Surabaya Terus Tambah ”Rumah Sehat” untuk Isolasi Pasien
Kasus aktif Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur, masih tinggi sehingga potensi penularan juga belum melandai. Pasien diupayakan isolasi agar tidak menulari keluarga atau lingkungan di Rumah Sehat di kelurahan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, terus menambah fasilitas isolasi pasien Covid-19 yang disebut ”Rumah Sehat”. Gedung-gedung di kelurahan yang kurang optimal pemanfaatannya digunakan untuk isolasi pasien tanpa gejala atau bergejala ringan.
Penambahan fasilitas isolasi perlu terus ditempuh karena jumlah pasien yang perlu ditangani atau kasus aktif masih tinggi. Di Surabaya, sampai dengan Senin (26/7/2021), tercatat 10.064 kasus aktif. Itu setara 19,5 persen dari 51.699 kasus aktif se-Jatim.
Sebanyak 10.064 kasus aktif tersebut menggambarkan jumlah pasien warga Surabaya. Di sisi lain, sebagai ibu kota Jatim, Surabaya juga menangani pasien-pasien rujukan dengan kondisi darurat dari 37 kabupaten/kota lainnya di provinsi tersebut.
Menurut Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, tanpa penambahan fasilitas isolasi melalui program Rumah Sehat, warganya yang masih terpapar bisa kesulitan mendapat tempat penanganan. Surabaya berupaya menghindari penerapan isolasi mandiri di rumah warga terpapar untuk mencegah penularan ke anggota keluarga lainnya. Konsekuensinya, Surabaya perlu menambah tempat isolasi.
Tempat isolasi skala besar yang telah disiapkan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Surabaya ialah RS Darurat di Lapangan Tembak Kedung Cowek, Gedung Olahraga Indoor Stadion Gelora Bung Tomo, dan Lapangan Kalibokor. Sebelumnya, Asrama Haji Sukolilo juga telah dimanfaatkan, tetapi bercampur dengan warga bukan dari Surabaya.
Eri mengatakan, peningkatan kasus harian sejak awal Juni yang belum mereda mengakibatkan kasus aktif melonjak. Jika RS darurat tidak mampu mengatasi jumlah kasus aktif, perlu dicarikan lokasi lainnya untuk isolasi pasien. ”Program Rumah Sehat kami dorong dengan memanfaatkan gedung kelurahan, sekolah, balai RW, atau gedung lainnya,” katanya.
Rumah Sehat antara lain telah disiapkan di bekas kantor Kelurahan Mulyorejo, SMK Kristen Harapan Sejati di Kelurahan Lontar, SD Negeri Gading III di Kelurahan Gading, SD Negeri Sumberejo II di Kelurahan Sumberejo, dan Rumah Sehat Gubeng di Kelurahan Gubeng. Rumah Sehat idealnya disediakan di tingkat rukun warga (RW), tetapi karena keterbatasan tenaga kesehatan dan gugus tugas akhirnya diaktifkan di tingkat kelurahan.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Febria Rachmanita menambahkan, dengan keberadaan Rumah Sehat, warga kelurahan yang terpapar dan tidak bergejala bisa ditangani dan memulihkan diri di fasilitas terdekat atau tanpa ke RS darurat atau RS rujukan lainnya. Tenaga kesehatan dari puskesmas akan lebih efektif menjangkau, menangani, dan memantau perkembangan kesehatan pasien.
Meski demikian, program Rumah Sehat tidak semerta-merta diterima dan didukung warga. Penolakan datang dari warga terdekat dengan calon lokasi Rumah Sehat yang berada di tengah permukiman padat, seperti sekolah, balai, atau gedung. Setelah dicarikan lokasi lain yang lebih mudah dijangkau dan tidak di tengah permukiman padat, warga pun menerima.
Ketua Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) Kelurahan Gubeng Chusaini mengatakan, lokasi awal Rumah Sehat di SD Negeri Gubeng I ditolak warga karena berada di tengah kampung. Akhirnya, lokasi baru ditentukan dan diterima, yakni gedung aset pemerintah di Jalan Nias.
Sampai dengan Juni lalu, Covid-19 telah menjangkiti 250.000 anak.
”Lokasi baru justru mendapat dukungan warga di mana penyiapan gedung itu sebagai Rumah Sehat dikerjakan oleh masyarakat,” kata Chusaini.
Masih soal Covid-19, pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga, Surabaya, Retno Asih Setyoningrum, mengungkapkan, sampai dengan Juni lalu, Covid-19 telah menjangkiti 250.000 anak. Tingkat kematian atau fatalitas 1,2 persen dari total 2,7 persen. Separuh kematian anak terpapar Covid-19 menimpa anak balita (bawah lima tahun).
”Serangan Covid-19 pada anak beragam, mulai dari yang ringan sampai berat yang mengancam nyawa,” ujar Retno, dokter spesialis anak konsulen itu. Orangtua diminta mewaspadai apabila ada indikasi kemunculan gejala sistemik atau multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) pada anak.
Penanganan terhadap anak terpapar Covid-19, lanjut Retno, bergantung dari derajat sakitnya. Yang tanpa gejala dan ringan mungkin bisa ditangani di rumah, tetapi harus dipantau terus-menerus agar tidak memburuk dan membahayakan anak. Jika penanganan di rumah, kondisi anak harus diperiksa setidaknya dua kali sehari, yakni suhu tubuh, batuk, pilek, kulit, sensitivitas indera, dan konsumsi makanan-minuman.
”Segera bawa ke rumah sakit jika gejala anak banyak tidur, napas cepat, ada cekungan di dada dan hidung kembang kempis, saturasi oksigen kurang dari 95 persen, mata merah, terdapat ruam, leher bengkak, demam, tidak bisa makan dan minum, mata cekung, buang air kecil berkurang, dan terjadi penurunan kesadaran,” tutur Retno.