Bantuan Rp 2 Triliun Akidi Tio untuk Tekan Penularan dan Kematian
Setelah Sumsel mendapat dana bantuan dari keluarga pengusaha mendiang Akidi Tio Rp 2 triliun, para ahli meminta agar uang tersebut digunakan untuk memperkuat fasilitas kesehatan dan membantu warga yang tedampak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Setelah Sumsel mendapat dana bantuan dari keluarga pengusaha mendiang Akidi Tio sebanyak Rp 2 triliun, Selasa (26/7/2021), para ahli menyarankan agar dana itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan 3 T (pelacakan, pemeriksaan, dan pengobatan). Hal ini diharapkan dapat menekan angka penularan kasus dan kematian di Sumsel yang terbilang masih tinggi.
Epidemiolog dari Universitas Sriwijaya, Iche Andriyani Liberty, Selasa (27/7/2021), mengatakan, uang sebanyak itu dapat digunakan untuk memperkuat pelacakan (tracing) dan pemeriksaan (testing). Caranya ialah menambah kapasitas reaksi polimerase berantai (PCR) di beberapa tempat utamanya di episentrum, yakni di kota Palembang.
Hal ini sangat penting lantaran tingkat pemeriksaan di Sumsel terbilang masih sangat rendah karena memang masih kurangnya kapasitas PCR yang menjadi gold standart pemeriksaan Covid-19.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sumsel saat ini ada 15 laboratorium PCR di Sumsel dengan kapasitas total sekitar 2.000 spesimen per hari. Sementara idealnya, tingkat pemeriksaan sekitar 1 banding 1.000 orang per minggu. Artinya, dengan penduduk Sumsel sekitar 8 juta orang berarti minimal 8.000 orang diperiksa setiap minggu. Namun, kapasitas itu belum dimanfaatkan dengan optimal karena terbatasnya sumber daya manusia.
Dana tersebut bisa digunakan untuk menambah jumlah kapasitas PCR termasuk sumber daya manusia yang mengelolanya. Dengan demikian, pelacakan dapat diterapkan sejak dini.
Selain itu, Iche juga menyarankan agar dana tersebut juga digunakan untuk membangun fasilitas whole genome sequencing (WGS) yang belum ada di Sumsel. Langkah ini penting agar jenis virus yang ada di dalam sampel dapat terdeteksi dengan cepat.
Lamban
Selama ini, ungkap Iche, penanggulangan Covid-19 belum optimal lantaran hasil pemeriksaan tentang jenis virus terbilang cukup lamban. Untuk varian Delta yang menjangkit empat warga Sumsel, misalnya, itu baru diketahui pada Mei 2021, padahal kasusnya sudah terjadi pada Januari 2021.
”Hal ini sangat berbahaya, apalagi varian delta memiliki daya tular yang cukup cepat,” ucapnya.
Karena itu, ujar Iche, kedua fasilitas ini penting agar tracer yang sudah mencari sampel sebanyak-banyaknya dapat segera ditindaklanjuti dengan cepatnya pendeteksian. Saat ini, tingkat kepositifan (positivity rate) di Sumsel mencapai 41,94 persen atau sudah melewati dari ambang batas yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni di bawah 5 persen.
Dari 15 laboratorium PCR di Sumsel, hanya 6 laboratorium yang aktif. (Yuwono)
Hal lain yang perlu diperkuat adalah penggunaan telemedicine. Sistem ini memungkinkan orang yang menjalani isolasi mandiri bisa mendapatkan layanan kesehatan secara digital. Perlu diketahui, dari 7.622 orang yang merupakan kasus aktif di Sumsel, sekitar 85 persen di antaranya melakukan isolasi mandiri di rumah. Kondisi ini sangat rentan memicu penularan yang sangat tinggi jika tidak diawasi dengan baik.
Pakar mikrobiologi dari Universitas Sriwijaya, yang juga Dirut RS Pusri Palembang, Yuwono, menambahkan, untuk menyediakan laboratorium PCR dibutuhkan investasi sekitar Rp 2 miliar. Itu dilakukan untuk membeli alat saja, belum termasuk sumber daya yang mengoperasikannya. Keterbatasan sumber daya yang membuat fasilitas laboratorium di Sumsel tidak optimal. ”Dari 15 laboratorium PCR yang ada di Sumsel, hanya 6 laboratorium yang aktif,” ucapnya.
Sementara untuk fasilitas WGS sebenarnya sudah ada komitmen dari konsersium perusahaan energi di Indonesia yang ingin menyumbangkan fasilitas ini di setiap provinsi. Namun, jika memang perlu dibuat, nilai investasi yang diperlukan bisa mencapai Rp 2 miliar per unit.
Karena itu, Yuwono berpendapat, hal yang paling penting mendesak saat ini adalah menambah jumlah ventilator di ruang unit gawat darurat (ICU). Fasilitas ini penting untuk merawat pasien yang sudah dalam keadaan kritis.
Dia mencontohkan, di RS Pusri, dari enam ruang gawat darurat, hanya ada empat unit ventilator. Tentu banyak fasilitas kesehatan yang mengalami hal serupa. Padahal, sekitar 4 persen dari warga yang terpapar di Sumsel perlu mendapatkan perawatan khusus karena penyakit yang dideritanya.
Banyak pasien yang harus meregang nyawa akibat kurangnya fasilitas tersebut. Yuwono mengaku banyak rekan yang menghubunginya agar mendapatkan perawatan di Palembang lantaran fasilitas ventilator di daerah kurang memadai. ”Namun, di tengah perjalanan nyawa anggota keluarganya itu tidak tertolong,” ucapnya.
Karena itu, penambahan ventilator sangat diperlukan. Dia merinci harga satu perangkat ventilator sekitar Rp 500 juta. ”Dengan uang sebanyak itu, tentu membeli Rp 100 ventilator masih bisa dipertimbangkan," ujar Yuwono.
Selain itu, dia berharap dana tersebut juga bisa digunakan untuk memberikan pasokan makanan demi masyarakat yang terdampak.
”Pasokan makanan yang seimbang sangat baik untuk memperbaiki kondisi gizi mereka. Ini bisa dilakukan dengan membuka dapur darurat atau memberikan makanan gratis bagi mereka yang menjalani isolasi mandiri,” ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Polda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri yang mendapatkan mandat untuk mengelola sumbangan tesebut mengatakan akan meminta pendapat para ahli agar dana tersebut dapat digunakan secara tepat guna. ”Ini merupakan amanah yang besar dan tentu harus digunakan secara bertanggung jawab,” ujarnya.
Dokter keluarga mendiang Akidi Tio, Hardi Darmawan, berharap agar dana ini dapat digunakan untuk mengentaskan permasalahan yang ada di lapangan dari hulu dan hilir. ”Keluarga berharap agar ini bisa membantu pemerintah dan warga Sumsel untuk segera keluar dari pandemi,” ucapnya.