Penimbunan obat hingga pemalsuan dokumen saat pandemi melukai rasa kemanusiaan. Tidak hanya itu, semuanya mengupas kerentanan warga dan fasilitas kesehatan di era penuh duka ini.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Mengenakan baju merah dan celana pendek hitam, W (45) tiba di ruangan Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Indramayu, Jawa Barat, Minggu (25/7/2021) malam. Kepalanya lebih banyak tertunduk. Dia hanya mengangguk saat ditanya penyidik. Mulutnya seperti terkunci di balik masker.
Dari pelosok Indramayu, petugas kebersihan di Puskesmas Sukra itu mendadak viral. Dia diduga memalsukan hasil tes usap antigen tanpa harus mencolok hidung pemesannya. ”Hanya kirim fotokopi KTP,” kata Kepala Satreskrim Polres Indramayu Ajun Komisaris Luthfi Olot Gigantara.
W terbiasa beraksi malam hari saat puskesmas sepi. Memegang berbagai kunci ruangan, dia leluasa mengutak-atik dokumen di komputer. W juga mengubah surat keterangan hasil tes sesuai nama pemesan dengan hasil negatif Covid-19. Dia pun memalsukan tanda tangan pejabat setempat.
Pemesannya tidak lagi dites. Mereka hanya perlu membayar Rp 100.000-Rp 150.000 per orang. Ini lebih murah dibandingkan tes mandiri yang berkisar Rp 175.000-Rp 200.000 per orang. Surat itu menjadi salah satu syarat pelaku perjalanan selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat.
W mengaku telah beraksi 20 kali. Artinya, ia meraup keuntungan sedikitnya Rp 2 juta. ”Hanya saja, dalam temuan kami ada lebih dari 40 lembar fotokopi KTP,” kata Luthfi.
W terancam dipenjara 6 tahun karena diduga melanggar Pasal 263 KUHP terkait pemalsuan surat. Namun, Luthfi berjanji mendalami kasus tersebut, termasuk kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat.
Bukan tidak mungkin kejahatan tertata ini melibatkan banyak hal. Praktik penimbunan dan penjualan obat-obatan untuk pasien Covid-19 yang dibongkar aparat Kepolisian Daerah Jabar jadi buktinya.
Pada Rabu (21/7/2021), polisi menangkap ESF, MH, IC, SM, dan NH di Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Bogor. Bersama mereka disita 104 butir Avigan 200 miligram, 300 butir Favikal 200 mg, hingga 70 Oseltamivir 75 mg.
”Disparitas harga jualnya sangat tinggi. Avigan, misalnya, dari harga Rp 2,6 juta dijual hingga Rp 10 juta per 10 tablet,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Erdi A Chaniago.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar Komisaris Besar Arif Rahman mengatakan, berdasarkan pengakuan para tersangka yang kini diancam 10 tahun penjara, mereka menimbun dan menjual kembali obat-obatan dengan harga mahal sesuai permintaan masyarakat. Intinya, mereka memanfaatkan kepanikan masyarakat.
Akan tetapi, tidak semuanya bisa ditangkap. Penipuan tempat pengisian oksigen di Jalan Karapitan Nomor 51 A, Kota Bandung, yang viral di media sosial hingga kini belum ketahuan ujungnya.
”Sudah lebih dari sepuluh orang yang datang ke sini. Mereka tertipu karena telah mentransfer uang untuk beli tabung oksigen. Padahal, tempatnya enggak ada di sini,” ujar Iwan (45), penjaga parkir di alamat tersebut.
Dari pengakuan korban, Iwan mengatakan, mereka telah mengeluarkan uang mulai dari Rp 1,2 juta, Rp 1,5 juta, hingga Rp 2,4 juta. Pelaku, seperti penuturan korban, tidak melayani pembelian langsung ke toko dengan alasan tutup akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Hanya ada alamat pertemuan di Jalan Karapitan yang ternyata sebuah kafe.
”Kasihan, yang datang sangat membutuhkan oksigen. Semoga pelaku cepat ditangkap sehingga korbannya tidak semakin banyak,” ucapnya.
Praktik kejahatan tradisional itu memperlihatkan kerentanan masyarakat menghadapi pandemi. Selain di Jabar, kasus serupa terjadi di Jakarta, Banten, Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua.
Di tengah segala keterbatasan, warga mudah panik hingga akhirnya gampang tertipu. Jika terus terjadi, kondisi ini rentan menghilangkan kepercayaan masyarakat hingga memicu semakin panjangnya rantai penularan.
Selain pentingnya edukasi masyarakat, penegakan hukum mesti dilakukan agar pandemi tidak menjadi ladang penipuan.
Kriminolog Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar, mengatakan, saat ini kepanikan sulit dihindari masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan serius dari aparat untuk menekan hal ini terus terjadi. Selain pentingnya edukasi masyarakat, penegakan hukum mesti dilakukan agar pandemi tidak menjadi ladang penipuan.
Ragam kejahatan ini juga memperlihatkan rentannya ketangguhan fasilitas kesehatan. Kepala Tata Usaha Puskesmas Sukra H Widanto menuturkan, selama PPKM darurat, warga yang meminta tes antigen secara mandiri bisa 6-7 orang per hari. Biaya tes untuk pelaku perjalanan atau syarat bekerja itu Rp 150.000 per orang.
Di tengah tingginya beban pelayanan, W pun diberdayakan untuk membantu pelaksanaan tes di bagian pendaftaran. Mampu mengoperasikan komputer, W menambal kekurangan personel di puskesmas. Sebanyak 61 pegawai memang tidak cukup menanggung beban melayani hampir 50.000 penduduk Sukra saat pandemi.
Ini belum termasuk pasien dari kecamatan lain hingga Kabupaten Subang yang berbatasan dengan Sukra. Memiliki tujuh tempat tidur untuk rawat inap, puskesmas yang berjarak lebih dari 50 kilometer dari Kantor Bupati Indramayu itu menjadi tumpuan masyarakat setempat.
Tugas puskesmas kian berat saat pandemi tak kunjung usai. Petugas harus mengurusi tes, pelacakan kontak erat, hingga vaksinasi Covid-19. Dalam sehari, petugas bisa menyuntikkan hingga 200 dosis vaksin. ”Petugas juga ada yang positif Covid-19. Ada saja satu atau dua yang isolasi mandiri, termasuk kepala puskesmas,” ujar Widanto.
Di tengah kerumitan itu, W yang bekerja sejak 2014 di puskesmas leluasa mengambil untung. ”Padahal, gajinya itu sudah sekitar UMR (upah minimum Indramayu sekitar Rp 2,3 juta). Dulu waktu tenaga harian lepas masih Rp 300.000,” ungkap Widanto.
Lektor Bidang Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad Irvan Afriandi berpendapat, maraknya tindak kriminal ini mengindikasikan perlunya koordinasi dan kesiapsiagaan berbagai sektor. Tidak hanya kesehatan, tetapi juga industri hingga pemberdayaan masyarakat.
”Pemerintah harus bertanggung jawab memastikan produksi hingga layanan yang dibutuhkan masyarakat menghadapi Covid-19,” ujar Irvan.
Dalam sudut pandang kesehatan masyarakat, lanjut Irvan, kejahatan itu sangat merugikan. Penimbunan hingga penipuan berpotensi mengancam kesehatan warga karena meningkatkan risiko penularan hingga mengancam nyawa pasien.
Peluang kejahatan selalu terbuka saat celah ketidaksiapan semua pihak masih ada. Jika hal itu terus terjadi, pandemi ini bisa jadi bakal berlangsung lama.