Badan khusus otsus Papua diharapkan tidak menjadi pesaing pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan Papua. Harus ada pembagian kewenangan yang jelas antara badan khusus itu dengan pemda.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan badan khusus otonomi khusus Papua yang diketuai oleh Wakil Presiden diharapkan tidak menjadi pesaing pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan Papua. Badan diharapkan hanya bersifat koordinasi dan pengawasan sehingga tidak mengambil alih kewenangan gubernur.
Hal itu diungkap peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, dalam diskusi ”Menakar Otonomi Khusus Papua”, Sabtu (17/7/2021). Selain Cahyo, narasumber lain dalam diskusi itu adalah anggota Panitia Khusus (Pansus) Otsus Papua, Esti Wijayanti; pengamat politik lokal Papua Frans Maniagasi; dan peneliti Populi Center, Hartanto Rosojati.
Badan khusus otsus Papua jangan sampai menjadi pesaing Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. Harus ada pembagian kewenangan yang tegas dan jelas antara badan khusus itu dengan pemda.
Cahyo mengatakan, badan khusus otonomi khusus (otsus) Papua jangan sampai menjadi pesaing Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. Harus ada pembagian kewenangan yang tegas dan jelas antara badan khusus itu dengan pemda. Jika badan bersifat superbodi dan bisa mengambil alih kewenangan gubernur, ini berpotensi memunculkan masalah baru.
”Pembangunan di Papua itu membutuhkan perlakuan khusus yang tidak berorientasi pada pembangunan fisik semata. Harus ada pendekatan kultural masyarakat adat sehingga mereka bisa membaur dan menyesuaikan diri. Mereka harus diajak dalam proses pembangunan, jangan sampai merasa tertinggal dan termarjinalisasi,” ujar Cahyo.
Selama penelitian masalah konflik dan lingkaran kekerasan di Papua, Cahyo menemukan fakta bahwa masifnya pembangunan di Papua berdampak pada semakin banyaknya hutan dan wilayah adat yang rusak. Barang produksi datang membanjiri wilayah adat, sementara barang dari kampung tidak bisa dijual di kota. Cahyo menyebut dengan istilah, impor barang lebih banyak dari kota. Sementara barang-barang komoditas dari kampung tidak laku dijual di kota.
Cahyo juga menyebut bahwa revisi UU Otsus Papua tidak memiliki legitimasi yang kuat pada kelompok pro referendum atau Organisasi Papua Merdeka. Sebab, kelompok ini tidak diajak berbicara, seperti saat penyusunan RUU Otsus Aceh. Karena tidak ada legitimasi, komitmen untuk melaksanakan aturan itu pun rendah.
Dalam implementasinya, Kemendagri harus banyak berdialog dengan kelompok penolak otsus Papua. Mereka harus lebih banyak menyasar pada perlindungan tanah adat dan hak ulayat warga Papua. Jangan sampai tanah adat mereka disulap menjadi perkebunan kelapa sawit sehingga menjauhkan habitat ekologis masyarakat adat Papua.
”Ini sangat penting karena berkaitan dengan hak hidup orang Papua,” kata Cahyo.
Kebijakan otsus Papua sudah berjalan selama 20 tahun terakhir sejak 2001. Namun, belum ada evaluasi total lima utama yang menjadi perhatian orang asli Papua. Hal itu, di antaranya, adalah masalah identitas politik dan pelurusan sejarah, marjinalisasi dan depopulasi orang asli Papua, serta penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua.
Soal penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua, Cahyo menyebut bahwa meski hal itu tercantum dalam UU Otsus Papua lama, implementasinya masih kurang. Belum ada penyelesaian yang mengembalikan kepercayaan orang Papua. Kini, revisi otsus Papua justru memecah dan membuat orang Papua terpolarisasi. Cahyo menduga kelompok yang pro pada UU Otsus Papua adalah orang yang mengambil keuntungan pada kebijakan itu, yaitu elite politik di Papua.
”Bagi kalangan elite, perpanjangan otsus Papua ini adalah insentif yang menggiurkan. Ini membuat mereka menerima UU Otsus Papua,” kata Cahyo.
Belum ada penyelesaian yang mengembalikan kepercayaan orang Papua. Kini, revisi otsus Papua justru memecah dan membuat orang Papua terpolarisasi.
