Hasil pemungutan suara ulang Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan Selatan kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. MK diminta membatalkan pencalonan Sahbirin Noor-Muhidin, karena diduga melakukan kecurangan.
Oleh
Susana Rita Kumalasanti
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan sengketa hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan pascapemungutan suara ulang atau PSU yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 02, Denny Indrayana-Difriadi, Rabu (21/7/2021). Tak hanya mendiskualifikasi lawan politiknya, Denny-Difriadi pun memohon agar MK menetapkan mereka sebagai pemenang Pilgub Kalsel.
Pasangan yang didampingi oleh Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum ini mengajukan tujuh dalil pelanggaran dan kecurangan PSU disertai dengan 610 alat bukti. Ketujuh dalil pelanggaran tersebut, antara lain, adalah adanya politik uang secara terstruktur, sistematis, dan massif oleh pasangan calon nomor urut 01, Sahbirin Noor-Muhidin. Calon gubernur Sahbirin Noor disebut secara langsung melakukan politik uang di semua kecamatan yang menggelar PSU.
Sebagai petahana, pasangn calon nomor urut 01 ini juga dilaporkan menggunakan birokrasi dan aparat desa sebagai tim sukses, intimidasi, dan premanisme. Penegakan hukum Bawaslu juga tidak berjalan. Dalil lain adalah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Selatan berpihak pada petahana serta mengacaukan daftar pemilih tetap (DPT). Pengacauan DPT itu, misalnya, dilakukan dengan kehadiran pemilih yang berbeda dengan absen dan formulir C hasil, serta NIK pemilih yang sengaja dibedakan antara undangan dan KTP.
Alhasil, dengan pelanggaran-pelanggaran tersebut, kubu Denny-Diffri menilai bahwa pelaksanaan PSU pada 9 Juni 2021 lalu melanggar asas pemilu, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) serta tidak demokratis.
Dalam sidang perdana yang dipimpin hakim konstitusi Aswanto dengan hakim anggota Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih, Bambang mengungkapkan, pelaksanaan PSU jauh lebih menyimpang dari prinsip luber jurdil dan demokratis.
Menurut Bambang, tindakan curang sedemikian nyata. Pelanggaran dan kecurangan dilakukan dengan melibatkan elemen-elemen tertentu, seperti KPU selaku termohon, Bawaslu, dan juga oleh pasangan calon nomor urut 01, Sahbirin Noor-Muhidin.
”Kecurangan dan pelanggaran yang makin terang benderang itulah yang menghasilkan selisih suara yang semakin besar. Itulah sebabnya, seyogianya syarat Pasal 158 Undang-Undang Pilkada (syarat ambang batas pengajuan sengketa ke MK) tidak serta-merta perlu diterapkan. Kami meyakini selisih suara yang terjadi akibat kecurangan dan pelanggaran yang nyaris sempurna itu dilakukan pihak-pihak yang kami sebutkan, termasuk pasangan nomor urut 01 serta dilegitimasi oleh KPU, Bawaslu, hingga oknum birokrasi hingga ke level aparat desa,” ujar Bambang Widjojanto yang didampingi oleh Heru Widodo yang mewakili Denny-Diffri dalam sidang secara luring di gedung Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU Provinsi Kalsel di Banjarmasin, Kamis (17/6/2021), pasangan calon nomor urut 01, Sahbirin Noor-Muhidin, kembali unggul atas pasangan Denny-Difriadi setelah digelar PSU di 827 tempat pemungutan suara (TPS) pada 9 Juni 2021.
Di 827 TPS yang tersebar di tiga kabupaten/kota pada tujuh kecamatan di 107 desa/kelurahan tersebut, pasangan 01 meraih 119.307 suara, sedangkan pasangan 02 meraih 57.100 suara. Hasil itu kemudian ditambahkan dengan perolehan suara sah sebelumnya sehingga pasangan 01 meraih 871.123 suara (51,17 persen), sedangkan pasangan 02 meraih 831.178 suara (48,83 persen).
Selisih perolehan suara pasangan calon 01 dan pasangan 02 setelah PSU menjadi 39.945 suara (2,34 persen). Dalam rekapitulasi Pilgub Kalsel sebelumnya pada Desember 2020, selisih suara keduanya hanya 0,48 persen atau 8.127 suara. Sahbirin-Muhidin meraih 851.822 suara (50,24 persen), sedangkan Denny-Difriadi memperoleh 843.695 suara (49,76 persen).
