Asa Baru Petani Pinang Jambi di Tengah Pandemi
Kawasan industri terpadu merupakan cita-cita yang telah lama menggantung di Jambi.
Buah pinang (Areca nut) di pesisir timur Jambi adalah salah satu pinang terbaik di dunia. Kini, pinang sedang kehilangan pamor. Harganya anjlok terpukul Covid-19.
Di tengah merosotnya harga jual buah pinang dari Rp 12.000 menjadi Rp 7.000 per kilogram, muncul ide untuk mengolah pelepahnya menjadi barang kerajinan. Para petani menyambut baik tatkala mendapat tawaran pendampingan untuk mengolah pelepah pinang menjadi produk bernilai ekonomis.
Pengolahan limbah pelepah menjadi kerajinan piring dan mangkuk telah dirintis sejumlah peneliti serta alumni Program Studi Teknologi Pertanian yang tergabung di Rumah Jambe-e serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jambi. Mereka lalu mengajak petani pinang turut serta.
Kami sangat berharap usaha baru ini bisa mendongkrak unit usaha produksi di desa. (Abdul Rahman)
Setelah dilatih, petani diberikan bantuan mesin pencetak piring pelepah pinang hasil inovasi Rumah Jambe-e. Rangkaian pelatihan dan bantuan mesin memampukan petani menghasilkan sendiri produk kerajinan itu. Hasilnya mereka pasok lewat Rumah Jambe-e untuk dipasarkan secara daring, di antaranya di Tokopedia dan Bukalapak.
”Kami sangat berharap usaha baru ini bisa mendongkrak unit usaha produksi di desa,” kata Abdul Rahman, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Lojo’ Kleppaa di Desa Sinar Wajo, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jumat (16/7/2021).
Baca juga: Hidupkan Kearifan Lokal lewat Inovasi Pelepah Pinang
Piring dan mangkuk dari limbah pelepah pinang tergolong ramah lingkungan dan cepat terurai di alam. Jika tidak lagi digunakan dan akhirnya dibuang ke tanah, hanya butuh dua bulan lamanya untuk luruh di alam.
Produk dari bahan ini jadi alternatif kemasan plastik dan styrofoam yang selama ini menjadi beban bagi lingkungan. Butuh ratusan tahun bagi wadah plastik dan styrofoam untuk dapat terurai di tanah.
Kelebihan lain, wadah dari pelepah pinang bernilai estetis. Memiliki beragam motif alami yang tampak eksotis. Dan, yang tak kalah penting, dapat digunakan berulang kali sehingga lebih ekonomis.
Harganya pun relatif terjangkau. Di pasaran daring, harga piringnya mulai dari Rp 2.350 hingga di atas Rp 5.000 per buah. Dalam sebulan, rata-rata volume penjualan produk pelepah pinang ini mencapai 2.000-an piring dan mangkuk. ”Potensi pasarnya pun terbuka luas, khususnya untuk ekspor,” kata Sahrial, dosen Teknologi Pertanian Unja sekaligus pendiri Rumah Jambe-e.
Belum lama ini mereka menyiapkan pesanan untuk diekspor ke Korea Selatan dan Singapura. Jika permintaan terus bertambah, pelibatan petani di sentra produksi pinang pastilah perlu ditingkatkan.
Proses pembuatan wadah dari pelepah pinang tidaklah rumit karena adanya mesin cetak. Pelepah yang semula berbentuk tak beraturan dapat mudah dibentuk dalam tekanan mesin bersuhu tinggi. Tekanan itu sekaligus mengurangi kadar air hingga di bawah 10 persen sehingga tambah awet.
Teknologi ini, kata Sahrial, dapat pula dikembangkan untuk mengelola wadah serupa dari bahan alam lainnya, seperti pelepah sawit, pelepah kelapa, dan daun jati. Namun, pengembangannya masih terus berlanjut.
Pendampingan
Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, yang mendampingi masyarakat desa itu, Azis Sigalingging, menceritakan, pendampingan tersebut dalam rangka pengembangan usaha perhutanan sosial berbasis potensi lokal. Selain di Sinar Wajo, pendampingan serupa dilakukan pada KUPS Kodopi Mitra Madani di Desa Sungai Beras.
