Gaung Mitigasi Dini Wabah Penyakit Ikan di Jambi
Inovasi aplikasi perikanan budidaya di Jambi membasmi wabah penyakit ikan sejak awal. Peternak, pembudidaya, hingga eksportir terbantu. Efisiensi juga pada ongkos layanan.
Wabah penyakit ikan pernah beruntun terjadi di Jambi. Wabah tercatat 12 kali berturut-turut menjangkit pada periode 2017-2019.
Salah satu yang terparah, Tilapia Lake Virus (TiLV), penyakit ikan yang berasal dari Timur Tengah. Menyebar hingga ke Indonesia beberapa tahun lalu, wabah ini akhirnya melahirkan semangat baru mitigasi dini.
Baca juga: Atur Budidaya dan Penangkapan Ikan di Danau Kerinci
Virus ini menyerang populasi ikan nila (Oreochromis niloticus) sampai-sampai memaksa otoritas di Jambi menutup lokasi pembenihan dan menghentikan lalu lintas perdagangan. Keputusan tersebut diambil setelah virus dicurigai telah sampai di wilayah itu.
”Keluar masuk nila di Jambi terpaksa distop sementara,” kata Miftahul Fikar, Inspektur Mutu dan Karantina di Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Jambi, Senin (19/7/2021). Selain itu, seluruh ikan di salah satu lokasi pembenihan nila terbesar terpaksa dimusnahkan demi mengantisipasi dampak meluas.
TiLV disebut-sebut sangat ganas. Ketika virus telah menginfeksi, ikan hanya mampu bertahan hidup 4 hingga 7 hari.
Penyakit yang disebabkan TiLV pertama kali dilaporkan menyerang ikan jenis Tilapia yang ada di Danau Kinneret (Sea of Galilee) dan ikan budidaya di Israel pada 2009. Beberapa tahun kemudian, kasus kematian massal serupa pada ikan tilapia terjadi di Ekuador, lalu menyusul pada 2016, kematian berlanjut hingga Indonesia, persisnya di perairan Lombok.
Kali ini, kematian menyerang nila. Hasil laboratorium mengungkap ikan-ikan yang mati itu terinfeksi TiLV.
Virus merusak otak, sistem saraf, hingga hati ikan. Dalam waktu singkat, tubuh ikan menghitam, bola mata membengkak, kornea mata menyusut, dan rongga perut membengkak. Ikan jadi lemah dan selalu muncul di permukaan air.
Baca juga: Kapal Ikan Asing Ilegal Masih Marak Beroperasi
Saat virus yang sama dicurigai memapar hingga ke Jambi, antisipasi cepat dilakukan. Lalu lintas ikan distop. Lalu, dilakukan pemusnahan nila pada lokasi yang dicurigai terinfeksi virus. Akhirnya, penyebaran virus berhasil dikendalikan sebelum makin meluas.
Pengalaman itu mendorong BKIPM Jambi mengupayakan mitigasi dini. Hasilnya, lahirlah aplikasi terintegrasi yang kini bernama ”Patin Jambi Kito”.
Aplikasi itu diinisiasi terbatas 2018 dengan nama LabKit, lalu bertransformasi menjadi aplikasi terbuka mulai 2019. Nama ”Patin Jambi Kito” secara resmi mulai disematkan awal 2021.
Aplikasi memberikan informasi seluas-luasnya mengenai ragam jenis penyakit yang dapat terjadi pada ikan. Tujuannya supaya para petani di lokasi budidaya atau warga di sekitar perairan terbuka memiliki literasi memadai perihal kesehatan ikan.
Atas setiap jenis penyakit akibat virus, bakteri, ataupun jamur akan diberikan pula rekomendasi obat serta langkah penanganan cepat. Informasi resep obat-obatan terhubung langsung dengan aplikasi Sibatik (Sistem Obat Ikan) milik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dengan begitu, petani dapat bertindak sedini mungkin untuk mengantisipasi.
Baca juga: Peluang Inovasi Teknologi Dibuka untuk Bangkitkan Ekonomi Perikanan
Jika terjadi kematian massal pada ikan di kolam budidaya atau di perairan terbuka, dapat pula dilaporkan lewat aplikasi. Petugas admin akan langsung merespons.
