Camat Jadi ”New Man”, Sukarelawan-Nakes Berjibaku Menjaga Surabaya
Berbagai cara dan aksi sesuai kemampuan dan keahlian dilakukan berbagai kalangan warga Kota Surabaya untuk terlibat dalam penanganan Covid-19. Tujuannya, demi menuju kenormalan baru yang masih harus diperjuangkan.
Sejak virus korona menyergap negeri ini pertengahan Maret 2020, hidup sehari-hari berubah drastis. Paling mendasar membiasakan yang tak biasa dengan terus bermasker, menjaga jarak, menghindari berkerumun, dan sering mencuci tangan dengan sabun atau cairan. Kebiasaan baru yang tak mudah dibiasakan.
Di Kota Surabaya, sosialisasi keganasan penularan virus SARS-CoV-2 dengan kiat khusus, terutama bagi warga Surabaya di wilayah utara, Jembatan Merah, kawasan Ampel, dan Pasar Atom. Di wilayah pesisir itu, sosialisasi baru efektif jika diucapkan dengan bahasa Madura.
Untuk itu, Yunus (44), Camat Sawahan Kota Surabaya, harus berjibaku setiap hari. Ia yang pada Desember 2020 menjadi sosok ”New Man” dengan kostum ala Superman blusukan ke pasar dan pusat perbelanjaan dan ruang publik, kembali menyosialisasikan protokol kesehatan.
Dari pagi hingga sore, Yunus yang tujuh tahun terakhir menjadi Camat Sawahan keluar masuk pasar dan pusat perbelanjaan menyerukan menaati protokol kesehatan. ”Jangan pernah lepas masker, jaga jarak, dan selalu mencuci tangan,” serunya dengan bahasa Madura melalui pelantang suara.
Sosok ayah empat anak ini kembali penting ketika Pemerintah Kota Surabaya sejak Sabtu (5/6/2021) hingga Senin (21/6/2021) melakukan penyekatan di Jembatan Suramadu, sisi Surabaya. Penyekatan sekaligus mewajibkan semua pelintas dari wilayah Bangkalan, Madura, yang hendak masuk kota berpenduduk 2,9 juta jiwa ini mengikuti tes swab antigen.
Lihat juga : ”New Man”, Pahlawan Protokol Kesehatan Surabaya
Penyekatan 14 hari ini dilakukan karena ada lima desa zona merah di Kabupaten Bangkalan dengan pasien terinfeksi virus varian Delta yang lebih ganas dan cepat menular. Upaya Pemkot Surabaya menghadang penularan Covid-19 tak sepenuhnya diterima warga Pulau Madura, yang setiap hari ribuan orang melaju ke Surabaya.
Dalam situasi itu, Yunus selalu berada di lokasi penyekatan untuk meyakinkan warga Bangkalan agar mau di-swab antigen. Untuk menenangkan sekaligus memberi pemahaman betapa bahayanya Covid-19, alumnus angkatan ke-VII Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) itu sering berjaga.
Berbicara menggunakan bahasa Madura, ia berusaha memberi pemahaman kepada warga Bangkalan agar tak takut di-swab. Tidak perlu melarikan diri menghindari swab, seperti dilakukan sebelumnya dengan membobol beberapa pagar jembatan Suramadu sepanjang 5,5 kilometer itu.
”Tak usa takok e test, kabbi panekah kaangguy kemaslahatan oreng bennya, covid benne penyaket aib, ngereng taat teros protokol kesehatan (Tak perlu takut tes, Covid-19 bukan aib, maka selalu patuhi protokol kesehatan),” begitu Yunus selalu memberi pemahanan kepada warga Madura yang melintas di Suramadu.
Aksi suami dari Ida Purwanti (38) ini kembali mencuat ketika Senin (19/7/2021) ia menjemput sendiri pasien Covid-19 dibawa ke Rumah Sakit Lapangan Tembak. Dengan memakai alat pelindung diri (APD) lengkap, ia memegang kemudi ambulans karena saat itu pengemudi sedang kosong.
Baca juga : Pelanggaran Protokol Kesehatan di Surabaya Cerminkan Krisis Kepercayaan
”Saya melihat pasien sudah sulit bernapas, jadi enggak mungkin ditangani perawat dari puskesmas di rumah itu. Saya putuskan langsung bawa ke rumah sakit,” katanya.
Sukarelawan pemakaman
Terus bergerak tak kenal lelah juga dijalani petugas pemakaman, seperti Ari Triastutik (45). Dia salah satu petugas pemakaman jenazah Covid-19 di TPU Keputih, Surabaya. Setiap hari Ari bersama timnya memakamkan puluhan jenazah di TPU Keputih. Jam kerja normalnya 12 jam sehari, tetapi enggan rasanya membiarkan sesama petugas meneruskan pemakaman.
Padahal, sebagai istri, Ari juga memasak bagi keluarga. Sepanjang hari, telepon seluler tak pernah jauh dari genggaman, menunggu panggilan beranjak ke TPU Keputih.
