Korlap Demo Mahasiswa di Balikpapan Jadi Tersangka, Dijerat UU Kekarantinaan Kesehatan
Pengamat hukum menilai penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan tidak tepat karena karantina wilayah tidak dilakukan pemerintah. Sebab, dalam katantina wilayah, seluruh kebutuhan warga hingga ternaknya dipenuhi negara.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Koordinator lapangan aksi unjuk rasa mahasiswa di Balikpapan, Kalimantan Timur, ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar UU Kekarantinaan Kesehatan. Penggunaan pasal itu dinilai pengamat hukum tidak tepat karena negara tidak memberlakukan karantina wilayah atau karantina kesehatan.
Sebelumnya, pada Kamis (22/7/2021) siang, sekitar 100 mahasiswa dari berbagai universitas berkumpul di Simpang Plaza Balikpapan untuk melakukan demonstrasi. Mereka berunjuk rasa untuk mengkritisi kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Mereka menilai banyak masyarakat rentan yang tidak mendapat jaminan hidup selama masa pembatasan.
Menggunakan jaket almamater, mereka hendak berjalan ke Gedung Wali Kota Balikpapan yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari titik tersebut. Dana, salah satu peserta aksi, mengatakan bahwa koordinator lapangan sempat dipanggil anggota polisi saat mahasiswa akan melakukan long march.
Polisi meminta agar pengunjuk rasa dibubarkan karena Balikpapan sedang menjalankan PPKM level 4. Dana yang mendampingi korlap aksi mengatakan kepada polisi bahwa demonstrasi dijalankan dengan protokol kesehatan. Belum ada kesepakatan antara polisi dan perwakilan mahasiswa, tetapi beberapa saat kemudian sejumlah peserta aksi dibawa polisi. Suasana seketika ricuh.
”Tiba-tiba mahasiswa di depan sudah mulai ditangkapin sama aparat, termasuk korlap. Akhirnya teman-teman yang lain bubar,” ujar Dana saat dihubungi, Jumat (23/7/2021).
Secara terpisah, Kepala Kepolisian Resor Kota Balikpapan Komisaris Besar Turmudi mengatakan, ada 17 mahasiswa yang dibawa ke kantornya. Mereka dites usap antigen dengan hasil seluruhnya negatif Covid-19. Ia mengatakan, ada satu orang yang dijadikan tersangka karena diduga melanggar protokol kesehatan dengan mengumpulkan massa.
”Ada beberapa peran yang mereka lakukan. Tentunya akan kami pilah-pilah. Kita akan buat surat pernyataan hari ini dan panggil orangtua. Kemudian, satu ada yang akan kami jadikan tersangka karena itu merupakan pelanggaran prokes dan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan,” kata Turmudi.
Para mahasiswa yang ditahan di Kantor Polresta Balikpapan itu mendapat pendampingan hukum dari Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Universitas Balikpapan (LKBH Uniba). Advokat LKBH Uniba, Rinto, menjelaskan bahwa polisi sudah memulangkan sebagian mahasiswa setelah bermalam di Polresta Balikpapan.
Tiba-tiba mahasiswa di depan sudah mulai ditangkapin sama aparat, termasuk korlap. Akhirnya, teman-teman yang lain bubar.
Rinto menjelaskan, Septianus Hendra selaku korlap unjuk rasa statusnya naik menjadi tersangka pada Jumat (23/7) pagi. Hendra diduga melanggar Pasal 212, 216, dan 218 KUHP dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
”Selanjutnya tim hukum akan mengupayakan untuk tidak dilakukannya penahanan terhadap tersangka. Kita juga akan melakukan pendampingan hukum dalam proses hukum yang sedang berjalan,” ujar Rinto.
Tidak sesuai
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan terhadap pelanggar protokol kesehatan masih menjadi perdebatan. Sebab, kata Herdiansyah, kebijakan PPKM merupakan kebijakan yang berbeda dengan karantina wilayah dan karantina kesehatan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam Pasal 55 Ayat (1) UU No 6/2018 disebutkan, selama masa karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal itu, kata Herdiansyah, berbeda dengan kebijakan PPKM level IV yang saat ini dijalankan pemerintah.
”Kalau benar itu karantina kesehatan dan karantina wilayah, berarti pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap semua kebutuhan rakyat. Sementara PPKM ini, kan, tidak,” ujar Herdiansyah.
Ia juga menilai pemerintah tidak jelas dalam menangani pandemi Covid-19 yang sudah melanda Indonesia sekitar 1,5 tahun ini. Menurut dia, UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sudah jelas mengatur karantina wilayah, tetapi tidak digunakan. Pemerintah malah menggunakan istilah lain, seperti PSBB serta PKKM dengan berbagai level.
”Namun, UU ini justru digunakan untuk menggebuk rakyat yang marah dan protes terhadap cara pemerintah menangani pandemi,” katanya.
Kerancuan menggunakan pasal itu juga disoroti oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda. Sebab, sejumlah kegiatan yang mengundang kerumunan sempat terjadi di Balikpapan. Misalnya, dalam acara peragaan busana di Plaza Balikpapan pada PPKM mikro yang mengundang kerumunan di dalam ruangan (Kompas, 29/6/2021).
Saat itu, Satgas Covid-19, melalui Satpol PP Balikpapan memberikan sanksi administratif sesuai peraturan daerah. Adapun polisi tidak memproses hukum menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, seperti yang dilakukan kepada mahasiswa yang berdemonstrasi.
”Jadi, ada kesalahan kita yang berulang dalam pembentukan aturan dan penerapannya. Tidak jelas,” ujar Advokat Publik LBH Samarinda, Fathul Huda W.