Satu ketika, Refdy, pengelola budidaya ikan di Kabupaten Tebo, melaporkan kematian ratusan ikan di sejumlah kolam lelenya. ”Ikan lele kami mengalami kematian massal. Gejalanya banyak yang diam menggantung di permukaan. Mohon solusinya dari karantina (BKIPM),” demikian ia tuliskan dalam pesan di aplikasi. Pada hari yang sama, tim admin langsung merespons.
Esok harinya, petugas lapangan sudah tiba di lokasi kolam untuk mengecek penyebab kematian massal. Petugas mendapati kondisi kolam tidak sehat. Sirkulasi air stagnan. Kolam juga tak pernah dikuras sehingga amoniak mengumpul berlebihan dan meracuni ikan.
Akhirnya, petugas membantu asupan obat dan menyarankan sejumlah pembenahan budidaya. Lewat dukungan itulah, ancaman kematian yang meluas dapat dihindari.
Baca juga: Ikan-ikan di Pulau Emas
Tak hanya membuka akses informasi dan pendampingan langsung, aplikasi juga memberikan layanan terintegrasi bagi para petani ikan, pengekspor, hingga peneliti. Jika petani bermaksud mengirimkan sampel ikan yang akan dikirim ke luar daerah, dapat langsung mendaftar lewat aplikasi, selanjutnya sampel ikan tak perlu diantar, tetapi dapat dikirim lewat ekspedisi.
Adapun biaya kirimnya bahkan ditanggung dinas perikanan setempat. Setelah uji laboratorium selesai, petani pun tidak perlu jauh-jauh datang ke Jambi. Cukup dengan membuka aplikasi di ponselnya untuk mengetahui hasilnya.
Begitu pula pengekspor ikan dan hasil laut yang hendak mengurus sertifikasi mutu dan keamanan atau membayar penerimaan negara bukan pajak dapat mengakses lewat aplikasi Patin Jambi Kito. Pembayarannya langsung lewat transfer rekening perbankan.
Baca juga: Butuh Inovasi untuk Tertibkan Sektor Perikanan
Di masa pandemi yang menuntut setiap orang saling menjaga jarak demi alasan keselamatan, kehadiran aplikasi jadi memudahkan. Dalam waktu singkat, aplikasi telah diakses lebih dari 172.000 pengguna.
Sejak Januari hingga Juli 2021, sudah 1.582 pengujian sampel ikan masuk melalui layanan aplikasi. Itu terdiri dari 473 pengujian bakteri, 42 pengujian mutu, dan 541 pengujian virus. Selebihnya, 80 kali uji parasit dan 60 uji jamur.
Kepala BKIPM Jambi Piyan Gustaffiana mengatakan, aplikasi Patin Jambi Kito untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha di masa pandemi. ”Seluruh proses tidak memerlukan tatap muka, tetapi pelaku usaha dapat mengakses laboratorium dan laporannya secara digital,” katanya.
Hasil inovasi lewat aplikasi telah efektif memangkas berbagai ongkos biaya dan waktu, bahkan signifikan menekan terjadinya ancaman wabah. Tahun 2019, saat aplikasi belum dibuka, terjadi 8 kali kejadian wabah penyakit ikan. Tahun 2020, setelah aplikasi dapat diakses publik, wabah ditekan menjadi nol.
Baca juga: Ekspor Perikanan Tumbuh 792 Persen di Tengah Pandemi
Selain itu, frekuensi pengiriman ikan domestik dan luar negeri naik dari 11.308 menjadi 17.311 kali. Nilai ekspor pun meningkat dari Rp 5,58 miliar (2019) menjadi Rp 6,2 miliar (2020). Volume pengiriman produk dari 1.905 ton menjadi 4.150 ton.
Yang tak kalah menarik, frekuensi pemeriksaaan laboratorium terdongkrak naik dari 3.014 sampel menjadi 5.264 sampel. Hal itu menunjukkan meningkatnya kesadaran berliterasi pada sektor perikanan dan kelautan. Itu terwujud karena kemudahan akses informasi.
Inovasi dan aplikasi mengefisienkan biaya operasional mengakses layanan oleh masyarakat. Jika sebelumnya bisa mencapai Rp 500.000 per layanan, setelah adanya aplikasi menjadi Rp 10.000 hingga Rp 70.000. Efisiensi terjadi karena pelaku usaha tak perlu bepergian ke kantor BKIPM, tetapi cukup mengakses aplikasinya.