Keluarga: Sumbangan Rp 2 Triliun Itu Uang Simpanan Akidi Tio
Uang Rp 2 triliun adalah simpanan Akidi Tio yang memang diwasiatkan untuk digunakan ketika Palembang dalam situasi genting. Masa pandemi dinilai merupakan saat yang tepat untuk menyalurkan wasiat itu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI, ZULKARNAINI
·6 menit baca
Matahari sedang terik-teriknya saat suami-istri Rudi Sutadi dan Heriyanti beserta anaknya turun dari taksi daring yang mengantarnya pulang dari mengikuti vaksinasi Covid-19, Rabu (28/7/2021). Heriyanti adalah anak bungsu Akidi Tio, keluarga yang memberikan sumbangan Rp 2 triliun untuk menangani Covid-19 di Sumatera Selatan.
Dengan wajah tertutup masker, keluarga itu keluar dari taksi daring, masuk rumah, lalu menutup pagar. Rumah di Kecamatan Ilir Timur I, Palembang, itu bertingkat dua, berpagar hitam yang kian manis dengan taman minimalis di bagian depan.
Akan tetapi, rumah itu tidak semencolok rumah mewah yang ada di sekitarnya. Pakaian yang mereka kenakan pun sederhana.
Sebelum masuk rumah, Rudi mengatakan, dana sumbangan itu sudah diserahkan. ”Ini sudah menjadi wasiat Bapak (Akidi),” ujar Rudi. Sementara Heriyanti enggan memberikan tanggapan.
Menurut Rudi, uang sumbangan tersebut memang hasil simpanan Akidi semasa hidup. Sebelum mangkat pada 2009, Akidi berpesan kepada tujuh anaknya agar uang yang sudah ia simpan itu bisa digunakan untuk masyarakat Palembang ketika menghadapi masa sulit.
Karena keluarga besar menilai saat ini Sumsel sedang menghadapi masa sulit, uang itu pun digelontorkan. ”Kami hanya menjalankan wasiat. Jika tidak ditunaikan, kami khawatir akan menjadi karma,” ujarnya.
Tentang pengelolaannya, Rudi pun tidak ambil pusing. Keluarga menyerahkan semua uang itu kepada pihak terkait. ”Kami berharap dana ini bisa digunakan untuk mengentaskan warga dari pandemi di Sumsel,” ujarnya sembari segera masuk ke dalam rumah.
Tingginya kepedulian keluarga Akidi kepada warga Sumsel cukup beralasan. Meskipun disebut-sebut lahir di Langsa, Aceh, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Palembang, Sumatera Selatan. Palembang tempat keluarga Akidi mencari rezeki.
Banyak bisnis yang Akidi dan anak-anaknya geluti, mulai dari kontraktor, bahan bangunan, hingga perkebunan kelapa sawit.
Di masa hidupnya, Akidi merupakan orang yang sangat dermawan dan kerap memberi sumbangan kepada panti jompo dan orang yang kesusahan. Namun, kebaikannya itu tidak ia umbar.
Kami hanya menjalankan wasiat. Jika tidak ditunaikan, kami khawatir akan menjadi karma.
Pelajaran hidup inilah yang terus ditabur Akidi kepada anak-anaknya. Sejak awal, ujar Rudi, memang keluarga tidak ingin memberi tahu kepada siapa pun, termasuk kepada warga sekitar tempat Rudi tinggal, terkait bantuan itu.
Ketika Kompas mengonfirmasi hal itu kepada Aji Fauzi, ketua RT setempat, ia mengaku tidak tahu sama sekali kalau orang yang memberikan sumbangan sebesar itu adalah warganya. ”Benar, Pak Rudi warga sini, tetapi saya tidak tahu kalau keluarganya menyumbang bantuan sebesar itu,” ujarnya.
Aji pun tidak mengetahui kisah kehidupan Akidi Tio. ”Saya baru tahu tentang Akidi Tio dari berita yang beredar,” ucapnya.
Penjaga kawasan perumahan setempat, Usman, mengatakan, semasa hidup, Akidi adalah sosok yang sederhana. Dia tinggal di rumah yang biasa saja. ”Rumah itu berada tepat di samping rumah yang ditempati oleh anak bungsunya sekarang,” kata Usman yang telah menjadi penjaga daerah itu sejak 1988.
Rumah bergaya lama itu masih terurus walau sedikit usang termakan usia. Sejak Akidi dan istrinya meninggal, rumah tersebut tidak lagi ditempati hingga sekarang karena banyak anaknya tinggal di Jakarta.
Aji juga berharap bantuan dari keluarga Akidi dapat disalurkan untuk memulihkan kondisi Sumsel yang kian mengkhawatirkan akibat Covid-19. Di wilayah RT-nya pun kini sudah berstatus zona merah. ”Banyak warga kami yang isolasi mandiri, bahkan ada satu warga meninggal pagi ini karena Covid-19,” ujarnya.