Perbaikan pasal
Esti Wijayanti mengatakan, revisi UU Otsus Papua melindungi hak-hak orang asli Papua dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Revisi UU Otsus Papua ingin meningkatkan indeks pembangunan manusia di Papua dan Papua Barat. Caranya adalah dengan mengalokasikan 30 persen dari alokasi dana otsus Papua pada sektor pendidikan dan 20 persen untuk sektor kesehatan. Penggunaan dana otsus akan didampingi oleh pemerintah pusat supaya tidak salah sasaran. Selain itu, juga untuk meningkatkan kualitas IPM Papua.
”Di tingkat DPR kabupaten dan kota harus ada 25 persen representasi dari OAP (orang asli Papua) yang bisa dipilih tanpa melalui pemilihan umum. Selain itu, dari 25 persen itu, harus ada 30 persen lagi perempuan OAP,” kata Esti.
Menurut Esti, perubahan-perubahan yang ada di revisi UU Otsus Papua telah dicurahkan untuk peningkatan kesejahteraan warga Papua. Bahkan, revisi UU Otsus Papua juga mengatur tentang perusahaan yang harus mengutamakan OAP.
”UU Otsus Papua ini adalah bagian dari yang kami perjuangkan dengan mendengarkan dengan hati dan cinta. Inilah hasil mengolah rasa dan cinta yang dituangkan dalam peraturan perundangan,” kata Esti.
Frans Maniagasi menyampaikan, pada 2017-2018, anggaran di dua provinsi Papua dan Papua Barat mencapai Rp 68 triliun. Dana tersebut setidaknya digunakan untuk sekitar 6 juta warga Papua. Di antara 6 juta itu, ada sekitar 2 juta OAP. Dengan banyaknya dana otsus yang dikelola, tetapi tidak bisa menyejahterakan OAP, ini menjadi pertanyaan besar bagi semua pihak. Di mana kesalahan dan kekeliruan pengelolaan anggaran untuk warga Papua?
”Tidak boleh dinafikan bahwa sudah ada kemajuan di Papua saat ini. Namun, perlu dievaluasi lagi di mana kesalahan dan kekeliruannya sehingga belum efektif untuk menyejahterakan orang asli Papua,” kata Frans.
Frans berpandangan bahwa badan khusus otsus Papua harus mampu membantu menata tata kelola pemerintahan di Papua. Mereka harus mampu membantu pemda agar dana otsus bisa dikelola lebih tepat sasaran. Pemda Papua juga harus melihat bahwa peningkatan dana otus Papua dibuat sebagai upaya protektif dan upaya afirmasi pemberdayaan warga Papua.
Hartanto Rosojati mengatakan, otsus Papua seharusnya tidak bicara pada aspek pembangunan semata. Aspek pembangunan, kesejahteraan, dan keadilan harus berjalan beriringan. Oleh karena itu, kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yaitu kasus Wasior, Wamena, Paniai, dan Intan Jaya, harus dituntaskan. Dokumen penyelidikan yang sudah sampai di Kejaksaan Agung harus dilanjutkan hingga proses hukum pengadilan agar terlihat komitmen serius pemerintah dalam menyelesaikan masalah HAM.
”Pasal-pasal yang belum dilaksanakan selama 20 tahun agar diperhatikan sungguh-sungguh. Ini untuk mengembalikan kepercayaan publik karena pembangunan tidak akan jalan tanpa kepercayaan dari masyarakat,” kata Hartanto.
Paradigma pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan di Papua harus diubah. Sebelum mencapai tujuan pembangunan, pemerintah perlu mengembalikan kepercayaan publik terhadap rakyat Papua.
Cahyo berpandangan, paradigma pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan di Papua harus diubah. Sebelum mencapai tujuan pembangunan, pemerintah perlu mengembalikan kepercayaan publik terhadap rakyat Papua. Selama ini, lingkaran kekerasan dari konflik bersenjata di Papua terus meningkat. Eskalasi juga tidak menurun, bahkan meningkat di akhir periode 20 tahun otsus Papua berjalan.
Eskalasi kekerasan politik terjadi di wilayah pegunungan tengah, seperti wilayah Intan Jaya dan Kabupaten Puncak. Eskalasi konflik meningkat setelah pemerintah menetapkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua sebagai terorisme.
”Ada kekerasan yang menyebabkan meninggalnya pendeta di Intan Jaya. Ini belum ada proses penegakan hukumnya sampai sekarang. Apakah ini memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat Papua?” kata Cahyo.