Sulam Airguci Berikhtiar Bangkit di Tengah Terpaan Pandemi
Sebagian warga masyarakat di Kota Banjarmasin mempertahankan usaha kerajinan tradisional, sulam airguci atau arguci karena pasarnya masih menjanjikan. Para perajin pun berikhtiar bangkit di tengah terpaan pandemi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Kerajinan sulam airguci dalam tradisi masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan sudah berusia sekitar tiga abad. Sebagian masyarakat di Kota Banjarmasin mempertahankan usaha kerajinan tradisional itu karena pasarnya masih menjanjikan. Perajin pun berikhtiar bangkit di tengah terpaan pandemi.
Tak kurang dari 10 perajin duduk di ruang tamu sebuah rumah di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (14/7/2021) sore. Dengan tetap mengenakan masker, mereka membuat sulam airguci atau arguci dalam kegiatan pelatihan lanjutan wirausaha baru yang diselenggarakan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Banjarmasin.
Di antara mereka, ada yang bertugas membuat pola pada kain, ada yang bertugas menjahit dengan mesin, dan selebihnya bertugas menyulam. Para perempuan yang bertugas menyulam masing-masing duduk menghadap sebuah meja kecil. Di situ kain direntangkan lalu diberi hiasan payet mengikuti pola yang telah dilukis.
Dalam tradisi Banjar, kerajinan sulam airguci muncul pada abad ke-18. Sulaman pada kain tidak hanya dihiasi payet, tapi juga manik-manik dan aksesoris lainnya. Produk kerajinan sulam airguci di antaranya hiasan dinding, pakaian adat, kaligrafi, taplak meja, sarung bantal sofa, dan sarung kotak tisu.
Siti Auladiah (19), salah seorang perajin menuturkan, sulam airguci mulai dipelajarinya pada 2019 lalu, saat pertama kali mengikuti pelatihan wirausaha baru. ”Ikut pelatihan waktu itu karena ingin menambah keterampilan. Kebetulan ulun (saya) sudah punya keterampilan membuat kain sasirangan,” katanya.
Menurut perempuan lajang yang akrab disapa Audy itu, ilmu yang didapatkan dalam pelatihan langsung dipraktikkan. Ia bersama orang tuanya yang telah memiliki usaha kerajinan kain sasirangan kemudian membuat berbagai macam produk sulam airguci sehingga produk yang dipasarkan makin beragam.
”Tingkat kesulitan membuat kain sasirangan dan sulam airguci hampir sama,” ujarnya.
Penjualan
Produk kerajinan sulam airguci dijual mulai dari harga Rp 50.000 sampai dengan Rp 700.000 per satuan. Harganya tergantung jenis produk, ukuran, serta motif. Pasarnya tidak hanya di seputaran Banjarmasin, tetapi merambah sampai ke luar kota dan luar Pulau Kalimantan.
”Penjualan lebih banyak dilakukan secara online (daring) lewat media sosial ataupun lewat e-commerce (perdagangan elektronik). Kami juga cukup banyak melayani pemesan dari luar Kalsel, terutama Pulau Jawa,” tuturnya.
Sebelum pandemi Covid-19, Audy mengungkapkan, omzet dari penjualan kain sasirangan dan aneka produk sulam airguci bisa mencapai Rp 25 juta per bulan. Namun, begitu diterpa pandemi Covid-19, omzetnya langsung terjun bebas jadi maksimal hanya Rp 5 juta per bulan. ”Bersyukur saja masih bisa bertahan,” ucapnya.
Nasib serupa juga dialami Astuti (29), pemilik usaha Tuti Airguci dan Maimunah (37), pemilik usaha Imai Craft di Banjarmasin. Kedua perempuan tersebut langsung merintis usaha kerajinan sulam airguci setelah mengikuti pelatihan wirausaha baru pada 2019.