Selama ini, hampir 100 persen masyarakat Desa Sinar Wajo mengandalkan pinang sebagai sumber penghidupannya. Pinang yang diproduksi di wilayah pesisir timur Jambi itu disebut-sebut sebagai pinang terbaik di dunia karena buahnya yang besar-besar dan kadar air rendah. Pemerintah juga telah menetapkannya sebagai varietas unggul sejak 2013.
Kadar air yang rendah juga didapati pada pelepahnya sehingga cocok diolah menjadi wadah. Tiga daerah di Jambi yang menjadi sentra komoditas pinang meliputi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi dengan luas 21.819 hektar.
Baca juga: Jambi Butuh Industri Hilir Pinang
Sejak pandemi Covid-19 melanda, permintaan dunia akan komoditas biji pinang terus menurun. Apalagi, importir terbesar, yakni India, Bangladesh, dan China, saat ini mengurangi permintaan pinang dari Indonesia. India masih berjuang mengatasi ledakan kasus Covid-19. Ekspor pinang dari Jambi pada April 2021 bernilai 15 juta dollar AS, turun 33,75 persen pada Mei menjadi 10,3 juta dollar AS.
Pinang diekspor untuk diolah menjadi permen kesehatan serta bahan antioksidan dan antibakteri. Hasil penelitian Sahrial berkolaborasi dengan peneliti Universitas Brawijaya dan Rajamangala University of Technology Lanna di Thailand menyebutkan, buah pinang mengandung banyak nutrisi dan senyawa aktif, seperti flavonoid, fenolat, katekin, quercetin, dan sebagian kecil tanin, yang semuanya bermanfaat sebagai antioksidan alami.
Karena permintaan buah pinang yang terus menurun selama pandemi, petani harus mencari cara tetap bertahan hidup. ”Kami harus putar arah mencari peluang baru untuk menyambung perekonomian keluarga. Dari situlah lahir usaha kerajinan pelepah pinang di desa ini,” jelas Abdul lagi.
Baca juga: Ragam Makanan dari Hasil Hutan
Seiring niatan masyarakat mengolah pelepah pinang, Gubernur Jambi Al Haris berencana pula mengembangkan komoditas itu. Ia menyebut volume ekspor pinang sebanyak 80.281 ton merupakan potensi besar dan masih terbuka lebar untuk dikembangkan. Caranya dengan membuka kawasan industri terpadu.
Menandai keinginannya mengembangkan potensi pinang, Kamis (15/7/2021), Haris menanam bibit pinang di wilayah Remau Bako Tuo, areal gambut dan pasang surut air laut di pesisir Jambi. ”Pengembangan tanaman pinang di sini cocok dengan kondisi alamnya. Optimal juga meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta perekonomian Provinsi Jambi,” katanya.
Baca juga: Kreatif Bangun Agroindustri dan Pariwisata Kopi
Seiring dengan itu, ia pun bertekad membangun kawasan ekonomi baru yang disebut ”Sentusa” alis Sengeti-Tungkal-Sabak. Tungkal dan Sabak merupakan wilayah pesisir timur Jambi. Artinya, dengan mengembangkan kawasan ini akan membuka masuknya industri untuk pengolahan hasil-hasil perkebunan unggulan.
Pengamat ekonomi Universitas Batanghari, Pantun Bukit, mengatakan, kawasan industri terpadu merupakan cita-cita yang telah lama menggantung di daerah itu. Di masa terdahulu, pemerintahan daerah belum mampu membuka keran investasi industri hilir, menyebabkan sebagian besar komoditas unggulan dipasarkan keluar daerah dalam bentuk mentah.
”Padahal, jika dapat diolah hingga setengah jadi atau jadi, daerah akan menuai manfaatnya lebih besar. Ekonomi akan lebih terdongkrak. Persoalan pengangguran juga dapat teratasi,” paparnya.
Menjadi tantangan pemerintah daerah yang baru ini untuk mengembangkan di hilir. Tak hanya kawasan industri terpadu, sektor UMKM pengolahan hilir juga perlu terus didorong seperti halnya yang tengah digerakkan di Sinar Wajo dan Sungai Beras. Harapannya, kesejahteraan masyarakat terwujud lebih kokoh.