Situasi pandemi Covid-19 di Jawa Timur belum melandai karena peningkatan kasus tetap tinggi dalam masa PPKM darurat dan diperpanjang menjadi PPKM level 3-4.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 di Jawa Timur belum juga melandai. Situasi tidak membaik meski ada pembatasan kegiatan masyarakat darurat yang diperpanjang menjadi level 3-4 kurun 3-25 Juli 2021.
Saat PPKM darurat diberlakukan, Sabtu (3/7), penambahan harian di Jatim 1.439 kasus, kesembuhan 760 orang, kematian 96 orang, dan kasus aktif atau pasien dirawat 9.698 orang. Di hari terakhir PPKM level 3-4, Minggu (25/7), penambahan harian 4.763 kasus, kesembuhan 4.674 orang, kematian 318 orang, dan pasien dirawat 53.353 orang.
Data dari laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/ itu, jika diakumulasi, selama PPKM ini, ada penambahan 99.847 kasus, kesembuhan 50.752 orang, kematian 5.441 orang, dan pasien dirawat 43.655 orang. Rerata harian terjadi penambahan 4.342 kasus, kesembuhan 2.207 orang, kematian 237 orang, dan pasien dirawat 1.898 orang.
Penambahan kasus hampir dua kali lipat dari kesembuhan. Dampaknya, jumlah pasien dirawat terus bertambah sehingga memaksa aparatur terpadu terus menambah fasilitas isolasi. Berbagai prasarana dimaksimalkan untuk penanganan pasien Covid-19 tanpa gejala sampai ringan, misalnya Asrama Haji Sukolilo dan Balai Diklat Keagamaan. Selain itu, memanfaatkan prasarana lainnya sebagai rumah sakit darurat dalam koordinasi RS rujukan atau RS rujukan utama.
Misalnya, RS Darurat Lapangan Tembak Kedung Cowek dalam koordinasi RSUD Dr Mohamad Soewandhie. RS Darurat Pangkalan Marinir Surabaya dalam koordinasi RSPAL Dr Ramelan. Sampai dengan akhir tahun lalu, jumlah tempat tidur untuk isolasi pasien di Jatim sekitar 9.000 dipan.
Peningkatan kasus sejak awal tahun dan ledakan sejak Juni lalu memaksa aparatur se-Jatim menambah kapasitas menjadi 15.000 dipan dan terkini lebih dari 30.000 dipan. Namun, jumlah itu belum mampu menampung semua kasus aktif sehingga masih banyak yang menjalani isolasi mandiri dengan risiko menulari keluarga atau orang lain.
Peningkatan kasus yang masih luar biasa ini bisa diyakini merupakan dampak serangan varian Aplha, Beta, dan atau Delta yang lebih cepat menular dan memperburuk kondisi kesehatan pasien.
Untuk menampung orang tanpa gejalanya (OTG), Pemerintah Kota Surabaya terus mempersiapkan beberapa gedung sekolah, kantor kelurahan, serta gedung olahraga sebagai tempat pemusatan isolasi mandiri. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi bahkan meminta jajaran agar di setiap kelurahan ada rumah sehat sebagai tempat isolasi bagi warga berstatus OTG.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengatakan, lonjakan kasus selama PPKM darurat dan level 3-4 bukan berarti kebijakan itu tidak efektif. Tanpa kebijakan yang lebih tegas dari sebelumnya, yakni PPKM dan PPKM mikro, aparatur tidak memiliki landasan kuat untuk mengungkap lebih banyak kasus Covid-19.
Dengan PPKM saat ini, memang terasa lebih gencar pengetesan, pelacakan, dan penanganan (testing, tracing, treatment atau 3T). Gencarnya 3T akan linier dengan terungkapnya kasus-kasus yang tersembunyi. Menurut Windhu, tanpa 3T yang gencar, situasi pandemi yang melandai bisa jadi semu. Sebelumnya, rekor penambahan kasus harian tertinggi di Jatim 1.198 kasus pada pertengahan Januari. Rekor itu pecah berkali-kali dalam masa PPKM ini dan yang terbaru, 8.230 kasus dalam sehari, terjadi pada pertengahan Juli lalu.
”Peningkatan kasus yang masih luar biasa ini bisa diyakini merupakan dampak serangan varian Aplha, Beta, dan atau Delta yang lebih cepat menular dan memperburuk kondisi kesehatan pasien,” kata Windhu. Sebelum Juni, lonjakan kasus sekaligus kebutuhan oksigen bagi pasien tidak pernah sedramatis saat ini. Fatalitas atau kematian yang sebelumnya di bawah 100 orang dalam sehari menjadi tiga-empat kali lipat di masa PPKM ini.
Selain menerapkan pembatasan sosial, aparatur juga menggencarkan vaksinasi dengan harapan tercapai kekebalan kelompok (herd immunity). Pada masa PPKM, vaksinasi juga digencarkan seiring penambahan kapasitas isolasi, penanganan ketersediaan oksigen, dan urusan pemakaman jenazah. ”PPKM kembali menjadi masa yang sulit dan kritis bagi masyarakat untuk melihat apakah situasi bisa segera melandai atau akan muncul tantangan lagi,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk populasi provinsi yang 40 juta jiwa, dalam masa pandemi ini, aparatur perlu mengadakan 40.000 pengetesan dan pelacakan. Namun, selama PPKM, dalam sepekan diklaim 86.000 pengetesan dan pelacakan.
”Pengetesan dan pelacakan yang tinggi mendorong terungkapnya kasus-kasus sehingga linier dengan peningkatan jumlah kasus harian yang tinggi, bahkan melonjak,” kata Emil. Lonjakan kasus seperti saat ini perlu diketahui oleh masyarakat. Harapannya, masyarakat tetap mau disiplin menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan meluas kembali.
Selama PPKM darurat yang mirip dengan pembatasan sosial berskala besar tahun lalu, dampaknya okupansi rata-rata maksimal 10 persen. Kami sudah lempar handuk alias menyerah.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim Dwi Cahyono mengatakan, PPKM yang pada prinsipnya dilaksanakan sejak pertengahan Januari dan dampak pandemi sejak Maret 2020 telah membuat pengusaha kepariwisataan babak belur.
”Selama PPKM darurat yang mirip dengan pembatasan sosial berskala besar tahun lalu, dampaknya okupansi rata-rata maksimal 10 persen. Kami sudah lempar handuk alias menyerah,” kata Dwi. Mayoritas dari 780 anggota PHRI Jatim terpaksa mengurangi jumlah pekerja, menutup operasional, bahkan menjual harta benda untuk menghindari kebangkrutan.
Dwi mengatakan, dengan okupansi yang amat minim, mustahil pengusaha kepariwisataan dapat tetap beroperasi. Di sisi lain, pemerintah tidak memberikan insentif, misalnya penghapusan atau penundaan pembayaran pajak, listrik, dan air. ”Kalau tidak ada intervensi berupa insentif, mustahil bisa jalan, apalagi pulih,” ujarnya.