Menjadi petugas pemakaman setelah bergabung dengan Relawan Surabaya Memanggil juga dialami Gedion Kristian Prasetya (25). Pengalaman pertama menjadi sukrelawan pemakaman langsung menangani banyak jenazah yang meninggal akibat Covid-19. Aktivitasnya mulai dari memindahkan, memandikan, hingga mengafani jenazah.
”Saya bergabung menjadi sukrelawan karena ingin benar-benar membantu Pemkot Surabaya menangani Covid-19. Kalau bukan kita, siapa lagi, apalagi faktanya banyak tenaga kesehatan bertumbangan,” katanya.
Awalnya, Gedion mengaku sempat tidak percaya dengan kondisi pandemi Covid-19. Namun, ia melihat sendiri kondisi banyak tenaga kesehatan (nakes) yang terpapar dan meninggal. Apalagi, hampir setiap hari ia menyaksikan banyak jenazah dimakamkan, yang menambah niatnya menolong sesuai kemampuannya, sebagai sukarelawan.
Baca juga : Surabaya Memanggil Sukarelawan untuk Menghadang Penularan Korona
”Saya gembira karena menjadi sukarelawan benar-benar tulus membantu,” katanya. Sebagai sukarelawan, ia bertugas 8 jam per hari. ”Sebelum bertugas, saya rutin mengonsumsi vitamin dan jangan terlalu memikirkan banyak kemungkinan agar imunitas terjaga. Saat bertugas, memakai APD lengkap,” katanya.
Data Dinas Kesehatan Kota Surabaya, sejak awal pandemi hingga saat ini, ratusan nakes sudah terpapar Covid-19. Sebagian dari mereka sembuh, tetapi tak sedikit pula yang berpulang dalam tugas. Itu membuat para nakes bekerja ekstra karena kekurangan petugas.
Kepala Bidang Pelayanan dan Penunjang Medik RSUD dr Mohamad Sowandhie, Arif Setiawan, misalnya, yang harus mengorbankan jatah libur karena berkurangnya jumlah nakes. Awalnya, rumah sakit itu hanya menyediakan 90 tempat tidur bagi pasien korona. Namun, seiring pertambahan kasus, akhirnya ditambah menjadi 161 tempat tidur.
Beban tugas Arif bertambah ketika Rumah Sakit Lapangan Tembak (RSLT) yang diampu RSUD Sowandhie mulai menerima pasien Covid-19. Pasien di RSLT adalah mereka yang bergejala ringan dan berat. Bahkan, beberapa pasien tiba dengan kondisi saturasi di bawah 80 dari normalnya di atas 95.
Baca juga : Tenaga Kesehatan ”Kota Pahlawan” Kembali Bertumbangan
”Saya kalau mengawasi oksigen saat jaga malam tidak bisa tidur. Khawatir oksigen pasien habis. Tiap satu jam saya tengok satu per satu sampai subuh, begitu seterusnya,” ujarnya.
Kesiagaan dan kerja ekstra juga dilakukan Kepala Puskesmas Ketabang,
Dengan nakes 41 orang, Joyce mengaku terkadang kesulitan membagi kegiatan. Misalnya, pada hari yang sama ada vaksinasi massal, swab massal, dan penanganan pasien terpapar hingga tetap melakukan 3T. Apalagi, beberapa nakes terpaksa melakukan isolasi mandiri akibat terpapar Covid-19.
Kian cepatnya penularan virus korona, terutama varian Delta, membuat keterisian rumah sakit (bed occupancy rate/BOR) Kota Surabaya mencapai 91,86 persen. Data Satgas Covid-19 Jatim pada 20 Juli 2021, keterisian ruang isolasi intensif, seperti ruang dengan fasilitas Intensive Care Unit (ICU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU), dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU), masih tinggi dibandingkan dengan ruang isolasi biasa.
Di Kota Surabaya terdapat 60 rumah sakit dengan 9.876 tempat tidur. Untuk menanggulangi dan menghadang penyebaran virus korona, Pemerintah Kota Surabaya mengoperasikan semua puskesmas selama 24 jam. Sebuah peperangan total.
Ketika vaksinasi digencarkan, semua kepala perangkat daerah, camat, lurah, serta kepala puskesmas melibatkan semua staf di unit masing-masing untuk membantu puskesmas melakukan pelacakan kepada pasien terkonfirmasi Covid-19.
Semua bergerak bersama agar Kota Surabaya segera kembali ke zona hijau sesungguhnya agar aktivitas bisa berjalan dalam situasi kenormalan baru. Untuk itu, hal paling penting adalah mendisiplinkan warga—sebagai pembawa risiko penyebaran virus korona—selalu mematuhi protokol kesehatan. Jika tetap tak percaya pada Covid-19, setidaknya hargailah para petugas yang bekerja keras menyerukan tetap bermasker, tak berkerumun, dan selalu mencuci tangan.