Bambang juga menyebutkan bahwa MK dalam 16 putusan sengketa pilkada sebelumnya menangguhkan penerapan Pasal 158 UU Pilkada yang mengatur tentang ambang batas pengajuan sengketa pilkada ke MK. Ada lima pertimbangan yang digunakan, tetapi pihak Denny-Difri hanya menggunakan dua pertimbangan, yakni adanya kinerja penegakan hukum yang bermasalah, termasuk oleh Bawaslu di daerah atau adanya permasalahan mendasar dan krusial yang perlu dibuktikan lebih lanjut oleh MK.
Untuk membuktikan hal tersebut, kubu Denny-Difri menghadirkan 610 alat bukti, baik berupa kesaksian, termasuk dari tim paslon nomor urut 01, telepon seluler, video, rekaman suara, maupun dokumen yang menggambarkan peristiwa pelanggaran dan kecurangan selama PSU.
”Tujuh dalil pelanggaran dan kecurangan PSU yang kami hadirkan kepada majelis hakim konstitusi ini bukanlah by accident, melainkan by design. Penyebabnya, peristiwa kecurangannya tidak hanya berulang sejak pemilihan 9 Desember 2020, tetapi sebarannya juga merata di seluruh wilayah PSU,” ujar Bambang.
Ia juga mempersoalkan sikap Bawaslu yang mensyaratkan terpenuhinya pelanggaran di separuh dari 13 kabupaten/kota untuk bisa disebut massif. Padahal, PSU hanya dilakukan di tiga kabupaten/kota sehingga syarat Bawaslu tersebut menjadi tidak logis dan tidak rasional. ”Bawaslu unable dan unwilling untuk menegakkan hukum PSU,” kata Bambang.
Tim hukum Denny-Difri juga menilai KPU tidak netral dan tidak profesional. Hal ini terbukti dengan adanya petugas KPPS yang justru menjadi tim sukses paslon nomor urut 01. DPT pun diduga sengaja dikacaukan sehingga pemilih Denny-Difri banyak kehilangan hak pilih.
Pada gugatan kali ini, Denny-Difri tidak meminta PSU lagi, tetapi langsung memohon pembatalan pasangan calon 01, Sahbirin-Muhidin, sebagai kontestan pemilu. Pasangan ini meminta MK menetapkan mereka sebagai pemenang terpilih Pilgub Kalsel.
Seusai mendengarkan permohonan tersebut, hakim konstitusi Arief Hidayat mengingatkan agar KPU, Bawaslu, dan paslon nomor urut 01 untuk menyampaikan bukti-bukti yang membantah dalil pemohon.
”Kalau kita cermati, pemohon lebih menekankan pelanggaran yang sifatnya TSM. Ada yang ditujukan ke KPU selaku termohon, yang dinilai tidak netral, tidak profesional, dan berpihak. Itu tolong betul-betul direspons, direaksi, sehingga Mahkamah mendapat informasi yang sepadan dari kedua belah pihak,” ujar Arief.
Demikian pula dengan Bawaslu yang dipersoalkan tidak bisa melakukan pengawasan terkait dengan adanya politik uang, intimidasi, serta terkait ketidaknetralan birokrasi. ”Betul atau tidak, tolong direaksi dengan disertai bukti-buktinya,” ujarnya.
Begitu pula dengan pasangan calon nomor urut 01, Arief juga meminta untuk membuktikan tuduhan pemohon, seperti terkait politik uang, pengerahan birokrasi, dan lainnya.
Sementara hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengingatkan kepada semua pihak bahwa saat ini MK mengadili kasus yang konkret. Dengan demikian, bukti-bukti yang diajukan haruslah sedetail mungkin dan selengkap mungkin.
Menurut rencana, sidang dilanjutkan pada Jumat (23/7/2021) dengan agenda mendengarkan keterangan KPU, Bawaslu, dan pasangan calon nomor urut 01. Setelah itu, menurut Aswanto, MK akan mengadakan rapat permusyawaratan hakim untuk menentukan nasib perkara tersebut apakah akan dilanjutkan pemeriksaannya ataukah dihentikan.