Cikal Bakal Kota Makassar
Pecinan adalah sejarah dan cikal bakal Makassar sebagai kota. Perpindahan kekuasaan dan era tak pernah menyurutkan peran kawasan itu sebagai simpul geliat kota.
Kerajaan Gowa sebenarnya bukan satu-satunya yang punya kaitan erat atau pengaruh dalam sejarah lahirnya Kota Makassar. Pedagang Tionghoa dan beragam etnis lain, termasuk kawasan pecinan di dalamnya, juga punya andil cukup besar dalam perjalanan dan perkembangan kota terbesar di kawasan timur Indonesia ini.
Sejarawan Universitas Hasanuddin Dias Pradadimara mengatakan, dahulu, dua hal yang tak bisa dipisahkan dari Makassar saat berada di bawah Kesultanan Gowa adalah wilayah Kalegowa dan wilayah Benteng Somba Opu, keduanya kini di wilayah Kabupaten Gowa sekarang.
“Kalegowa punya peran sebagai pusat kegiatan ritual, tradisi, tempat pelantikan, dan lainnya. Lalu ada wilayah sekitar Benteng Somba Opu yang punya peran sebagai kota sekaligus menjadi pusat perniagaan,” katanya.
Pada saat itu, kawasan pecinan juga sudah tumbuh menjadi lokasi perniagaan, yakni di sekitar Benteng Ujung Pandang (kini Benteng Rotterdam di dekat Pantai Losari). Saat kongsi dagang VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman berkuasa pada paruh akhir abad ke-17, wilayah perniagaan itu tetap dipertahankan. Kawasan ini juga menjadi tempat penting karena letaknya yang dekat dengan pusat pemerintahan dan tangsi militer.
“Saat Benteng Ujung Pandang diambil alih Belanda (kemudian diubah menjadi Benteng Rotterdam), di pecinan sudah ada permukiman untuk para pendatang. Misalnya, pendatang dari Wajo, Ternate, Flores, dan tentu saja pedagang asal Tionghoa. Kawasan pecinan kemudian memegang peran penting dalam menopang pelabuhan, militer, dan perdagangan,” kata Dias.
“Memang sejak dulu pecinan sudah menjadi kota dan sebenarnya cikal bakal Makassar sebagai kota ada di wilayah itu. Hanya saja masih banyak yang membantah soal ini, terutama soal fakta bahwa Tionghoa punya keterikatan sejarah dan budaya yang cukup erat dengan terbentuknya Kota Makassar,” kata Dias.
Kawasan pecinan di Makassar sebenarnya tidaklah seberapa luas, kira-kira kurang dari 100 hektar. Secara administratif, sebagian wilayahnya masuk dalam Kecamatan Wajo dan sebagian lagi Kecamatan Makassar.
Baca juga: Losari, Sepotong Kemewahan diTengah Pandemi
Bagian barat kawasan ini berbatasan dengan Pelabuhan Makassar, di sebelah selatan bersisian dengan Jalan Ahmad Yani dengan penanda titik nol kota, yakni Lapangan Karebosi. Di sebelah Karebosi ada pula Balai Kota Makassar yang berhadapan dengan Markas Polrestabes Makassar. Sementara, di sebelah timur berbatasan dengan Jalan HOS Cokroaminoto dan sebelah utara dengan Jalan Tentara Pelajar.
Di Jalan Sulawesi, jalan utama di kawasan pecinan, terdapat beberapa kelenteng dan vihara. Rumah-rumah berlantai dua hingga tiga yang sebagian besar berbentuk ruko, berjejer rapat di jalan-jalan sempit di kawasan ini. Beberapa masih menyisakan bentuk bangunan lama.
Lazimnya di banyak kawasan serupa, pecinan tak hanya permukiman yang dilengkapi pasar, pertokoan, maupun sarana pendidikan hingga pusat kuliner. Pemakaman atau yang lebih dikenal dengan kuburan Cina juga berada di satu kawasan. Namun, di pecinan Makassar, pemakaman khusus ini sudah berganti rupa menjadi Makassar Mal atau dulu dikenal dengan Pasar Sentral yang berada di sisi Jalan HOS Cokroaminoto.
Berbagai usaha dan barang dagangan ada di ruas Jalan Sulawesi. Salah satu yang cukup tua adalah Toko Otere. Dalam bahasa Makassar, otere berarti tali. Toko ini memang sejak dahulu menjual tali dalam beragam bentuk dan ukuran, terutama tali kapal, dan juga peralatan menangkap ikan.
