. ”PGE berkomitmen memanfaatkan potensi energi dalam negeri yang ramah lingkungan, khususnya panas bumi,” ujar Agung.
Selama ini di Lahendong, PT PGE mengolah energi panas bumi dan memasoknya kepada PT PLN dalam perjanjian jual beli uap (PJBU) dengan kapasitas mencapai 150 ton per jam untuk empat pembangkit. Kedua badan usaha milik negara (BUMN) itu diharapkan bisa menopang kontribusi PLTP sebesar 7.170 MW pada 2023, bagian dari EBT sebesar 47.500 MW.