Menurut Astuti, usaha kerajinan sulam airguci memberikan tambahan penghasilan yang lumayan. Hasilnya bahkan terbilang besar jika dibandingkan dengan penghasilannya dari usaha warung kecil yang menjajakan minuman dan makanan ringan.
”Waktu itu sudah lumayan banyak juga yang pesan kaligrafi, sarung kotak tisu, dan tas kain. Tetapi gara-gara pandemi, pesanan hampir tak pernah datang lagi,” kata ibu satu anak itu.
Maimunah mengatakan, produksi kerajinan sulam airguci pada tahun lalu sempat terhenti beberapa saat karena tidak ada pesanan yang masuk. Padahal, sebelumnya ia sempat melayani pesanan dari Balangan, Kotabaru, dan Palangka Raya. ”Selama pandemi ini, paling tinggi omzetnya Rp 500.000,” ujar ibu dua anak itu, yang sebelumnya hanya bekerja mengurus rumah tangga.
Tetap produktif
Risna Apriliyana, pemilik usaha Argadia Melati selaku instruktur wirausaha baru kerajinan sulam airguci mengakui, betapa pandemi sangat memukul usaha kerajinan sulam airguci. Penjualannya menurun drastis karena hampir tidak ada acara-acara besar dan pameran selama pandemi.
”Kalau ada event biasanya banyak yang beli airguci untuk suvenir,” katanya.
Meskipun penjualannya seret, menurut Risna, para perajin binaannya masih tetap berproduksi. Mereka selalu menyediakan stok airguci untuk memenuhi permintaan konsumen yang datang sewaktu-waktu.
”Kami tetap berproduksi karena pengerjaan suatu produk tidak bisa cepat. Kalau ada pembeli yang butuhnya cepat, stok barangnya sudah tersedia,” tuturnya.
Risna mengatakan, pengerjaan satu produk sulam airguci paling tidak memakan waktu dua hari. Untuk produk tertentu dengan tingkat kesulitan tinggi bahkan bisa memakan waktu hingga satu bulan. ”Yang pesan dari berbagai daerah di Kalimantan, Jawa, hingga Luar Negeri (Malaysia),” ujarnya.
Para perajin selama pandemi juga menyasar berbagai organisasi wanita, misalnya Dharma Wanita dan IWABRI (Ikatan Wanita Bank Rakyat Indonesia). ”Ketika ada order dari organisasi tersebut, kami penuhi bersama-sama. Jadi, semua perajin kebagian pesanan dan tetap produktif,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Banjarmasin Ichrom Muftezar mengatakan, sejumlah pelaku usaha sulam airguci di Banjarmasin adalah wirausaha baru di bawah binaan mereka. Mencetak wirausaha baru merupakan salah satu program Pemerintah Kota Banjarmasin.
”Terhitung dari 2016, jumlah wirausaha baru (WUB) di bawah binaan kami sekitar 560 pelaku usaha. Sampai sekarang, sebagian di antara WUB itu masih aktif dan tetap produktif,” kata pria yang akrab disapa Tezar itu.
Pada 2021, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Banjarmasin menargetkan pelatihan bagi 90 WUB. Mereka akan dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok WUB sasirangan berpewarna alam (30 orang), kelompok WUB sasirangan berpewarna sintetis (30 orang), dan kelompok WUB sulam airguci (30 orang).
”Mudah-mudahan dengan perhatian dan dukungan seperti itu, kami bisa meningkatkan produktivitas industri kecil menengah (IKM) di Kota Banjarmasin. Mereka juga diharapkan tetap bisa bertahan di tengah kondisi pandemi,” kata Tezar.
Dari sekian banyak WUB yang sudah terbentuk, menurut Tezar, sekitar 25 persen di antaranya terpaksa stop berproduksi karena pandemi. Usaha mereka mandek karena daya beli masyarakat sedang turun. ”Kita doakan agar IKM bisa bangkit lagi walaupun masih dalam suasana pandemi. Dan semoga pandemi ini juga bisa segera berlalu,” ucapnya.