Hardi Darmawan, dokter keluarga Akidi, berkisah, semasa hidup Akidi selalu berpakaian sederhana. ”Dia (Akidi) selalu memakai baju warna putih dan bergaya biasa saja. Tidak terlihat seperti orang kaya pada umumnya,” ujarnya.
Kesederhanaan itu kian sempurna dengan kedermawanannya memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Walaupun sudah banyak berbuat, sejak awal keluarga memang tidak mau memublikasikan sumbangan tersebut. ”Yang saya kenal, keluarga ini memang sangat low profile,” katanya.
Ketua Yayasan Hakka Aceh Kho Khi Siong menyebutkan, Akidi Tio merupakan warga Aceh keturunan Tionghoa. Akidi lahir di Langsa, tetapi kemudian hijrah ke Jakarta dan Palembang. ”Saya coba melacak informasi tentang sosok Akidi, sulit menemukan jejak mereka di Langsa,” kata Kho.
Dari informasi yang dihimpun Kho, semasa hidup dan tinggal di Langsa, Akidi mempunyai usaha limun, minuman dalam botol. Namun, pada 1976 keluarga mereka pindah ke Sumsel dan Jakarta. ”Saat ini, keluarga Akidi tidak ada yang tinggal di Langsa,” kata Kho.
Seorang jurnalis di Langsa, Asrul (35), menuturkan, kini tidak ada lagi jejak keluarga Akidi di Langsa. Perusahaan limun telah lama tutup dan keluarga besar sudah tidak tinggal di Langsa. ”Saya tinggal di Langsa sudah 15 tahun, sejak saya menetap di sini, pabrik limun itu sudah tidak beroperasi,” kata Asrul.
Terlepas sulitnya melacak jejak Akidi, Kho mengatakan, aksi sosial yang dilakukan keluarga Akidi harus diapresiasi.
Sebenarnya, ujar Hardi, banyak filantropi yang memberikan sumbangan kepada Sumsel, bahkan mencapai puluhan miliar. ”Namun, untuk sumbangan yang sebesar ini, baru kali ini saja,” kata Hardi. Sama seperti Akidi, mereka juga tidak memublikasikan bantuan tersebut.
Dengan banyaknya bantuan yang ditujukan di Sumsel, Bumi Sriwijaya diharapkan dapat segera keluar dari kungkungan pandemi karena saat ini Sumsel sedang dalam kondisi kritis.
Berdasarkan situs Sumsel tanggap Covid-19, jumlah kasus di Sumsel dalam dua hari terakhir meningkat signifikan, bahkan melebihi dari 1.000 kasus setiap harinya. Pada Rabu (28/7/2021), jumlah kasus di Sumsel mencapai 1.249 kasus. Ini merupakan yang tertinggi di Sumsel. Adapun jumlah kasus kumulatif di Sumsel mencapai 43.582 kasus.
Tabur tuai
Tokoh masyarakat keturunan Tionghoa Palembang, Tjik Harun, mengatakan, menunaikan amanah memang sudah menjadi kewajiban setiap umat beragama. Namun, di tradisi Tionghoa, amanah dari orangtua merupakan hal yang wajib dilaksanakan. Kalau tidak, akan menjadi karma. Menunaikan amanah itu adalah bentuk bakti anak kepada orangtua.
Maka, banyak dari warga keturunan Tionghoa yang tetap menyematkan nama orangtuanya dalam sumbangan yang mereka berikan. Ini sebagai bentuk pelimpahan jasa ketika orangtua mereka telah tiada.
Menebar kebaikan itu menjadi hal yang selalu diturunkan, seperti yang tergambar pada kiasan apa yang ditabur itu yang dituai. ”Ketika kita menabur kebaikan, kebaikan itulah yang akan kita tuai,” ujar Harun.
Banyaknya dermawan yang tidak ingin dipublikasikan ketika memberi bantuan adalah bentuk dari kerendahan hati. Karena ada kiasan yang juga menjadi pegangan keturunan Tionghoa, ketika tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri tahu.
Pengamat sosial dari Universitas Islam Negeri Raden Patah Palembang, Abdullah Idi, menuturkan, perbuatan dari Akidi merupakan salah satu bentuk kecintaan warga negara kepada negaranya. Di sisi lain, peristiwa ini juga memiliki nilai edukatif yang sangat penting, yakni bahwa orang yang berpunya memliki kepedulian untuk menyisihkan penghasilannya bagi orang yang papa.
Apalagi, menurut Abdullah, kesenjangan di Sumsel cukup tinggi. Karena itu, masa pandemi adalah momen yang tepat bagi setiap warga untuk saling menguatkan satu sama lain.
Abdullah berharap agar bantuan ini dapat dikelola secara transparan dan tepat sasaran. ”Bantuan itu sudah menjadi milik rakyat. Jadi, harus dikelola secara bertanggung jawab,” katanya.