Sebagian orang Makassar mungkin tak akan lupa pula Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo yang berbatasan dengan Jalan Ahmad Yani. Dahulu saat mal belum ada, keperluan membeli pakaian jadi terutama menjelang hari raya, akan mudah ditemukan di jejeran ruko di sebagian jalan ini.
Sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yerry Wiryawan, mengatakan, Makassar pada abad ke-17 adalah kota pelabuhan yang cukup penting di kawasan timur Indonesia. Ini yang membuat wilayah pecinan punya peran yang juga tak kalah penting.
Baca juga: Padewakang Sang Penakluk Lautan
“Dulu pedagang, terutama VOC, berburu rempah ke Maluku. Orang-orang juga berburu teripang hingga Australia. Saat itu, posisi Makassar sebagai kota pelabuhan menjadi penting karena hampir semua yang berlayar akan transit di Makassar. Di sini mereka beristirahat dan membeli segala keperluan sebelum melanjutkan pelayaran,” katanya.
Bahkan, dalam sejarah pelayaran orang Bugis dan Makassar mencari teripang ke Australia, pedagang Tionghoa punya peran penting. Mereka yang membiayai kebutuhan para pelaut untuk berlayar dan juga menggajinya. Hasil tangkapan teripang dibawa ke pelabuhan Makassar dan selanjutnya diperdagangkan hingga diekspor ke Tiongkok. Sayangnya, saat ini hampir tak ada lagi jejak perdagangan teripang di pecinan.
Peran pecinan sebagai kota tak pernah berhenti sejak Makassar dalam penguasaan Kesultanan Gowa, Belanda, Jepang, hingga saat kemerdekaan. Bahkan, perannya sebagai pusat kota kian berkembang di era kemerdekaan. Saat ini, kawasan pecinan juga menjadi tempat wisata.
“Era kemerdekaan meluaskan peran pecinan sehingga tak lagi sekadar pusat perdagangan, tapi juga sebagai tempat hiburan. Saat itu, orang-orang Tionghoa meluaskan usaha dengan mendirikan bioskop, menjual aneka kuliner, hingga jajanan seperti es krim. Ini untuk melayani kebutuhan warga yang mulai mencari hiburan,” kata Yerry.
Pecinan sejak dulu juga punya banyak kios makanan.
David Aritanto (60), warga yang menghabiskan masa kecil di Jalan Timor di kawasan pecinan, menyaksikan sendiri bagaimana ibunya punya usaha kuliner yang cukup besar di masa kemerdekaan.
“Ibu saya menjual beragam kue dan masakan. Ayah saya punya toko kelontong. Di sekitar rumah kami pun begitu. Pecinan sejak dulu juga punya banyak kios makanan. Awalnya, banyak yang menjual makanan khusus. Tapi seiring ramainya orang datang ke sini dan karena menghargai keberagaman, maka dibuat makanan umum,” katanya.
Kelak, kuliner menjadi salah satu wujud akulturasi budaya Tionghoa dan Makassar di samping wujud lain, misalnya dalam tradisi pernikahan dan beragam ritual serta kesenian.
Pemerintah Kota Makassar pun masih melihat peran penting pecinan sebagai pusat dagang dan wisata meskipun perkembangan kota sudah banyak bergeser ke arah tengah dan timur. Beberapa tahun lalu, festival kuliner rutin digelar di kawasan pecinan. Bahkan, gerbang bertuliskan pusat kuliner pecinan masih ada di beberapa ruas jalan di kawasan ini.
Baca juga: Makassar Ditopang Jaringan Transmisi Bawah Tanah
Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto menyebutkan sejumlah rencana pengembangan pecinan. "Karena kawasan itu tak bisa lagi diperluas, jalannya pun terbatas, maka saya sudah merancang membuat trotoar bertingkat di sepanjang pecinan yang bisa menghubungkannya dengan pusat perdagangan emas Somba Opu hingga ke Pantai Losari," ujarnya.
Dengan begitu, lanjut Ramdhan, orang-orang bisa menyusuri pecinan dan datang menikmati kuliner atau tempat bersejarah dengan berjalan kaki di trotoar atas maupun di bawah. "Rancangannya sudah ada dan tinggal dibangun. Kita tunggu pandemi reda untuk merealisasikannya,” katanya.