Kerap Ditangkap Malaysia, Nelayan Bintan Minta Perlindungan
Enam orang nelayan dari Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, ditahan penjaga pantai Malaysia karena melanggar perbatasan. Dalam satu tahun terakhir, sedikitnya terjadi empat kali peristiwa serupa.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Enam nelayan dari Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, ditahan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia atau APMM karena melanggar perbatasan. Dalam satu tahun terakhir, sedikitnya terjadi empat kali peristiwa serupa. Pemerintah diminta membantu nelayan perbatasan meningkatkan standar keamanan ketika melaut agar terhindar dari persoalan hukum di negeri tetangga.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Syukur Hariyanto, Rabu (21/7/2021), mengatakan, sebelumnya ada tiga nelayan dari Kampung Masiran, Kecamatan Gunung Kijang, yang berangkat melaut pada 8 Juli. Mereka adalah Agus Supriyanto (26), Andi (18), dan Sandi (17). Tiga nelayan tradisional itu berangkat menggunakan kapal berukuran 3 gros ton dan membawa alat tangkap pancing rawai.
Nelayan kecil seperti mereka biasanya akan pulang melaut pada hari yang sama dengan hari keberangkatan. Namun, tiga orang itu menghilang tanpa kabar selama tiga hari. Baru pada 11 Juli, Andi mengirim pesan singkat kepada pemilik kapal, Safarudin (40), yang isinya mengabarkan mereka ditangkap APMM.
”Andi juga memberi tahu, mereka terbawa arus sampai ke perairan Johor, Malaysia, karena mesin kapal rusak. Peristiwa seperti ini sudah sering menimpa nelayan tradisional di Bintan,” kata Syukur saat dihubungi dari Batam.
Setelah mendapat informasi itu, Syukur kemudian menghubungi sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Malaysia untuk memastikan kondisi tiga nelayan tersebut. Ternyata selain mereka, ada tiga nelayan lain asal Bintan yang juga tengah ditahan APMM.
”Saat ini, secara total ada enam nelayan Bintan yang ditahan di Malaysia. Empat orang di antaranya terdeteksi positif Covid-19 dan harus menjalani isolasi di Tanjung Sedili, Kota Tinggi, Johor,” ujar Syukur.
Empat orang di antaranya terdeteksi positif Covid-19 dan harus menjalani isolasi di Tanjung Sedili, Kota Tinggi, Johor. (Syukur Hariyanto)
Berdasarkan catatan Kompas, dalam satu tahun terakhir, sedikitnya ada empat kali peristiwa nelayan Bintan ditahan APMM karena melanggar batas perairan. Dalam empat peristiwa tersebut, 11 nelayan tradisional harus menjalani proses hukum di Malaysia yang memakan waktu 2-4 minggu.
Pada 26 April lalu, Pengarah Maritim Negeri Johor, Malaysia, Laksamana Pertama Nurul Hizam mengatakan, pada 2021 saja, ada dua kali kejadian nelayan Indonesia memasuki perairan Malaysia. Ia berharap, nelayan Indonesia dan nelayan Malaysia dapat meningkatkan pengetahuan soal navigasi dan batas-batas negara di Semenanjung Malaka.
Terkait penahanan enam nelayan Bintan, Pelaksana Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru Andita Putri Purnama mengatakan, kasus tersebut sudah dalam penanganan KJRI. Penyidikan terhadap enam nelayan asal Bintan oleh otoritas di Malaysia tertunda karena mereka masih harus menjalani karantina Covid-19.
Andita tidak dapat memperkirakan berapa lama enam nelayan itu harus menjalani proses hukum di Malaysia. Namun, ia mengatakan, biasanya dalam kasus serupa nelayan beserta kapal dan alat tangkapnya akan diserahkan oleh APMM kepada Badan Keamanan Laut di perairan perbatasan seperti yang dilakukan pada akhir April lalu di Perairan Pengerang, Johor.
Di Bintan, diperkirakan terdapat sekitar 15.000 keluarga yang menggantungkan hidup pada sektor kelautan. Syukur menilai, kehadiran nelayan di perairan perbatasan sangat penting, salah satunya untuk menghalau aktivitas kapal ikan asing. Namun, negara dirasa masih sering memandang sebelah mata peran dan fungsi nelayan tradisional di wilayah perbatasan seperti Bintan.
”Kami sangat berharap pemerintah bisa memberi bantuan alat navigasi dan alat komunikasi yang memadai. Di perairan perbatasan itu tidak ada sinyal ponsel, kami sangat kesulitan meminta pertolongan jika mengalami kendala saat melaut,” kata Syukur.
Menurut dia, kewajiban menjalani proses hukum selama 2-4 minggu jika melanggar perbatasan juga sangat berat bagi nelayan. ”Dari enam orang yang ditahan itu, salah satunya memiliki istri yang sedang hamil. Kalau mereka ditahan selama itu, lalu siapa yang akan menafkahi keluarganya,” ucapnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim mengatakan, negara wajib melindungi nelayan tradisional. Hal itu dijamin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam Pasal 3 Huruf f disebutkan, negara wajib memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum.
”Namun, komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi dan memberdayakan nelayan tradisional masih sangat rendah. Akibatnya, hanya sedikit nelayan tradisional yang bisa mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan yang dibutuhkan, seperti cara mengidentifikasi batas-batas negara,” ujar Abdul.
Abdul menambahkan, penegakan hukum di perairan perbatasan seharusnya juga mengacu pada nota kesepahaman (MOU) tentang Pedoman Umum Perlakuan terhadap Nelayan oleh Badan Hukum Maritim yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia di Bali pada 27 Januari 2011. Berdasarkan MOU tersebut, APMM dan Bakamla hanya boleh melakukan pengusiran terhadap nelayan yang dianggap melanggar tapal batas. Penangkapan baru boleh dilakukan jika ditemukan ada pelanggaran pidana lain, misalnya penyelundupan narkoba atau perdagangan manusia.