Angkat Ikan Lokal Kembali Jadi Primadona di Kota Jambi
Penebaran benih-benih ikan lokal mewakili semangat dan ikhtiar untuk menyemarakkan kembali keanekaragaman satwa air di perairan Sumatera. Mengembalikan kelestarian di alam sekaligus pamornya di atas meja makan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Demi menjaga kelestarian ikan-ikan endemik, pekan lalu ditebar 20.000 benih nilem (Osteochilus hasselti) di Danau Teluk Kenali, Kota Jambi. Benih yang ditebarkan untuk memperingati Bulan Bakti Karantina dan Mutu Hasil Perikanan 2021 itu merupakan hasil sumbangan masyarakat yang dikembangbiakkan Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam.
Penebaran benih-benih ikan lokal mewakili semangat dan ikhtiar untuk menyemarakkan kembali keanekaragaman satwa air di perairan Sumatera. Bukan sekali ini saja. Sebelumnya telah ditebarkan pula benih-benih ikan lokal di sejumlah perairan terbuka. Februari lalu, 1.200 benih ikan nilem juga ditebarkan pada sembilan lubuk larangan yang tersebar di Kerinci oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ikan-ikan lainnya, seperti jelawat, juga beberapa kali ditebar di perairan umum di Kota Jambi.
Nama ikan-ikan lokal, seperti nilem, jelawat, dan tambakan, bisa jadi kian tenggelam. Tak lagi dikenal luas oleh masyarakat belakangan ini. Di pasar-pasar tradisional pun jarang dipasarkan. Pembeli lebih mudah mendapatkan ikan-ikan budidaya, seperti nila dan lele.
Hal serupa di warung makan, sangat jarang ditemui suguhan menu ikan-ikan lokal. Pengelola Kedai Bu Salma, Zubaidah, yang telah belasan tahun menyediakan menu masakan lokal, mengeluh kian sulit mendapatkan bahan baku ikan lokal. ”Sekarang ini sudah makin susah nyari bahannya di pasar,” ujarnya.
Padahal, Sumatera terbilang kaya akan ikan endemik yang layak dikembangkan. Begitu pula di atas meja, citarasa ikan lokal tidak kalah. Zubaidah menceritakan, saat ini yang masih memungkinkan untuk didapatkan hanyalah patin dan toman. Kedua jenis itu cocok dimasak pindang, tempoyak, ataupun di brengkes (pepes). Masakan-masakan ini menjadi menu paling diminati di kedai itu.
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan KIPM Jambi Piyan Gustaffiana mengatakan, ikan lokal sebenarnya bisa menjadi peluang pasar bagi siapa pun yang membudidayakannya. Ia menyebutkan ada sepuluh jenis ikan lokal yang paling diminati dan memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan pasarnya. Jenis yang dimaksud adalah kurau, betutu, toman, sebarau, baung, udang belalang, dan lais. Ada juga lambak, seluang, dan nilem.
Peluang itu terbaca dari grafik lalu lintas perdagangannya yang terus menunjukkan kenaikan. Pada 2018, sepuluh komoditas di atas diserap hingga sebanyak 3,6 juta ekor. Pada 2019, sebanyak 3,7 juta ekor. Meningkat terus pada 2020 menjadi 4 juta ekor.
Dengan potensi yang besar itulah, ikan-ikan lokal endemik layak menjadi primadona. ”Dagingnya enak untuk dikonsumsi. Sangat potensial untuk dikembangkan,” katanya, Jumat (16/7/2021).
Tak populer
Iktiolog asal Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, menyebutkan, perairan di bagian tengah Sumatera sangat kaya jenis dalam setiap keluarga ikan. Salah satu keluarga yang paling kaya adalah Cyprinidae yang beranggotakan 59 spesies di sungai-sungai perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Sebagian jenisnya biasa dikonsumsi masyarakat pedalaman, seperti ikan kepras, sebarau, terpayang, dan lambak.
Sayangnya, belakangan ini sejumlah ikan endemik itu mengalami eksploitasi secara berlebihan di alam. Para pencari ikan kerap menangkap tanpa memperhatikan keberlanjutan ketersediaannya di alam, misalnya dengan menyetrum di permukaan air.
Hal lain yang tak kalah meresahkan adalam penurunan kualitas lingkungan perairan akibat maraknya aktivitas tambang emas liar. Praktik pengerukan di tebing-tebing sungai memicu sedimentasi. Aktivitas pemurnian emas dengan menggunakan merkuri juga meracuni perairan.
Untuk menekan penurunan populasi dan menjaga kelestarian ikan-ikan endemik perlu pengendalian eksploitasi di habitat aslinya. Selain itu dapat pula dilakukan pengembangan dan budidaya. Namun, di Sumatera belum banyak kelompok tani yang tertarik mengembangkan budidaya ikan lokal endemik. Kalaupun ada yang berminat, mereka menghadapi hambatan, di antaranya sulit mendapatkan indukan.
Untuk meretas hambatan itu, Humas Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam Syu’ib Alaidrus mengatakan telah mengembangkan indukan dan memperbanyak benih. Jenis yang telah dikembangkan di antaranya tambakan, betok, jelawat, gurami batanghari, baung, kapiat, dan nilem.
Pengembangan benih-benih lokal, menurut dia, dimulai sejak 2000-an. Tambakan, betok, dan baung sudah lebih dulu diproduksi massal. Untuk pengembangan gurami Batanghari dan jelawat baru dimulai 2005, dan berlanjut pengembangan kapiat dan nilem. ”Dalam perkembangannya, produksi terus dikembangkan pada jelawat dan tambakan,” katanya.
Kini, setiap tahun jumlah benih yang dapat diproduksi mencapai rata-rata 1,5 juta ekor jelawat, 2 juta benih nilem, dan 200.000 benih tambakan. Jumlah yang cukup potensial untuk terus dikembangkan.
Setiap tahun pula diupayakan penebaran benih-benih lokal agar ketersediaannya di alam terus berkembang. Benih-benih itu disebar di perairan umum mulai dari Aceh hingga Lampung. Di Sumatera Barat, misalnya, penebarannya menyasar Danau Singkarak dan Maninjau, sedangkan di Sumatera Utara ditebarkan di Danau Toba.
Keberlanjutan ikan-ikan konsumsi endemik sangat bergantung pada kondisi alam. Diakuinya, belakangan berbagai praktik di perairan telah menekan populasi ikan. ”Semisal cara tangkap yang kurang ramah lingkungan dan benturan kepentingan dalam pemanfaatan perairan umum dengan sektor lain. Ini menjadi permasalahan yang serius,” paparnya. Pihaknya berharap masyarakat dapat lebih ramah menangkap ikan di perairan umum agar kelestarian tetap terjaga.