Pandemi Hambat Pemanfaatan Energi Panas Bumi di Sulawesi Utara
Pandemi Covid-19 menyebabkan potensi panas bumi Sulawesi Utara tak termanfaatkan secara maksimal di sektor kelistrikan. Namun, investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi akan tetap ditambah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
TOMOHON, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menyebabkan potensi panas bumi Sulawesi Utara tak termanfaatkan secara maksimal di sektor kelistrikan. Kendati begitu, PT Pertamina Geothermal Energy sebagai pengembang energi baru terbarukan itu tetap berinvestasi dalam pembangunan pembangkit listrik baru.
General Manager Area Lahendong PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Chris Toffel Pelmelay mengatakan, pihaknya mampu menyediakan energi listrik dari uap sebesar 120 megawatt (MW) selama 1 jam dari dua sumur produksi di Lahendong, Kota Tomohon dan Tompaso, Kabupaten Minahasa. Namun, yang dikonversi menjadi listrik hanya terbatas pada 105 MW.
”Pandemi memengaruhi perekonomian di Sulut, usaha-usaha besar tutup. Dari daya terpasang pembangkit PT PLN sekitar 600 MW, yang terpakai cuma 400-an MW. Kami pun terdampak, tidak bisa jual penuh 120 MW. Karena itu, PLN menetapkan akan membeli minimal 87 persen dari produksi kami,” kata Chris, Jumat (30/7/2021).
PT PGE adalah satu-satunya penyedia uap panas bumi bagi empat unit pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) berkapasitas 4x20 MW milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Lahendong. Selain itu, PT PGE memiliki dua unit PLTP dengan kapasitas 2x20 MW. Listrik yang dihasilkan kemudian dijual kepada jaringan distribusi PT PLN.
Data PT PGE Area Lahendong pun menunjukkan pemanfaatan panas bumi untuk listrik masyarakat Sulut dan Gorontalo (Sulutgo) melambat. Pada 2019, PGE menjual energi sebesar 820 gigawatt jam (GWh) kepada PT PLN, meningkat 12,9 persen dari 2018. Namun, sepanjang 2020, konsumsi hanya meningkat 0,009 persen menjadi 828 GWh.
Hingga Juli 2021, pemanfaatan panas bumi untuk listrik pun baru 366 GWh. ”Pandemi memang memengaruhi distribusi listrik ke jaringan Sulutgo. Namun, tidak ada kendala berarti di sisi kami,” kata Chris.
Saat ini, sumur panas bumi Lahendong memiliki cadangan uap dengan total energi 100 MW selama sejam, lebih besar dari kebutuhan 80 MW bagi empat PLTP milik PT PLN. Sumur itu diperkirakan masih menyimpan cadangan mungkin 80 MW. Adapun sumur di Tompaso menyimpan cadangan terbukti 46-48 MW dan cadangan mungkin 100 MW.
Oleh karena itu, Chris mengatakan, pihaknya telah merencanakan eksplorasi di area Tompaso untuk membangun unit PLTP ke-7 dan 8 di sistem Lahendong pada 2025 jika keadaan ekonomi nasional membaik. ”Sulut punya potensi panas bumi yang besar sehingga menjadi satu-satunya provinsi yang pemanfaatan panas buminya melebihi 20 persen. Kami masih bisa kembangkan lagi 40 MW untuk capai 30 persen,” katanya.
Untuk sementara, sebuah pembangkit siklus biner berkapasitas 0,5 MW sedang dibangun di Lahendong. Ini untuk menyediakan kebutuhan listrik PT PGE yang selama ini dibeli dari PT PLN. Chris mengatakan, PLTP itu diharapkan dapat mengurangi biaya operasional mulai Desember 2021.
Pada saat yang sama, PT PGE bekerja sama dengan PT PLN Gas & Geothermal membangun pembangkit siklus biner berkapasitas 5 MW di Tompaso. Kedua pembangkit tersebut memanfaatkan sisa brine (cairan geotermal) yang dialirkan ke PLTP, tetapi masih menyimpan panas sebelum dikembalikan ke sumur injeksi.
PLTP siklus biner di Tompaso ditargetkan beroperasi pada 2023.
Di lain pihak, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PT PLN Agung Murdifi mengatakan, PLTP siklus biner di Tompaso ditargetkan beroperasi pada 2023. ”Proyek ini memiliki potensi hingga 30 MW,” ucapnya.
Agung menambahkan, PT PLN terlibat kerja sama dengan PT PGE dan PT Geo Dipa Energi untuk mengembangkan PLTP berkapasitas 590 MW yang dapat menghasilkan listrik sebesar 4.651 GWh. Hingga 2019, pemanfaatan panas bumi di Indonesia baru 2.133 MW atau 7,5 persen dari 28,5 GW yang tersedia.
Kepala Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkit (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu mengatakan, kapasitas seluruh pembangkit listrik di Sulut mencapai 516,64 MW, sedangkan beban puncak berkisar 380-390 MW. PLTP Lahendong pun diupayakan beroperasi maksimal untuk menggantikan kapal pembangkit listrik bertenaga batubara (MVPP) asal Turki, Karadeniz Power Ship Zeynep Sultan.
”Kontrak PT PLN dengan MVPP Karadeniz sudah selesai pada Selasa (27/7) lalu. Apa yang bisa kami lakukan sekarang adalah menjamin tidak ada unit PLTP yang harus keluar paksa (berhenti beroperasi),” ujarnya.
Selama ini, di Lahendong, PT PGE memasok rata-rata 150 ton uap panas bumi setiap jam ke tiap unit pembangkit milik PT PLN. PT PLN menanggung biaya Rp 867 untuk setiap kilowatt jam (KWh) yang dipasok ke PLTP Lahendong unit 1-4. Adapun listrik dari unit 5 dan 6 yang dikelola PT PGE dibeli dengan biaya Rp 1.589 per KWh.